Baru saja membaca berita, bahwa jaringan retail internasional Nike resmi akan masuk ke e-retail atau berjualan melalui media daring di Amazon dan Instagram (e-commerce).
Bila jaringan retail internasional mulai gerah dan akhirnya ikut masuk ke e-retail, bagaimana nasib toko-toko olahraga seperti Athlete's Foot dan Planet Sport ke depan? Â Sewa di mall elite tidaklah murah, sementara orang-orang terlebih generasi milineal lebih cenderung berbelanja lewat media daring.
Saya pribadi kalau dihitung sudah belanja lewat media daring lebih dari 10 kali khususnya untuk membeli sepatu dan arloji, dari e-bay, aliexpress, tokopedia atau lazada. Media daring menjajakan produk retail dari merek tidak terkenal hingga yang cukup terkenal sekelas Adidas. Keunggulan e-retail ada yang memberikan gratis ongkos kirim, padahal barang dikirim dari London (shipper-nya). Astaga murahnya.
Bila Nike masuk ke bisnis e-ratail tentu akan memotong banyak jalur distribusi. Pertanyaan nakalnya, apa isi mall di tahun-tahun mendatang? Apakah hanya akan diisi cafe, rumah makan, warung kopi kekinian, tempat  Fitness / gym / yoga, cinema atau Trampoline dan, Laser shooting?
Yang pasti dengan masuk ke bisnis e-retail, pengusaha memangkas biaya jalur distribusi, mengurangi biaya sewa gudang dan sewa lahan di mall.
Siapa lagi ke media daring?
Mungkin akan dilanjutkan dengan jaringan bisnis retail lainnya. Beberapa jaringan bisnis retail kebutuhan sehari-hari (sabun, shampoo, kopi, susu, dan lain-lain) seperti TransMart dan Indomaret sudah mulai masuk ke pemesanan barang yang di antar ke rumah. Bagaimana nasib gerai waralaba yang kini bertebaran hampir di tiap kelurahan? Bila suatu saat jaringan bisnis retail ini juga beralih ke e-retail.
Dampak ke depan mungkin pengusaha properti juga enggan ekspansi membangun mall karena butik-butik kenamaan juga mulai tidak sanggup membayar sewa lahan karena dagangan kurang laku.
Mungkin nasib bisnis retail akan sama dengan bisnis media yang beralih ke e-paper atau portal berita, bisnis transportasi dari taksi elite ke taksi daring (Blue Bird & Express vs Uber & Grab Car, tukang ojek vs GoJek), bisnis teknologi (Nokia, BlackBerry, Intel, Microsoft vs Samsung Android & Apple iOS), serta bisnis penginapan (hotel vs AirBnB).
Bila berpikir kedepan, bisnis apa yang akan meroket? Sepertinya bisnis jasa antaran (courier service), lihatlah Tiki dan JNE yang gerainya selalu penuh, bahkan J&T yang baru muncul juga ikut kebagian ramai.
Belajar dari Jack Ma
Saya baru membaca buku Alibaba-nya Jack Ma. Dia bisa menangkap peluang yang ada dari situasi yang terjadi sehabis krisis 2008 -2009.
1. Krisis di USA menyebabkan pasar ekspor China menyusut , China butuh pasar baru  untuk barang-barangnya yang tidak bisa dihentikan atau diperlambat kapasitas produksinya, sedangkan konsumsi di China belum naik . Jadi tantangannya bagaimana menjual produk China di pasar  China sendiri.
2. Harga properti yang terus menerus naik menyebabkan sewa toko di China mahal, banyak pedagang yang tidak sanggup menyewa toko.
3. Banyak toko / grosir di China yang sebenarnya hanya mau untung dari kenaikan harga properti / tokonya dan bukan sungguh-sungguh mau berbisnis retail, sehingga mereka tidak memperlakukan pelanggan dengan baik.
Konsep toko daring Alibaba sanggup menjawab ke tiga masalah tersebut. Ke depan mungkin toko daring akan lebih mendominasi pasar dibandingkan toko tradisional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H