Dalam organisasi atau komunitas, sudah biasa bila ganti pimpinan pasti ganti kebijakan. Demikian pula dengan Ketapels, komunitas Kompasiana berbasis regional, tepatnya bagi Kompasianer yang berdomisili di Tangerang Selatan plus. Saat dinahkodai Agung Han, viral dengan Jum'at Berkah-nya yang selalu membagikan makan siang bagi kaum dhuafa, kini saat pimpinan Ketapels dinahkodai Denik lebih mengutamakan guyub antar anggota komunitas. Dalam program kerjanya Denik mengupayakan tiap bulan bisa berlangsung guyub baik saling mengunjungi, maupun berkunjung ke rumah anggota yang sedang "open house" entah sunatan, launching buku, lamaran, dan lainnya. Bila sedang tidak ada acara keluarga, bisa diisi dengan guyub kuliner bersama atau piknik bersama.
Piknik ? Wah ini bakal bersaing dengan Koteka, komunitas traveler Kompasiana. Tidak demikian, karena konsepnya berbeda. Ketapels lebih mengutamakan guyubnya bukan pikniknya. Piknik hanyalah sekedar sarana perekat.
Oleh karena itu piknik perdana sengaja dibuat berbayar, swa sembada, tanpa adanya sponsor, sehingga tidak mewajibkan peserta untuk menulis, mengunggah cuitan di Twitter, atau membuat konten di Instagram. Tetapi kalau mau menulis tentu tidak dilarang, karena pada dasarnya anggota komunitas ini adalah penulis.
Piknik perdana ini memilih destinasi dekat saja. Dipilih Banten Lama, meski dulu pernah juga piknik kesana dengan mobil. Kini dengan kereta api. Dengan commuter line dari stasiun manapun, berkumpul di stasiun Rangkasbitung. Lalu bersama naik kereta api ke Karangantu.
Uniknya, kalau piknik biasanya menggunakan bus atau minimal mobil MPV, namun kali ini menggunakan bentor (becak bermotor) dan jalan kaki. Bentor adalah modifikasi dari becak dengan sepeda motor, penumpang di depan pasti dua orang, lalu di belakang masih bisa membonceng satu orang.
Tempat yang dikunjungi juga diatur tidak terlalu padat, karena pesertanya lintas usia, baik lolita (lolos lima puluh tahun) maupun jelita (jelang lima puluh tahun).
Dari stasiun Karangantu, kita dengan bentor menuju Pecinan Banten Lama, tujuannya adalah vihara yang viral karena selamat dari tsunami akibat ledakan Gunung Krakatau. Nama vihara ini Avalokistesvara.
Ternyata meski bebas berkunjung, namun untuk masuk dan mendapat informasi, kita harus berkirim surat terlebih dulu. Untunglah kita boleh makan siang di lokasi yang rindang dan mendapat penjelasan singkat 10 menit dari pengelola vihara.
Bahkan setelah mengetahui kita dari komunitas penulis, A Thay, menantang kita mau bertanya tentang apa dan meminta kita meluruskan mitos yang kurang tepat, baik di media cetak maupun daring. Penjelasan tentang mitos di vihara ini akan ditulis dalam tulisan tersendiri.
Didekat vihara ini, terdapat bekas benteng Spellwijk. Lapangan di depan benteng Spellwijk kini sudah direvitalisasi menjadi Taman Spellvijk, sehingga tampak seakan vihara dan benteng ini destinasi berdekatan. Padahal dulu, dari benteng Spellwijk kita kesulitan mencari letak vihara, lagi pula dulu belum ada Waze atau Google maps.
Pada Taman Spellvijk, kita dapat mengajak anak-anak bermain, karena tersedia mobil-mobilan, sepeda tandem, sepeda yang dikaroseri fungsinya seperti becak untuk keliling Taman, maupun bersantai di Taman yang rindang.