Novel "Bumi Manusia" salah satu trilogi yang dihasilkan sastrawan Pramoedya Ananta Toer di tanah pembuangan pulau Buru, tidak sempat saya baca.Â
Karena saat saya mulai bisa membaca, terjadi peristiwa politik yang dikenal sebagai pemberontakan G30S/PKI. Tulisan dan buku orang-orang yang dicurigai berafiliasi dengan PKI merupakan buku terlarang.
Beruntunglah peta politik berubah, kini buku-buku yang dulu dilarang, sudah boleh dibaca, bahkan di filmkan. Salah satunya adalah karya akbar Pram berjudul Bumi Manusia.
Bumi Manusia
Minke (Iqbal Ramadhan) pemuda pribumi yang berhasil masuk Hoogere Burgerschool (HBS) jatuh cinta pada gadis Belanda Annelies Mellemma (Mawar), hasil asimilasi perkawinan seorang Belanda dengan seorang wanita pribumi.
Ibu Minke (Ayu Laksmi) dan ayah Minke (Donny Damara) dari golongan ningrat tidak menyetujui hubungan anaknya, karena kala itu anak seorang Nyai (gundik) derajatnya setara binatang.
Kedekatannya dengan Annelies, membuat Minke mengagumi pemikiran Nyai Ontosoroh (Ine Febriyanti), ibu Annelies, untuk melawan keangkuhan hukum kolonial.Â
Dalam novel ini, Pram menggambarkan dengan bagus situasi kemanusiaan, dimana si kuat selalu diatas si lemah, si kaya lebih unggul dari si miskin, si "darah biru" lebih tinggi harkat kemanusiannya dari si jelata.
Meski Minke gigih memperjuangan kemanusiaan melalui tulisan-tulisannya, demikian pula Nyai Ontosoroh yang dengan gagah berani melawan kesemena-menaan terhadap dirinya. Pengadilan yang merupakan institusi yang seharusnya berbuat adil, toh tetap menunjukkan ketidak adilan.
Penonton dibuat trenyuh saat Nyai Ontosoroh harus melepas sepatu, berjingkit di lantai gedung pengadilan, Â dan "ndemprok" (bahasa Jawa untuk duduk di lantai) di gedung pengadilan, sementara warga Belanda dengan angkuhnya duduk di atas kursi. Dimana kesetaraan antar manusia di bumi ini ?