Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bagaimana Bekerja di Jalur Gaza?

5 Juni 2021   19:23 Diperbarui: 11 Juni 2021   17:50 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, Sabtu 5 Juni 2021 komunitas traveler Kompasiana kembali melangsungkan Koteka Talks 38 dengan topik "Rasanya Bertugas di Jalur Gaza, Palestina". Sebagai nara sumber adalah  Maria Goreti Ika Riana, yang bekerja di Komite Palang Merah Internasional di Jalur Gaza sejak Oktober 2019 sampai Maret 2021. Sebagai moderator Ony Jamhary dari Koteka.

Maria (dok: Koteka)
Maria (dok: Koteka)

Sebelum bertugas di Jalur Gaza, Maria pernah ditugaskan ke beberapa daerah konflik lain, seperti Afghanistan dan Myanmar. Dengan latar belakang lulusan S1 Pendidikan Bahasa Inggris Sanata Dharma, Yogyakarta, Maria memulai karirnya di bidang kemanusiaan sejak 2005, saat tsunami melanda Aceh. 

Hatinya terketuk saat melihat bencana tsunami di Aceh, Maria langsung mendaftar sebagai relawan di Perhimpunan Palang Merah Internasional (IFRC) dan. akhirnya menetap setahun di Aceh sebagai staff IFRC

Selain bekerja dengan Perhimpunan Palang Merah Internasional (IFRC), Maria juga pernah bekerja dengan Perhimpunan Nasional seperti Palang Merah Denmark dan Perancis. Saat ini, Maria bertugas di Komite Palang Merah Internasional (ICRC) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss.

Bagi Maria, bekerja di lembaga Internasional sangat menantang karena sebagai orang Indonesia, kita harus berkompetisi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya dan akademis yang berbeda. Maria tidak melihat tantangan lebih dengan menjadi seorang perempuan, tetapi bagaimana kita bisa meningkatkan kualitas kita untuk bersaing secara internasional. Bagaimana kita bisa berpikir lebih kritis, menjadi lebih kreatif dan tentu saja bagaimana kita bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja yang multi kultural. Bagi Maria, dengan menggabungkan budaya Timur yang ia miliki dan budaya Barat yang ia pelajari, Maria mampu beradaptasi dengan lebih mudah tidak hanya di lingkungan kerja, namun juga di lingkungan sosial.  

Jalur Gaza

Maria bertugas di Jalur Gaza selama 17 bulan sebelum kembali ke tanah air pada bulan Maret 2021. Maria menjelaskan bagaimana kehidupan sehari-hari di sana.  Maria tinggal dengan 5 staff ICRC lainnya yang berasal dari berbagai negara (Kanada, Inggris, Swiss dan Belanda). Setiap hari Maria memilih untuk berjalan kaki ke kantor yang memakan waktu 15 menit. Jam kerja di Jalur Gaza pada masa tenang, seperti layaknya jam kantor normal dari jam 8 pagi sampai 5 atau 6 sore. "Sepulang kantor, biasanya saya memasak makanan Indonesia untuk teman-teman satu rumah. Dan untuk hiburan di malam hari, kami bermain board game dan pada akhir pekan berkaraoke di rumah" ungkapnya. Kalau cuaca bagus, Maria dan teman-teman serumahnya bisa pergi ke pantai untuk sekedar jalan-jalan atau bermain frisbee.

Sebelum berangkat ke Jalur Gaza, Maria mencoba mencari tahu gambaran tentang Jalur Gaza melalui internet. Seperti umumnya gambaran di media,  Jalur Gaza digambarkan dengan  banyaknya  reruntuhan dan bom disana sini. Dan ketika Maria sampai di Jalur Gaza, semua berbeda dengan apa yang dia bayangkan. Ketika melalui perbatasan, memang Maria mengakui banyak gedung-gedung yang berlubang bekas peluru atau bom. Namun setelah sampai kota , kehidupan tampak normal dan biasa seperti tidak pernah terjadi perang sebelumnya. Banyak restoran, mall, cafe dimana orang- orang menikmati waktu di luar rumah. 

Luas Jalur Gaza sekitar 365 meter persegi dengan panjang 41 KM dan lebar antara 6-12 KM. Jalur Gaza berbatasan dengan Mesir di bagian Selatan dan Israel di bagian Utara, dimana keamanan dijaga oleh tentara Mesir dan Israel. Penduduk Gaza yang berjumlah sekitar 2 juta orang, adalah ras Arab berkebangsaan Palestina. Bahasa nasional adalah bahasa Arab dan mayoritas beragama Islam, ada sekitar 1.000 orang yang beragama Kristen Ortodox dan Katolik Setelah konflik besar pada tahun 2014, dimana banyak penganut Kristen yang meninggalkan Gaza. Ada 2 gereja di pusat Kota Gaza yaitu untuk umat Ortodox dan Katolik.

