Dalam kiprah awalnya, hampir semua kegiatannya terunggah ke media sosial, entah Youtube, Facebook, Twitter dan Instagram. Semua acara, pidato dan pernyataan tersiar gegap gempita melalui sarana media sosial. Ya itulah gaya partai millenial.
Saking ambisiusnya, sampai-sampai Grace Natalie sang ketua partai kebablasan mengkritik habis partai-partai lama yang dianggap kurang peduli pada intoleransi dan sibuk berpesta dengan uang rakyat alias korupsi. Blunder ini justru merugikan PSI, karena semula partai-partai lama membiarkan PSI berkiprah dengan konsep barunya, namun setelah tersentil kritik, beranglah partai-partai lama itu. Anak bau kencur, kenapa berulah. Partai-partai lama kini malah memojokkan PSI dengan pernyataan, partai baru yang belum tentu mampu melewati ambang batas 4% jumlah suara agar mampu melenggang ke Senayan, apa perlu dipilih? Â Sayang suara yang diberikan kalau akhirnya gagal mengantar wakil-wakilnya ke Senayan. Demikian serangan partai-partai lama menanggapi kritik keras dari PSI.
Seharusnya PSI sebagai partai baru harus bijak, jangan srudak-sruduk yang merugikan partai-partai lama yang merupakan koalisinya. Meski PSI harus mencapai target 4% jumlah suara, seyogyanya tidak perlu mempermalukan partai-partai lama. Bisa saja yang dituduhkan tidak 100% benar, bisa saja partai-partai lama bersikap lebih represif dan tidak  segegap gempita PSI dalam menyikapi suatu peristiwa,
Asal Suara
Gara-gara blunder mengkritisi partai-partai lama, muncullah pertanyaan, sebenarnya PSI mau meraih suara dari mana? Dari menggembosi suara partai koalisi lawan (Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS) atau justru menggerogoti suara dari partai koaliasi sendiri (PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan Hanura).Â
Kalau PSI sanggup menggembosi suara partai koalisi lawan, ini sebuah prestasi yang perlu diacungi jempol karena akan memperkuat koalisi. Sebaliknya, kalau hanya mampu menggerogoti suara dari partai koalisi sendiri. Ini yang ironis dan konyol.
Memang tidak semua caleg partai-partai lama berkualitas, anti korupsi, dan pejuang gigih toleransi, apakah dengan demikian dapat dengan mudah digusur dan diambil alih? Tidak mudah menawarkan konsep baru kepada pemilih yang militan yang tentu sudah mengakar kuat pada partai-partai lama. Paling yang bisa diraih adalah para pemilih pemula yang haus hal-hal baru. PSI harus mampu merebut suara dari pemilih baru yang kebanyakan masih digolongkan sebagai swing voter, atau golongan belum menjawan pada survey-survey yang diadakan menjelang Pemilu.
PSI sebaiknya memetakan lebih matang ceruk mana yang mau diambil dan sebaiknya jangan mengambil suara dari partai koalisi sendiri, agar tidak menimbulkan friksi yang akhirnya membuat koalisi tidak solid. Â Â
Tawaran konsep baru, semangat yang menggebu, pemilihan caleg yang transparan hendaknya diperkuat dengan konsep berorganisasi yang rapi. Agar kasus beberapa dapil yang lalai atau terlambat melaporkan aliran dana kampanye tidak terjadi, apalagi tertangkapnya seorang caleg di DPRD dapil 1 Landak akibat menggelapkan dana untuk berjudi, hal ini menunjukkan belum rapinya tatanan organisasi. Transparansi pemilihan caleg masih perlu diuji, bahkan bila berhasil menembus Senayan, kualitas dan integritas para legislatifnya perlu dibuktikan agar tidak mengecewakan para pemilihnya.
Mengkritik keluar memang mudah, namun belajar introspeksi ke dalam jauh lebih sulit.
Selamat berjuang PSI !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H