Meski saya bukan tergolong generasi millenial, namun saya berusaha tetap mengikuti media sosial. Lahir pada kurun waktu generasi Baby Boomers yang menurut penilaian banyak kalangan dianggap sebagai generasi yang paling beruntung. Saat komputer mulai digunakan, saya juga sempat mempelajari mainframe dengan media punch card untuk memasukkan data (input data). Lalu beralih ke Personal Computer (PC) yang lalu makin mengecil dari mulai laptop, notebook, komputer tablet hingga telepon pintar.
Di bidang komunikasi, saya juga sempat mengalami penggunaan telepon kabel yang masih membedakan tarif lokal, interlokal dan internasional. Yang lalu bergerak dengan adanya paging system, lalu telepon genggam yang sebesar walky talkie, era SMS dan kini menjadi telepon genggam yang mengakumulasi komputasi, komunikasi dan fotografi.
Di bidang fotografi, saya juga masih menglami era kamera analog, lalu sempat ada kamera polaroid hingga kini beralih ke kamera digital. Kamera profesional diawali dengan DSLR (Digital Single Lens Reflex) yang kini beralih ke sistem mirrorless.
Saya juga masih mengalami mendengarkan musik melalui radio dan televisi, dari mulai piringan hitam, kaset, CD dan VCD, nonton film melalui media proyektor atau nonton bioskop. Tapi saya juga masih sempat mengenal spotify (musik) dan Netflix (film).
Karena saya hobi menulis, saya juga sangat familiar dengan mesin ketik, bahkan saat lulus SD mau masuk SMP wajib menunjukkan ijasah kursus mengetik. Kini mesin ketik sudah teronggok di gudang, PC dan notebook juga sudah jarang dibuka, karena untuk memeriksa surat elektronik dan menulis artikel sudah dapat melalui telepon pintar.
Seiring dengan maraknya media sosial, saya mulai berkenalan dengan Friendster, lalu Facebook yang dapat menghubungkan saya dengan teman-teman di mana saja berada, di satu kota, pada kota berbeda bahkan hingga di luar negeri sekalipun.Â
Selama bergabung dengan media sosial, saya selalu konsisten menggunakan nama asli atau nama sebenernya. Padahal banyak teman-teman yang menggunakan nama samaran, foto palsu dan data kelahiran yang sengaja disalahkan.Â
Beruntunglah sikap yang saya pilih ini benar, karena dalam sebuah seminar media sosial, pembicara atau nara sumber menganjurkan agar selalu menggunakan nama yang sama atau konsisten. Misal alamat surat elektronik xxx@xxx.com, maka nama pada Facebook harus xxx. Demikian juga saat saya membuat akun Twitter juga @xxx, serta Instagram @xxx. Demikian pula dengan Youtube.
Mungkin karena saya keburu tua, lingkungan di sekitar saya jarang yang memiliki akun Line seperti kebanyakan generasi millenial. Selama menggunakan media sosial, saya selalu menggunakan dengan penuh tanggung jawab, selalu menulis hal-hal yang positif dan dapat memotivasi pembaca atau orang lain.Â
Sayangnya, saya agak pemalu atau istilah ngetopnya takut viral, maka saya paling jarang mengekspose diri sendiri. Itulah sebabnya saat saya mendapat tantangan dari Kompasiana untuk tampil pada IGTV, saya lebih memilih "pass" meski konsekuensinya peluang untuk menyamber THR sirna. Maaf ya admin, ini bukan protes.
Media sosial dapat menjembatani kira dengan siapa saja, kadang orang yang semula tidak kenal, karena orang itu menyukai tulisan maupun unggahan saya pada akun media sosial saya, maka terjadilah pertemanan.Â
Media sosial bila digunakan dengan benar, pasti banyak manfaatnya. Pernah ada kejutan sebuah rumah makan atau hotel mengundang saya untuk melakukan review atau ulasan atas bisnis mereka. Sayangnya, karena saya takut viral, maka saya hanya melayani permintaan review melalui tulisan saja. No video, no TV.
Inilah pengalaman saya dengan media sosial, sangat konservatif, tapi ini prinsip hidup saya. Bagaimana dengan Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H