Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Bumi Manusia", Memperjuangkan Kesetaraan Manusia

19 Agustus 2021   08:48 Diperbarui: 19 Agustus 2021   08:52 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk membahas tentang film perjuangan, tidak harus berupa film perang. Film yang saya tonton dua tahun silam dalam rangka HUT KOMIK yang ke 5, tepatnya Agustus 2019 di XXI TIM Jakarta Pusat pada pertunjukan hari terakhir sebelum Graha Bhakti Budaya diratakan dengan tanah, sepertinya pantas untuk diketengahkan sebagai film bergenre perjuangan.

Film yang saya maksud adalah "Bumi Manusia" yang diangkat dari novel berjudul sama karya Parmoedya Ananta Toer. Film ini mengisahkan perjuangan seorang pemuda pribumi yang memperjuangkan cintanya pada seorang gadis berdarah campuran Belanda -Jawa yang mendapat pendidikan Belanda.  

Film ini dengan berani memberikan kritik tajam terhadap sikap orang-orang Belanda terhadap warga pribumi pada masa pra kemerdekaan.

Sinopsis

Adalah Minke, diperankan oleh Iqbaal Ramadhan, seorang pemuda pribumi cerdas yang berhasil menembus sekolah Belanda kala itu, Hoogere Burgerschool (HBS) karena kebetulan lahir dari kalangan ningrat.

Karenanya, Minke memiliki banyak teman berdarah Belanda, diantaranya kakak dari Annelies Mellemma (Mawar Eva de Jongh), gadis Belanda hasil asimilasi perkawinan seorang Belanda dengan seorang wanita pribumi atau Nyai (gundik). 

Oleh kedua orang tuanya yang berdarah ningratdan berbudaya feodal, Minke tidak disetujui membina hubungan cinta dengan Annelies, yang disebut derajatnya serendah binatang, karena anak seorang Nyai.

Sebaliknya, Minke justru mengagumi pemikiran Nyai Ontosoroh (Ine Febriyanti) setelah cukup dekat dengan Annelies. Nyai Ontosoroh dengan sangat berani melawan keangkuhan hukum kolonial Belanda. 

Novel dan film ini dengan gamblang melukiskan potret kemanusiaan yang sangat timpang, dimana si "darah biru" merasa harkatnya lebih tinggi dari si jelata, si kuat selalu menang atas si lemah dan si kaya  selalu merasa lebih unggul dalam segala hal dari si miskin.

Minke tidak mempedulikan ketidak setujuan ibunya  (Ayu Laksmi) dan ayahnya (Donny Damara). Dan Minke berjuang melalui tulisan-tulisannya menuntut penghapusan ketidak setaraan pada harkat kemanusiaan. Minke dengan gagah berani membela perjuangan Nyai Ontosoroh menghadapi Pengadilan yang semena-mena dan berlaku tidak adil terhadap Nyai Ontosoroh. 

Begitu kejamnya sikap kaum feodal yang mengharuskan Nyai Ontosoroh melepas sepatunya dan harus berjingkit saat memasuki gedung pengadilan serta duduk di lantai gedung Pengadilan. Berbeda dengan orang-orang Belanda yang boleh duduk nyaman di atas kursi. Sangat ironis, terjadi ketidak setaraan pada sesama manusia di muka bumi ini.

Perjuangan untuk membuat kesetaraan antar manusia masih terus diperjuangkan hingga kini, saat Indonesia sudah 76 tahun merdeka, karena masih sering terjadi dimana-mana, termasuk di Indonesia yang bangsanya sudah merasa merdeka. 

Dengan mudah kita menemukan perilaku pejabat yang sewenang-wenang terhadap warganya, sikap orang kaya yang  memandang rendah terhadap orang miskin, majikan yang seenaknya menghina bawahannya serta sikap mayoritas yang menindas si minoritas. Semua ketimpangan ini belum dapat  sirna dari bumi Indonesia meski Indonesi sudah merdeka 76 tahun.

Pada proses pembuatan film "Bumi Manusia" ini  sempat terjadi pergantian sutradara beberapa kali. Bermula Oliver Stone yang dipercayai menangani penyutradaraan film ini, lalu beralih ke Riri Reza. 

Pindah lagi ke Garin Nugroho, dan akhirnya selesai di tangan dingin Hanung Bramantyo. Tak heran bila waktu pembuatan film ini cukup lama, total 14 tahun, dari tahun 2004 hingga 2018.

Guna menampilkan suasana latar belakang tempo dulu, agar sesuai dengan aslinya terpaksa digunakan teknologi CGI, guna mendapatkan hasil maksimal.

Sebagai penggemar film, saya sangat mengapresiasi film ini, karena pemilihan artis pendukungnya yang sangat tepat, dan isi novel benar-benar dapat divisualisasi secara lengkap.

Film ini seolah menyodorkan kaca kepada para penontonnya, kiranya sampai kapan kesenjangan antar manusia dapat lenyap dari bumi yang makin renta ini. Hanya kita yang dapat menjawabnya dengan perjuangan tanpa kenal lelah.

Data film

Genre : Drama

Produksi : Frederica

Produser : Falcon Pictures

Sutradara : Hanung Bramantyo

Penulis : Salman Aristo

Adaptasi novel : Pramudya Ananta Toer

Artis : Iqbal Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, Ine Febriyanti, Ayu Laksmi, Donny Damara, Bryan Domani, Giorgino Abraham, Chew Kin Wah

Durasi : 172 menit

Rating: 17 tahun ke atas

Referensi: Kompasiana, Agustus 2019, Sutiono Gunadi, "Bumi Manusia Ketika Kesetaraan Adalah Suatu Keniscayaan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun