Dua orang tokoh Islam di Indonesia yang memegang peran nasional dan selalu mengedepankan persatuan bangsa adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur - wafat 2010) dan H. Nurcholis Madjid (Cak Nur - wafat 2005). Sayang kedua Bapak Bangsa ini sudah mendahului kita menghadap Sang Khalik.
Namun sebutan tokoh kebangsaan juga melekat pada diri Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, dikenal sebagai Buya Syafii Maarif, pria kelahiran Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat, tanggal 31 Mei 1935. Buya Syafii Maarif selain sebagai seorang ulama juga sekaligus tokoh pendidik dan ilmuwan.
Buya Syafii Maarif dengan pemikirannya yang plural, kritis dan jernih telah banyak menghasilkan buku-buku keagamaan, diantaranya "Dinamika Islam", "Pernik-pernik Pemikiran Iqbal" dan "Islam, Mengapa Tidak?" yang diterbitkan Salauddin Press (1984) dan "Islam dan Masalah Kenegaraan" yang diterbitkan LP2ES (1985). Berkat pandangan dan pemikiran pada buku-bukunya ini Buya Syafii Maarif telah diganjar Hadiah Magsaysay oleh Pemerintah Filipina (2008).
Buya Syafii Maarif yang selalu berpenampilan bersahaja ini pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Presiden World Conference on Region for Peace (WCRP).
Buya Syafii Maarif selalu berani muncul di depan membela yang dinilainya benar. Buya Syafii Maarif tak segan mengkritik teman-temannya sendiri. Buya Syafii Maarif kadang dianggap melawan arus, ketika dengan tegar membela Basuki Tjahaja Purnama (A Hok) dalam kasus penistaan agama, akibat keseleo lidah dalam pidatonya di Kepulauan Seribu.Â
Dalam kasus ini Buya Syafii Maarif langsung berhadapan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan keras Buya Syafii Maarif menegur penebar isu SARA pada proses pilgub provinsi DKI Jakarta, "Janganlah membajak Tuhan untuk kepentingan politik."
Selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang banyak diserang caci maki, fitnah dan hoax, Buya Syafii Maarif juga tampil didepan meluruskan informasi miring yang bertubi-tubi dilayangkan dan ditujukan pada diri Presiden Joko Widodo.
Akhir-akhir ini radikalisme dan intoleransi ditengarai tumbuh subur di Indonesia, menurut analisa Buya Syafii Maarif, hal ini disebabkan oleh terjadinya kesenjangan sosial di kalangan masyarakat.Â
Keberagaman dan toleransi penting ditumbuhkan guna menghilangkan konflik dengan cara mempersempit kesenjangan sosial, mengurangi ketimpangan sosial, menghapus kemiskinan dan mengganti sistem kapitalisme yang masih membelenggu masyarakat Indonesia.Â
Sejalan dengan pemikirannya untuk mempersempit kesenjangan sosial, Buya Syafii Maarif juga menghendaki Islam di Indonesia dibangun dengan prinsip toleransi.
Sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), baru-baru ini Buya Syafii Maarif juga mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo, bila sudah dinyatakan resmi terpilih lagi sebagai Presiden RI periode ke dua (2019-2024), untuk membentuk zaken kabinet, yakni kabinet yang terdiri dari  orang-orang ahli.
 Usulan nama-namanya boleh saja dari partai politik pendukung Joko Widodo, tetapi harus diusulkan beberapa nama, agar Presiden lebih berdaulat untuk menentukan pilihannya.
Indonesia negeri dengan multi suku, multi agama, multi ras dan multi golongan memerlukan banyak tokoh Islam yang sekaliber Buya Syafii Maarif, karena pemikiran-pemikirannya mengutamakan persatuan bangsa dan mengeliminasi perpecahan yang sering dikobarkan oleh golongan garis keras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H