Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kampung Kebhinekaan di Kampung Nelayan Cilincing

28 Februari 2022   09:30 Diperbarui: 28 Februari 2022   09:34 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Multi agama (sumber: liputan6.com)

Semula jalan raya ini bernama jalan Rekreasi, sekarang sudah berganti nama menjadi jalan Cilincing Lama. Sebelum banyak bangunan, warga Jakarta mudah mencapai pantai untuk berekreasi, bahkan sering digunakan untuk shooting film.

Di kampung nelayan ini berdekatan berdampingan beberapa tempat ibadah dari agama berbeda, sehingga menjadi tolok ukur Kebhinekaan di kawasan ini.

Dalam rangka Festival Kebhinnekaan, telah diadakan tour virtual untuk melihat kawasan ini dipandu oleh Ira Lathief dari Wisata Kreatif Jakarta.

Pertama kali, peserta diajak mengunjungi Kelenteng tertua di Jakarta, diperkirakan Kelenteng ini telah  berumur 11 abad, yaitu Kelenteng Sam Kuan Tai Tie. Kelenteng ini dibangun pada saat Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen berkuasa di Batavia. Kelenteng adalah tempat ibadah bagi umat Budha, Tao dan Kong Hu Cu. Bagi umat Budha ke kelenteng hanya sebagai tradisi, mereka lebih banyak beribadat di vihara

Disebelahnya berdiri sebuah vihara Budha Lalitavistara yang disebelahnya terdapat sekolah dan Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) 'Maha Prajna'.

STAB mendidik siswanya hingga menjadi biksu dan biksuni dari seluruh Indonesia. Calon biksu dan biksuni ini juga dididik untuk tidak membunuh satwa, sehingga mereka menjadi vegetarian. 

Suasana disini seperti Thailand, banyak biksu dan biksuni berlalu lalang. Pada saat tour virtual berlangsung sedang digunakan untuk beribadah anak-anak dan remaja yang mengenakan kaos seragam berwarna orange. Pasa vihara ini juga terdapat miniatur Candi Borobudur.

Juga menjulang tinggi terdapat pagoda 7 tingkat, yang sempat menjadi bangunan tertinggi di Jakarta sebelum Monumen Nasional dibangun. Sayangnya bangunan ini agak miring sehingga cagar budaya ini kini tidak boleh dimasuki dan dinaiki. 

Disebelahnya terdapat kompleks penitipan abu jenasah (Rumah Abu), yang sangat ramai dikunjungi peziarah saat Ceng Beng. Selain berziarah kadang ada yang mengirim kenangan berupa uang akhirat dan emas batangan dari kertas yang dibakar untuk dikirim pada leluhur yang sudah meninggal.

Didekat Kelenteng dan vihara ini juga terdapat Pura Segara, tempat ibadah bagi warga Hindu di Jakarta dan sekitarnya. Kalau disini suasananya mirip di Bali. Dan sangat ramai saat hari raya Hindu.

Di dekat tempat ibadah tiap waktu sholat terdengar suara azan. Suara ini berasal dari  masjid Al Alam, sebuah masjid tua di Jakarta, yang didirikan oleh Fatahillah pada 23 Juni 1527 saat diperintahkan oleh Sunan Gunung Jati untuk melawan Belanda di Batavia. Pada masjid ini terdapat bedug kuno dan pesan Sunan Gunung Jati yang menitipkan umatnya.

Meski tempat ibadah berbeda agama ini letaknya berdekatan, namun tercipta suasana yang rukun dan saling menghormati.

Pada akhir tour, peserta diajak melihat keindahan kapal kayu yang bersandar di pelabuhan Cilincing yang berwarna warni. Lokasi ini sering digunakan penggemar fotografi untuk berburu foto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun