Urutan betsembahyang di Klenteng ini adalah menyalakan hio, lalu meletakkan pertama kali pada hiolo untuk Tuhan, lalu pada hiolo tuan rumah, baru kepada dewa lainnya.
Disebut Klenteng tertua, karena ditemukan tahun 1703 oleh Abraham van Ribbeck, seorang pakar expedisi Belanda. Abraham berhasil menemukan klenteng ini dengan menggunakan jalur Selatan (dari ketinggian). Berbeda dengan dua orang penjelajah sebelumnya yang tidak menemukan klenteng ini karena dari jalur Utara
Klenteng ini juga dikenal sebagai simbol persatuan, karena pada tiap malam Jum'at selalu menggelar pengajian Selain Klenteng sebagai simbol keberagaman, warga di Kampung ini yang terdiri dari suku Tionghoa dan Sunda hidup rukun berdampingan dari dulu hingga kini.
Pulau Geulis dulu menjadi tempat istirahat keluarga raja Pajajaran, setelah terjadi penyerbuan dari kesultanan Banten, pulau Geulis menjadi tanah tak bertuan. Setelah terjadi letusan gunung Salak, geografis pulau Geulis berubah, sehingga sungai tidak dapat dilayari.
Penduduk di pulau Geulis adalah orang Tionghoa dan Sunda yang hidup dalam perbedaan yang berhasil disatukan, sehingga dapat hidup rukun. Mereka hidup dari berburu dan menangkap ikan. Saat Ini menjadi salah satu Kampung Wisata etnik, yang dikelola oleh pokdarwis atau Kelompok sadar wisata.
Salah satu usaha UMKM di Kampung ini memiliki prestasi yang membanggakan karena berhasil memasok jajan pasar ke hotel-hotel di Bogor.
Mengunjungi Kampung Wisata Pulau Geulis kembali menyadarkan semangat kita untuk selalu bertoleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H