Untuk menuju Jalur Gaza, ada dua rute yang dapat dilalui,, namun untuk saat ini turis masih dilarang untuk masuk Jalur Gaza. Rute dari Israel, sekitar 1,5 jam dari Tel Aviv / Yerusalem dengan mobil menuju perbatasan  Erez dan rute  dari Mesir yang berjarak sekitar 365 km dari Kairo menuju perbatasan Rafah.

Walau turis tidak boleh memasuki Jalur Gaza, tetapi turis dapat mengunjungi Palestina bagian Tepi Barat (West Bank). Biasanya para peziarah (terutama yang Kristen), berziarah ke Tepi Barat melalui Amman (Yordania), lalu masuk ke Tepi Barat lewat darat dan mengunjungi beberapa kota suci seperti Betlehem, Hebron, Nablus, sungai Jordan dan Yerusalem Timur. Setelah itu, di bagian Israel mereka bisa mengunjungi kota Nazareth dan Danau Galilea.

Mengenai makanan yang dikonsumsi oleh penduduk Gaza, makanan pokok mereka adalah roti pita (pipih seperti roti canai). Nasi juga banyak dikonsumsi di Gaza tetapi tidak ada nasi putih seperti di Indonesia. Nasi mereka berbumbu seperti nasi kebuli dan mereka memasak daging bersama di dalam nasi tersebut. Penduduk Gaza banyak sekali mengkonsumsi daging terutama sapi, kambing dan ayam. Makanan laut (seafood) juga umum ditemui,karena letak Jalur Gaza yang berada di dekat pantai.

Angka kriminalitas di Gaza menurut Maria tidak terlalu tinggi, terutama yang berhubungan dengan adanya orang asing (penyerangan, pencurian atau perampokan). Maria mengakui  bahwa selama tinggal di Jalur Gaza, dia merasa aman berjalan sendiri di area publik. Selama ini, yang Maria tahu bahwa di penjara Gaza, banyak orang yang masuk penjara karena tidak bisa membayar hutang.


Palestina memiliki dua musim seperti Mediterania yaitu panas seperti gurun pasir hingga mencapai 40 derajat Celcius dan musim dingin mulai Oktober yang suhunya bisa mencapai -10 derajat Celcius. Namun rumah di Palestina tidak didesain untuk musim dingin, jadi suhu di dalam rumah lebih dingin dibanding suhu di luar rumah.


Tugas Maria di Jalur Gaza sebagai staff ICRC yaitu fokus pada isu ketahanan ekonomi dan ketahanan pangan. Pada saat tenang, Maria dan tim  nya sebanyak 7 orang, banyak bekerja dengan petani dan penggiat ekonomi mikro untuk dapat meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan ekonomi.  "Salah satu proyek yang ada di foto yaitu tentang proyek inovasi dimana seorang petani Gaza, dengan dukungan financial dari ICRC dapat menggabungkan dua mesin panen, yaitu untuk memotong dan memisahkan biji gandum.  Inovasi ini sangat membantu petani yang berada di daerah perbatasan (daerah sensitif), untuk bisa memanen gandum dengan cepat di daerah sensitif", pungkasnya. Namun menurut Maria dan timnya akan beralih fokus pada emergency response, yaitu pendistribusian barang bantuan yang dibutuhkan oleh warga yang terdampak konflik langsung misalnya paket kebersihan, kasur, tenda, selimut dll.

Panen gandum (dok: Maria)
Panen gandum (dok: Maria)

Maria sangat menikmati bekerja dengan orang-orang Gaza. Menurut Maria mereka adalah pekerja keras dan mempunyai potensi besar untuk maju. Namun sayang sekali, tingkat pengangguran di Gaza sangat tinggi yaitu sekitar 45%. Walaupun mereka sudah sekolah tinggi, namun mereka tidak bisa keluar dari Gaza karena penutupan perbatasan dan lapangan kerja di Jalur Gaza sangat terbatas, ditambah lagi dengan pertumbuhan penduduk yang cepat di wilayah yang kecil. Sekitar 1,5 warga Jalur Gaza berstatus sebagai refugee (pengungsi lintas batas) Palestina. Dan menurut UNRWA  (Badan PBB yang menangani pengungsi Palestina) hingga saat ini hampir 1 juta pengungsi  Palestina di Jalur Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan. Keadaan seperti inilah yang menghambat laju ekonomi di Jalur Gaza walaupun masyarakat Gaza adalah masyarakat yang berpendidikan dan berketerampilan tinggi.

