Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hendrawan Supratikno, "Perkawanan yang Menyemaikan"

4 Oktober 2020   12:37 Diperbarui: 4 Oktober 2020   14:28 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin malam, hari Sabtu akhir pekan, 3 Oktober 2020 Ikasatya (Ikatan Alumni Satya Wacana) Jabodetabek nekad mengadakan webinar. Persertanya lumayan 150 lebih, ini dimungkinkan gara-gara pandemi Covid-19 sehingga banyak alumni yang betah tinggal di rumah.

Webinar yang diadakan melalui laman aplikasi Zoom ini membedah sebuah buku obituari tulisan Prof. Hendrawan Supratikno. Buku yang ditulis saat PSBB ini diterbitkan oleh penerbit KKK Kosakatakita membahas perkawanan penulis dengan 12 orang yang dianggap telah mempengaruhi  jalan hidupnya, ada politisi, budayawan, sosiolog, akademisi dan keluarga.

Ke 12 tokoh yang kini sudah meninggal dunia tersebut adalah Taufik Kiemas (politisi), Thee Kian Wie (ekonom), Darmanto Jatman (budayawan), Hartono ( tokoh Tionghoa ), Batara Simatupang (ekonom) dan Prasetya Budiawan (mentor keluarga) dari luar kampus UKSW dan Arif Budiman (sosiolog), George Junus Aditjondro (sosiolog), Marthen Ndoen (ekonom), Konta Intan Damanik (ekonom), Stephen Kakisina (ekonom)  Piet Rietveld (ekonom Vrije Universitiet Amsterdam) yang terkait dengan kampus UKSW.

Buku ini menceritakan transformasi seorang Hendrawan Supratikno dari seorang akademisi (ekonom) - knowledge making  ke politisi - policy making, dan merupakan refleksi perjalanan hidup dari seorang qudraple minority (keturunan Tionghoa, Kristen, bukan berasal dari dapil Batang - kelahiran Cilacap dan sudah terlalu berumur menapaki dunia politik). 

Buku ini ditulis untuk didekasikan pada almarhumah isterinya, Juliana Kalilena, seorang wanita asal Sabu - Timor, temannya berkeluh kesah sejak di asrama mahasiswa.

Buku ini bercerita tentang kekuatan sebuah perkawanan (The Power of Friendship). Dan terbentuknya dua paradigma, paradigma keilmuan (Merton) dan paradigma kekuasaan (Thucydodes dan Machiavelli). Juga terjadinya migrasi profesi dan kompetensi.

Hendrawan yang masuk Fakultas Ekonomi UKSW tahun 1978 berhasil lulus S1. Karena hobinya menulis dan pengalamannya mengelola koran kampus "Gita Mahasiswa" maka setelah lulus ia direkomendasikan oleh Arif Budiman untuk menjadi wartawan majalah Tempo, seperti rekannya Bre Redana yang direkomendasikan menjadi wartawan Kompas. 

Saat ia akan ke Jakarta, ia dicegah oleh rektor UKSW saat itu John Ihalauw dan dilamar untuk menjadi dosen. Padahal waktu itu masa perkuliahan sudah dimulai jadi otomatis ia menganggur. 

Beruntunglah muncul program studi lanjut untuk meraih gelar S2 di Leuven Belanda. Gelar S3 diperoleh dari Vrije Universitiet Amsterdam dan gelar profesor termuda diperoleh dari Universitas Kristen Satya Wacana.

Hendrawan pernah cuti mengajar di Salatiga lalu hijrah ke Jakarta dan mengajar di Institut Bisnis Indonesia. Di Jakarta inilah ia berkenalan dengan mentor politiknya Taufik Kiemas hingga hampir setiap malam belajar politik di jalan Teuku Umar.

Saat masa cuti mengajarnya di Salatiga hampir habis, Hendrawan ingin kembali ke Salatiga. Namun dihalangi oleh Taufik Kiemas dan disarankan untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif. 

Dengan hanya modal kecil akhirnya Hendrawan berhasil terpilih menjadi anggota legislatif dan masuk Senayan sejak 2009. Hingga kini Hendrawan masih menjadi politisi. Transformasi hidupnya dari seorang akademisi yang menomor satukan kebenaran kini harus berubah menomor satukan kemenangan.

Memang sangat sulit, dari kurva sebaran politisi hampir rata-rata berada pada kurva 4-9, sementara ia yang berasal dari akademisi mungkin berada pada aras 1-3. Masih mungkinkah Hendrawan bertahan di dunia politik atau harus kembali ke khitahnya sebagai akademisi?  Menurutnya hal ini suatu pertanyaan yang sulit dijawab, biarlah waktu yang menentukan.

Namun sebagai seorang manusia yang penulis kenal cukup dekat, sifat Hendrawan tetap tidak banyak berubah. Dia tetap seorang yang cerdas, humble dan blak-blakan (terbuka).

Acara bedah buku ini diakhiri dengan dua penanggap Komala Inggarwati dan Tonny Hendrartono keduanya adalah alumni Fakultas Ekonomi. Komala saat ini adalah dosen Fakultas Ekonomi Bisnis UKSW,  sedangkan Tonny adalah Direktur Post Graduate Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarukmo di Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun