Click baru saja mengunjungi Saung Ranggon di desa Cikedokan, Cikarang Barat.
Saung Ranggon ini termasuk wisata sejarah atau wisata budaya untuk melestarikan tradisi, bagi kawasan Cikarang yang belum terlalu banyak diketahui orang
Untuk nenuju lokasi ini dari stasiun Cikarang harus ganti moda transportasi lain, seperti kendaraan yang disewa atau menggunakan transportasi daring  karena jaraknya cukup terpencil dan masih cukup jauh serta  membutuhkan waktu perjalanan sekitar 1-2: jam tergantung tingkat kemacetan lalu lintas, tidak mungkin rasanya dijangkau dengan jalan kaki.
Bila memiliki kendaraan pribadi lebih menguntungkan, karena jaraknya cukup terpencil, itulah sebabnya dulu sangat bermanfaat sebagai tempat persembunyian / pelarian  bagi tokoh-tokoh perjuangan yang anti penjajahan.
Nama desa inipun berasal dari asal kata kedok, karena fungsi kedok untuk menyamar. Jadi banyak pelarian yang berdiam disini dan menjadi leluhur warga desa.
Saung Ranggon ini telah didirikan pada abad 16, sehingga sangat tepat bila dijadikan cagar budaya, artinya tempat ini dilestarikan sebagai bukti sejarah dan tidak akan tergusur oleh laju pembangunan.
Bangunan berupa rumah panggung yang berbahan kayu ulin ini, sangat kokoh dan masih dalam kondisi baik sampai sekarang  untuk memasuki rumah ini harus seizin juru kunci (kuncen).
Bangunan ini berdiri diatas tanah seluas kira 500 meter persegi dengan panjang 7,6 meter, lebar 7,2 meter dan tinggi 2,5 meter. Beratapkan sirap kayu, dan tanpa jendela. Disekitarnya terdapat rumah yang ditinggali juru kunci, mushola, toilet, sumur, rumah makan dan tempat parkir.
Karena sebagai tempat persembunyian, jendela yang ada sengaja tidak dibuka. Untuk memasuki rumah panggung harus melalui tujuh anak tangga. Bangunan tidak dipaku tetapi menggunakan sistem pasak.
Bangunan didalam saung hanya berupa ruangan terbuka yang digunakan untuk menerima tamu, dan satu kamar yang dipisahkan tirai dibelakangnya. Di kamar saat ini tersimpan benda-benda pusaka, seperti keris, tombak, dan pedang panjang. dan telur yang mengeluarkan darah pada waktu tertentu.
Pada tiap bulan Maulud pusaka ini dimandikan. Kalau dulu sering diadakan kesenian seperti tari jaipong, ronggeng, pencak silat dan wayang kulit Betawi. Namun sekarang lebih banyak diisi dengan pengajian saja.
Selain sebagai sarana wisata sejarah dan budaya, tempat ini juga sering dikunjungi tamu untuk melakukan ziarah, menjalankan ritual tertentu guna terkabulnya permohonan, seperti minta naik pangkat, lulus ujian, berhasil dalam bisnis, memiliki anak yang diinginkan bahkan minta jodoh.Â
Menurut juru kunci, Sri Mulyati yang mendampingi kunjungan Click, banyak yang doanya terkabul dan salah satunya yang membangun mushola. Atau menyembelih kerbau. Saat ini beaya perawatan bangunan ini diperoleh dari Pemda Â
Bangunan ini dibangun oleh pangeran Rangga, putra pangeran Jayakarta, tokoh peting  Betawi yang gigih melawan penjajah di Batavia dan Bekasi. Sebagai salah satu tempat persembunyiannya. Dirawat oleh Raden Abas yang berasal dari Mataram, dan tempat ini selain sebagai tempat persembunyian juga digunakan untuk gudang rempah-rempah.
Sri Mulyati, yang saat ini menjadi juru kunci mengaku masih keturunan ke 6 dari Raden Abas. Yang saat ini sudah berusia cukup lanjut dengan 2 anak dan 2 cucu.
Dulu Saung Ranggon ini sering menjadi tempat pertemuan tokoh-tokoh kerajaan Banten dan Cirebon juga para wali, seperti Sunan Gunung Jati dan Maulana Malik Ibrahim.
Beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan ditempat ini adalah jangan berkata yang tidak pantas, memotret tanpa izin serta memasuki saung tanpa didampingi juru kunci  Menurut juru kunci pada tamu tertentu ada yang mengikuti setelah berkunjung ke tempat ini. Mau percaya atau tidak, silakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H