film yang pernah menggambarkan suasana sebuah pesantren secara utuh. Meski sudah banyak film yang mengangkat tema pesantren.
Rasanya belum adaFilm "Pesantren" Â yang diproduksi dan didistribusikan Lola Amaria Production ini, di sutradarai oleh Salahuddin Siregar. Meski tidak diputar bertepatan dengan Hari Santri Nasional, film ini sekarang sudah dapat ditonton di beberapa bioskop jaringan XXI, CGV maupun Cinepolis. Meski film ini sangat menarik bagi orang non Muslim yang ingin mengetahui seluk beluk sebuah pesantren, seperti mereka juga mendambakan film yang berani menggambarkan kehidupan pada sebuah seminari, film ini sekaligus sebuah nostalgia yang Indah bagi penonton yang pernah mondok di masa kecil hingga remajanya.
Film yang lolos sensor untuk ditonton bagi mereka yang sudah berusia 13 tahun keatas ini, harus cepat Anda tonton, karena tampaknya tidak akan lama tayang di tengah kerubutan film-film lainnya.
Film berdurasi 100 menit ini berupa film dokumenter, jadi tidak ada aktor dan aktrisnya. Dibuat apa adanya menggambarkan suasana pendidikan  pada sebuah pesantren yang saat ini sering mendapatkan stigma buruk sebagai tempat pendidikan paham radikal hingga tempat persemaian bibit teroris.
Film ini menggambarkan suasana batin santri dan santriwati yang patut dicontoh karena mengajarkan kebaikan, menghargai manusia, mempertanyakan posisi perempuan dalam ajaran Islam, mengaji, berkesenian serta menghapus stigma buruk sebagai petsemaian radikalisme.
Film ini memotret secara nyata kehidupan sebuah pesantren di Cirebon yang bernama Kebon Jambu Al-Islamy, sebuah pondok pesantren berbasis Nahdatul Ulama  di Jawa Barat dan memiliki sekitar 2.000 santri dan santriwati, yang kebetulan dipimpin seorang perempuan. Bahkan pada film ini dimasukkan Forum Ulama Perempuan Indonesia, yang disebutkan pertama di Indonesia bahkan di dunia.
Film ini cukup berani memasukkan hal tabu yaitu tentang posisi perempuan dalam Islam, meski dikemas secara lunak. Padahal dalam realitasnya, Indonesia pernah memiliki Presiden perempuan, dan kini di Kabinet Kerja berkiprah dua kenteri perempuan yang berskala global, yaitu Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri, Ketua DPR juga perempuan demikian pula sejumlah  Duta Besar, Gubernur, Walikota dan Bupati serta CEO perusahaan dari BUMN hingga swasta.Â
Kesenjangan terjadinya santriwati yang selalu kalah prestasi di aras pesantren namun justru memiliki prestasi tinggi dinluar pesantren. Apakah hal ini disebabkan juri adalah kyai-kyai kolot dan tidak melibatkan perempuan sebagai juri?
Film ini memotret kehidupan nyata sebuah pesantren dari mulai tingkat dasar, dimana santri atau santriwati masih rindu orang tuanya dan harus dipaksa untuk aktif agar kerasan tinggal  di pondok, salah satunya dengan mengajak santri dan santriwati bermain musik, menari bahkan stand-up comedy. Dogambarkan potret siswa tahun ke dua, ke tiga, hingga tahun ke tujuh saat mereka lulus dan di wisuda untuk nantinya diterjunkan ke masyarakat. Ditonjolkan mereka yang harus tidur tanpa kasur, disiplin bangun pagi menjalankan salat subuh, mencuci dan menyeterika baju sendiri. Mereka diajar mandiri dan mengikis sifat manja anak-anak
Dibahas pula kendala sebuah pesantren saat ini, dimana presentase siswa yang mampu membaca Al Quran makin sedikit karena di desa / kampung makin jarang memiliki ustad. Kesulitan santri dan santriwati saat terjun ke masyarakat, karena mereka hanya terbiasa memegang buku dan pena, mungkin sekarang komputer, tapi kurang fasih bertani.
Digambarkan pula kerinduan orang tua terhadap anaknya yang sedang mondok, kehidupan anak-anak yang orang tuanya miskin sehingga hanya sanggup nengirinkan sedikit uang saku, sehingga ada anak yang nakal menelepon orang tuanya dengan meminjam telepon tetapi mengatakan tidak tersambung.
Kehidupan pengajar di pesantren juga di sorot, mereka yang sudah berupaya untuk lulus ke jenjang pendidikan tinggi di luar pesantren, namun orang tuanya kesulitan biaya. Eratnya hubungan antara pengajar dan santri atau santriwatinya.
Penulis sangat menikmati suasana pesantren yang sejuk dengan alunan suara pengajian yang merdu, juga terharu mendengar yang dipotret pada film ini benar-benar suasana pesantren, dari komentar penonton lain yang pernah mondok.
Meski film ini tidak sukses secara komersiel, namun secara dokumenter film ini telah menjadi nominasi pada International Documentary Film Festival Amsterdam dan Asiatica Film Festival XXI tahun 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H