Bagi Maria bertugas di Jalur Gaza tidak terlalu menyeramkan seperti yang digambarkan di media. Ada saat dimana Maria merasa tegang ketika terjadi eskalasi antara Hamas dan Israel pada bulan November 2019. Berada di Jalur Gaza pada saat perang roket memang pengalaman yang tidak dapat dilupakan . Namun banyak hal yang sangat mengesankan ketika Maria tinggal di Gaza, yaitu kehangatan orang-orang Gaza yang menganggap Maria seperti saudara. "Bagi orang Gaza , pendatang adalah tamu yang harus dilayani seperti raja, hal ini membuat saya sebagai orang asing dapat merasakan Gaza seperti rumah sendiri", tutur Maria. Selain kehangatan orang-orang Gaza, banyak hal yang Maria lakukan untuk menghilangkan stress selama bekerja dan hidup di Gaza. Berlatih boxing, berkebun, berkaraoke, memasak masakan Indonesia adalah kegiatan rutin Maria di waktu senggang. Selain itu, Maria juga mendapatkan kemudahan dari lembaga dimana ia bekerja untuk mendapatkan tambahan cuti setiap 3 bulan untuk keluar dan berlibur selama 2 minggu. Namun, sejak pandemi hal itu sangat sulit dilakukan. Selama pandemi berlangsung, penutupan perbatasan oleh Israel dan Mesir menjadi berkah teraendiri karena selama 6 bulan pertama di Gaza, tidak ada kasus Covid-19 sama sekali karena orang keluar masuk sangat dibatasi dan diperiksa dengan ketat. Tetapi pada akhirnya setelah 6 bulan berlangsung, kasus pertama Covid-19 ditemukan dan akhirnya merebak di Jalur Gaza. Tentu saja dengan semua keterbatasan, fasilitas kesehatan juga tidak memadai di Gaza untuk merawat pasien-pasien Covid-19.

Maria merasa lebih ngeri di Afghanistan, karena  ada penembakan dan penculikan. Maria merasa lebih stress saat ditugaskan di Myanmar. Orang Palestina bekerja bertani dan nelayan secara terbatas. Untungnya sistem kekeluargaan mereka tinggi, sehingga yang mempunyai pekerjaan akan menanggung keluarganya.. Warga Palestina dikenal miskin, rata-rata mereka hidup USD 1   per hari, nanun ada yang bisa hidup mewah dari berdagang atau menyewakan rumah ke lembaga internasional. Warga wanita Palestina di kota berjilbab, di rural dengan cadar, sedangkan bagi yang non muslim boleh tidak mengenakan jilbab. Untuk transportasi, ada yang memiliki  mobil, ada taksi dengan 4 penumpang juga tersedia bis.
Ketika ditanya tentang modal untuk bisa bekerja di lembaga internasional, Maria bercerita  bahwa modal utama dan awal dia adalah bahasa Inggris,. Selain itu, dia juga berusaha meningkatkan kapasitas diri dengan mengikuti pelatihan-pelatihan baik secara teknis maupun soft skils. Maria juga selalu berusaha mempelajari bahasa lokal seperti belajar bahasa Arab di Gaza, dan sekarang ini mulai belajar bahasa Rusia untuk mempersiapkan misi selanjutnya di Ukraina Timur. Di Gaza, gereja menggunakan bahasa Arab.

Maria sempat mengambil S2 Humanitarian di Belanda dan Jerman, pesannya bagi yang ingin bekerja di lembaga internasional harus siap berpindah tempat, kemampuan beradaptasi yang tinggi dan mampu menempatkan diri ditengah lingkungan multi kultural. Jadi harus memahami komunikasi dan mampu meredam konflik.

Salah satu pesan yang Maria ingin tekankan untuk teman-teman yaitu untuk selalu
cross check semua informasi yang diterima dan jangan langsung percaya. Ketika tinggal di daerah konflik, banyak sekali propaganda yang disebarkan  oleh pihak yang bersengketa, oleh karena itu kita harus pintar dalam mengolah informasi yang kita dapatkan supaya tidak terjebak dengan persepsi yang tidak benar.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun