Tahun ajaran baru 2020 sudah dimulai tepatnya 13 Juli 2020 yang lalu. Beberapa sekolah ada yang sudah berani menerima siswanya di sekolah. Apakah hal ini tidak berbahaya bagi keamanan siswa dan guru?
Meskipun sekolah menerapkan aturan protokol kesehatan seperti memakai masker dan menjaga kebersihan, namun ada satu protokol penting yang belum bisa dipenuhi yakni jaga jarak.
Jaga jarak
Seperti kita ketahui bersama Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang padat. Hal ini terimplikssi pada padatnya jumlah murid di sekolah. Saking padatnya sehingga harus ada sekolah pagi dan sekolah sore. Jumlah siswa tiap kelas rata-rata bisa mencapai 40-50 siswa. Dalam kondisi normal, siswa duduk berdua atau bertiga pada sebuah meja.
Dengan adanya protokol kesehatan untuk menjaga jarak 1-2 meter pada masa PSBB transisi tentu didalam satu kelas jumlah siswa harus berkurang minimal separuhnya, jadi jumlah siswa harus sekitar 20-25 siswa. Lalu mau dikemanakan siswa yang tidak tertampung di dalam kelas?
Yang berbahaya lagi adalah saat jam istirahat, siswa bisa saja tetap berkerumun. Pihak sekolah harus senantiasa mengawasi penerapan jaga jarak antar siswa di sekolah. Baik melalui himbauan langsung maupun melalui poster yang dipsasang ditempat strategis.
Masalah jaga jarak lainnya juga terlihat pada transportasi umum jam berangkat sekolah. Biasanya jam beeangkat sekolah selalu penuh dan melupakan aturan jaga jarak.
Mengingat kondisi padatnya jumlah siswa mau tidak mau pendidikan jarak jauh (e- learning) adalah cara yang dianggap lebih tepat pada era PBB transusi ini. Guru dapat memberikan pelajaran dan tugas-tugas kepada siswa dan siswa dapat menerima pelajaran dan nengerjakan tugas-tugas di rumah.
Memang guru dan siswa harus memiliki smartphone atau notebook dengan wifi yang cukup cepat di rumah. Dengan cara ini tidak ada siswa yang terpinggirkan tidak mendapat kesempatan sekolah, sementara aturan protokol kesehatan dapat dipenuhi seluruhnya sehingga pencegahan penularan virus tetap terlaksana.