Sebagai destinasi berikutnya setelah mengunjungi Kampung Batik Cibuluh adalah menuju pulau Geulis. Atau pulau cantik, karena geulis dalam bahasa Sunda, artinya cantik. Semula saya agak heran, apakah kota Bogor memiliki laut, sehingga mempunyai sebuah pulau. Ternyata pulau Geulis ini tidak terletak di tengah laut, melainkan terletak ditengah sungai Ciliwung.
Setelah melalui jalan berliku, karena jembatan penghubungnya sedang dalam perbaikan, tibalah kami di Klenteng Phan Ko Bio yang merupakan Klenteng tertua di Bogor.
Kedatangan kami disambut dengan gegap gempita oleh suara gendang Tionghoa, rupanya penyambutan selamat datang mendatangkan atraksi barongsai. Setelah barongsai mempertunjukkan atraksi selamat datang, kami diajak ke dalam Klenteng untuk mendengarkan penjelasan dari Chandra, selaku pengurus Klenteng. Chandra didampingi anggota keluarga penemu Klenteng ini dan Ketua RW setempat.
Saat kami memasuki Klenteng, di halaman depan terdapat sebuah meja yang dijaga ibu-ibu yang menjajakan makanan. Rupanya ibu-ibu di Kampung Wisata pulau Geulis ini sangat menguasai kuliner. Kemudian terdapat hiolo, tempat abu bagi Tuhan, lalu di bagian dalam tempat abu bagi dewa tuan rumah, dewa Phan Ko. Dewa ini dipercaya sebagai nenek moyang orang Tionghoa.
Keunikan lain Klenteng ini tidak hanya didominasi warna merah dan kuning, namun juga ada warna hijau. Inilah akulturasi budaya yang menggabungkan budaya Tionghoa dengan budaya Sunda.
Warna hijau terdapat pada warna payung Sunda. Selain itu terdapat batu besar di dalam Klenteng, juga di bagian belakang Klenteng, yang disebut batu era militikum. Juga terdapat makam atau petilasan dua tokoh penyiar agama Islam di Jawa Barat
Dalam penjelasannya, Chandra menguraikan beda Klenteng dan vihara. Vihara adalah tempat ibadah berbasis agama, sedangkan Klenteng berbasis budaya atau tradisi. Jadi orang beragama apapun boleh betsembahyang di Klenteng dengan cara menurut agama masing-masing. Juga Klenteng dibuka sepanjang waktu, berbeda dengan vihara yang dibuka pada waktu tertentu saja.
Di altar Klenteng Phan Ko Bio ini terdapat patung dewa Phan Ko, Buddha, Dewa Kwan Kong, dewa bumi dan Dewi Kwan Im.
Dewa tuan rumah di Klenteng ini berbeda dengan tuan rumah Klenteng Dhanagun di jalan Surya Kencana. Kalau di Klenteng Dhanagun (Ho Tek Bio) karena dekat pasar, tuan rumahnya dewa rejeki.
Dewa Phan Ko adalah dewa yang diyakini nafasnya menjadi udara yang dihirup penduduk, matanya menjadi matahari dan bulan, darahnya menjadi sungai dan suaranya menjadi halilintar.
Urutan betsembahyang di Klenteng ini adalah menyalakan hio, lalu meletakkan pertama kali pada hiolo untuk Tuhan, lalu pada hiolo tuan rumah, baru kepada dewa lainnya.
Disebut Klenteng tertua, karena ditemukan tahun 1703 oleh Abraham van Ribbeck, seorang pakar expedisi Belanda. Abraham berhasil menemukan klenteng ini dengan menggunakan jalur Selatan (dari ketinggian). Berbeda dengan dua orang penjelajah sebelumnya yang tidak menemukan klenteng ini karena dari jalur Utara
Klenteng ini juga dikenal sebagai simbol persatuan, karena pada tiap malam Jum'at selalu menggelar pengajian Selain Klenteng sebagai simbol keberagaman, warga di Kampung ini yang terdiri dari suku Tionghoa dan Sunda hidup rukun berdampingan dari dulu hingga kini.
Pulau Geulis dulu menjadi tempat istirahat keluarga raja Pajajaran, setelah terjadi penyerbuan dari kesultanan Banten, pulau Geulis menjadi tanah tak bertuan. Setelah terjadi letusan gunung Salak, geografis pulau Geulis berubah, sehingga sungai tidak dapat dilayari.
Penduduk di pulau Geulis adalah orang Tionghoa dan Sunda yang hidup dalam perbedaan yang berhasil disatukan, sehingga dapat hidup rukun. Mereka hidup dari berburu dan menangkap ikan. Saat Ini menjadi salah satu Kampung Wisata etnik, yang dikelola oleh pokdarwis atau Kelompok sadar wisata.
Salah satu usaha UMKM di Kampung ini memiliki prestasi yang membanggakan karena berhasil memasok jajan pasar ke hotel-hotel di Bogor.
Mengunjungi Kampung Wisata Pulau Geulis kembali menyadarkan semangat kita untuk selalu bertoleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H