Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pengalaman Diaspora Karantina 10 Hari

25 Desember 2021   18:49 Diperbarui: 25 Desember 2021   20:00 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karantina (sumber: cnnindonesia.com)


Bagi diaspora dimanapun berada pasti rindu untuk pulang ke negara asalnya. Seperti Kompasianer, Gaganawati Stegmann, Kompasianer of The Year 2020 yang saat ini bermukim di Jerman terpaksa harus mudik, untuk mengunjungi makam ayahnya yang meninggal tahun lalu dan juga untuk keperluan mengurus dokumen perbankan.

Karena sekarang masih masa pandemi, meski penularan sudah agak melandai, siapapun yang datang dari luar negeri harus menjalani aturan 10 hari karantina. Karantina boleh dilakukan di hotel (berbayar) atau wisma (gratis) bagi pelajar.

Karantina dilakukan di 3 kota pendaratan, Jakarta,  Surabaya atau Denpasar. Dan info terakhir, karantina sudah diperpanjang menjadi 14 hari.
 
Bagaimana rasanya 10 hari karantina? Berapa harga menginap di hotel dan apa saja fasilitas yang diberikan? Apa yang bisa dilakukan selama karantina? Mengapa tidak pilih wisma yang gratis fasilitas dari pemerintah? Mengapa ada ribut-ribut di media massa dan media sosial soal wisma pada tanggal 18 Desember bertepatan dengan kedatangan Gana? Maka Koteka Talk digelar dengan tema 'Gimana Rasanya 10 Hari Karantina?" dengan  narasumber Gaganawati Stegmann, dan dipandu oleh Ony Jamhari.

Gana (dokpri)
Gana (dokpri)


Gana yang melakukan perjalanan dari Jerman - Swiss - Singapura - Jakarta,  selama 16 jam perjalanan dan mendarat di Terminal 3 bandara  Soekarno Hatta pada tanggal 18 Desember 2021 jam 10.00 WIB. Uniknya, saat penerbangan pesawat penuh.

Gana dapat mudik, karena menghabiskan cuti kerja dan pendidikannya yang dapat digabung hingga cuti 3 minggu. 

Semula  karantina hanya 3 hari lalu meningkat menjadi 10 hari, meski Gana memiliki kartu pelajar karena sedang menjalani pendidikan, seharusnya bisa memilih karantina di wisma yang gratis, namun melihat antrean yang mencapai 18 jam, akhirnya dengan berat hati, Gana memilih hotel bintang 3 ternyata biayanya hampir 10 juta Rupiah dan mencarinya sangat susah.

Saat mulai turun dari pesawat, urusan memakan waktu 1 jam, di foto oleh tentara dengan penjemput dari hotel dan diberi gelang karantina.

Gana yang tinggal di negara yang sangat memjunjung tinggi HAM, sangat merasa adanya perbedaan pada karantina di Indonesia, karena Pejabat bisa karantina mandiri di rumah, sedang warga biasa harus di hotel yang cukup mahal dan wisma yang gratis. Kenapa harga hotel di bisniskan?

Sedangkan di Jerman, semua orang yang memiliki rumah sendiri, boleh isolasi mandiri di rumah, dengan ada petugas yang mengawasinya.

Gana sangat menyayangkan adanya kasta di Indonesia dalam hal karantina. Biaya yang dikeluarkan hampir 10 juta termasuk kamar deluxe dengan ranjang king size, makan 3x sehari, televisi, cuci pakaian 5 pcs tiap hari sekali dan 2x PCR serta menginap 9 malam 10 hari. PCR dilakukan 1x di bandara dan 1x di hotel.

Di samping mengeluh karena ketidak adilan yang dialaminya, Gana juga merasa senang, karena ada orang dari hotel yang bisa disuruh, misal untuk membeli kartu telepon.
.
Juga merasa senang, karena bisa membaca, menulis, menonton film di televisi. Meski daftar hotel sudah tersedia dari bintang 2 hingga bintang 5 namun hendaknya jumlahnya diperbanyak.

Selama karantina,  semua dokumen ditahan oleh hotel.

Ketika tiba di hotel ditanyakan apakah ada alergi dan pantangan makanan. Senangnya lagi, tiap hari disajikan makanan Indonesia lengkap dengan buah. Juga fasilitas internet yang lancar.

Meja kerja dan makan dengan jendela yang tidak dapat dibuka sehingga tak ada udara segar, ada telopon untuk internal call. Pada pintu terpasang alarm untuk menandai bila prnghuni keluar kamar.

Juga terdapat dapur kecil untuk membuat teh / kopi. Suplai air putih cukup banyak.

Boleh menerima makanan kering dari luar, tetapi dilarang menerima tamu. Semua karyawan hotel menggunakan masker.

Setelah hari ke 5 boleh berjalan- jalan di sekitar hotel dan berenang. Tetapi tidak sempat dilakukan, karena hampir tiap hari hujan. Mendapat surat keterangan sudah karantina dari hotel saat akan meninggalkan hotel.

Bagi Gana berdiam diri di dalam kamar hotel adalah sebuah pengalaman baru, karena biasanya senang keluar dan tidak senang di dalam hotel.

Yang sangat disesalkan, beaya karantina sama dengan satu bulan gaji Gana selama  pendidikan di Jerman .Bila pergi dengan pasangan boleh dalam satu kamar, tetapi harus menambah setengah harga.

Pesannya, bagi orang Indonesia bila ke luar negeri harus menyediakan dana untuk karantina. Sebaiknya wisata di dalam negeri saja.

Tips, disarankan booking hotel dari negara asal. Meski kabarnya sekarang available room bisa dilihat dari website.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun