Dulu atau kira-kira tahun 1990-an, ketika saya bepergian ke Eropa, selain tiket pesawat, saya juga memesan kamar hotel melalui travel biro langganan kantor. Kondisi hotel seperti apa juga belum tahu, hanya memilih berdasar bintang saja. Jadi, di dalam tas jinjing sudah lengkap paspor dengan visa, tiket pesawat dan voucher hotel.
Setiba di negara tujuan, kalau tidak menggunakan taksi, paling hemat saya menggunakan bis dari bandara yang memiliki trayek ke hotel-hotel bintang lima, jadi saya cari hotel bintang lima yang lokasinya paling dekat dengan hotel pilihan saya. Paling jalan beberapa ratus meter sudah ketemu hotelnya. Hal ini dapat dilakukan bila datang siang hari. Kalau malam hari daripada bermasalah, saya selalu menggunakan taksi.
Tahun 2017
Kebetulan keponakan saya minta ditemani ke Inggris, dari Jakarta kami menuju London. Semua urusan dari tiket pesawat, hotel / penginapan hingga transportasi dari bandara ke penginapan diatur oleh keponakan saya.
Menjelang berangkat, saya menanyakan, mana tiket pesawat dan voucher hotel, keponakan saya hanya menunjukkan gawainya. "Semua ada disini, Oom", katanya dengan santai.
Rupanya keponakan saya telah memesan tiket melalui gawainya ke maskapai penerbangan atau situs daring penjual tiket hotel, seperti Agoda, Traveloka, TripAdvisor  dan sejenisnya. Hotel atau penginapan juga dia pesan melalui Airbnb. Sedangkan transportasi dari bandara Heathrow ke penginapan, dia memesan taksi daring Uber. Menurut dia menggunakan Uber hanya mengeluarkan biaya sekitar 800 ribu Rupiah saja, dibandingkan naik taksi hampir 2 juta Rupiah, tempat untuk bagasi juga lebih luas.
Penginapan berupa sebuah apartemen yang cukup ok, saat kami turun dari Uber, keponakan saya langsung menuju kotak penyimpanan (safe deposit box), memasukkan password, dan diperoleh kunci apartemen. Luar biasa, jadi kami tidak perlu menemui pemilik apartemen.
Kenangan 20 tahun silam
Keesokan harinya di tengah semilir angin kota London yang lumayan panas, kami menikmati brunch di Bill's Summer Cafe di belakang istana Buckingham.
Saya jadi teringat pertama kali saya  berlibur ke Eropa tahun 1994. Keterbatasan dana memaksa saya untuk tinggal di hotel-hotel kecil di pinggiran kota. Saya masih ingat bahwa saya selalu mengantongi cube sugar di restoran sesudah breakfast. Tujuannya adalah untuk bekal "makan siang" agar perut tidak protes kalau terpaksa hanya makan dua kali sehari (pagi dan malam). Ya begitulah cara berhemat untuk orang yang nekad bepergian dengan anggaran pas-pasan. Sebuah kisah sengsara yang membawa nikmat dan indah untuk dikenang sampai saat ini.
Ketika hal itu saya ceritakan pada keponakan saya, dia berkomentar polos, "Uncle, you were so poor when your first traveling." Namun beruntunglah kini tabungan saya cukup, sehingga mampu menjamu keponakan di sebuah rumah makan yang layak.
Kisah ini saya tulis tetap dengan BlackBerry (meski sering diketawain teman-teman, yang menganjurkan saya agar segera move on ke Android atau iOS), sambil merenung di tepian sungai Thames, setelah kelelahan menyusuri Istana Buckingham, Westminster Abbey, Big Ben dan Gereja Cathedral Westminster. Sementara keponakan saya tetap sibuk dengan gawainya.
Saya memandang langit kota London yang biru dengan foreground London Eye. Oh, inilah bedanya bepergian di era Milenial yang serba mudah, sangat berbeda dengan saat saya bepergian sekitar 20 tahun yang silam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H