Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Indonesia Butuh Ketawa, Kenapa Harus Ketawain Diri Sendiri?

26 Desember 2020   10:49 Diperbarui: 26 Desember 2020   21:27 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketawa (sumber: hipwee.com)

Topik "Petasan" hari ini sangat menantang, Kompasianer ditantang untuk menertawakan dirinya sendiri. Semalam saya merenung, apa ya yang mau ditulis? Karena kehabisan ide, maka saya lalu mencari cermin dan melihat sosok diri saya sendiri. Ternyata tidak ada bagian wajah atau tubuh saya yang patut dijadikan bahan ketawa. 

Beda misalnya bila saya melihat kumis Hitler di wajah pelawak Jojon, saya bisa langsung ketawa atau bila saya melihat gerak tubuh stand up comedian Mongol bisa langsung ketawa. Melihat bayangan tubuh sendiri di kaca nyengirpun tidak, karena sama sekali tidak ada yang lucu.

Indonesia butuh ketawa itu memang benar, karena selama pandemi Covid-19 ini manusia membutuhkan daya imun yang kuat, salah satu syarat guna meningkatkan imunitas tubuh adalah hati yang gembira, tidak pernah stress. Nah ketawa memang diperlukan. Tapi kenapa harus menertawakan diri sendiri? Apa saya harus bermetamorfosa menjadi seorang pelawak atau stand up comedian?

Yang perlu ditertawakan

Sejak Indonesia menyatakan dirinya sudah mulai terpapar Covid-19, padahal sebelumnya orang Indonesia dikenal kebal virus, mulai dibentuk Komite Penanggulangan Nasional. Saya juga kaget karena orang Indonesia itu terkenal jorok, makan di pinggir jalan yang banyak lalat disebut sedap, padahal orang asing sudah langsung sakit perut. Lucunya, sekarang orang Indonesia harus meningkatkan kebersihan diri dan lingkungannya. Lebih sering mandi, ganti pakaian dan cuci tangan.

Tiap hari saya mendapatkan info update korban Covid seluruh Indonesia melalui pesan WhatsApp, yang mengingatkan saya pada tabel perolehan medali saat Pekan Olahraga Nasional (PON) sedang berlangsung. Provinsi DKI Jakarta yang selalu unggul, provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah yang saling menyusul. Kenapa data seperti ini harus disebarkan tiap hari? Bukannya akan menimbulkan stress dan masyarakat menjadi paranoid?

Kantor tempat saya bekerja juga ikut-ikutan tegang. Bulan April mulai menerapkan Work From Home (WFH). Namun karena kesadaran karyawan masih beragam, akibatnya malahan timbul protes bagi yang tidak memperoleh jatah WFH. Keluhannya lucu lagi, "Pak, kenapa saya tidak boleh ikut libur?" Maka dengan sabar, saya harus menjelaskan bahwa WFH itu beda dengan libur. Memang si Polan tidak datang ke kantor, namun dia harus bekerja dari rumah, jadi hanya pindah tempat kerja, bukannya libur.

Ketika konsep Kebiasaan Baru (New Normal) mulai diterapkan, secara berangsur WFH mulai dihapus dan kami menerapkan Work From Office (WFO) dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Ruang rapat hanya boleh ditempati setengah kapasitas karena duduk harus selang seling. Sebelum dan selesai rapat, ruang rapat harus disemprot desinfektans agar virus mati.

Rapat internal juga diupayakan dilakukan secara virtual di kubikal masing-masing. Uniknya seorang teman yang suaranya terkenal nyaring, kami lebih jelas mendengar langsung suaranya, daripada lewat laman Zoom. Atau rapat virtual dengan client, ada kisah lucu, setelah rapat berakhir, salah seorang peserta rapat secara tidak sengaja menayangkan dirinya yang masih mengenakan celana piyama.

Ruang pantry yang biasanya selalu ramai saat makan siang atau jedah jam 10 dan jam 15, kini jadi sunyi senyap, karena ada larangan berkumpul. Karena saya termasuk satgas Covid di kantor, tiap hari harus mengingatkan teman-teman yang mengenakan masker tidak secara benar. Dampaknya diluar tempat kerja, secara tidak sadar saya sering mengingatkan orang yang ketemu di jalan saat olahraga pagi agar mengenakan masker dengan baik dan benar.

Bila saya sempat mengunjungi mall untuk keperluan penting, misal mengaktifkan ponsel yang terblokir. Saya malahan melihat adegan lucu, orang-orang yang keluar dari rumah makan, lalu berdiri cukup rapat (padahal sarannya harus jaga jarak) dan malahan buka masker (padahal prokes mewajibkan selalu pakai masker) hanya untuk mendapatkan foto bersama yang akan diunggah ke sosial media. Opo tumon?

Banyak kisah unik yang muncul akibat ketegangan guna mengantisipasi agar tidak terpapar Covid. Ada yang menerima uang kembalian dari sopir taksi lalu uangnya disemprot desinfektans lalu dijemur. Kalau dulu keluar rumah, panik bila ketinggalan dompet atau ponsel, kini lebih panik bila ketinggalan masker.

Di dunia pendidikan juga muncul istilah kelon (kuliah online) yang hampir membuat pak Dosen ditalak isterinya saat membaca pesan WhatsApp dari mahasiswinya. "Pak, nanti malam kelon jam berapa?"

Daripada terus menerus tegang menghadapi Covid-19, menurut saya Indonesia Butuh Ketawa, karena jiwa yang senang yang dapat membuat kita imun dan sehat. Jangan stress apalagi depresi.
Lebih baik memikirkan hal-hal yang menyenangkan dan menggembirakan, membaca cerita lucu, menonton film komedi daripada menertawakan diri sendiri yang sama sekali tidak lucu. Mungkin mengikuti cerita politik yang ada di negeri ini bisa menjadi bahan lelucon yang membuat kita bisa ketawa. Ayo Indonesia tertawalah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun