"Ibu, Â kita kan sekarang hanya tinggal berdua, kenapa ibu tetap masak segitu banyak? Dulu waktu kita masih lengkap berenam saja ibu memasak selalu lebih. Kenapa sekarang tidak dikurangi, cobalah berhemat." kataku dengan mulut penuh makanan masakan ibuku pada suatu siang: nasi liwet hangat, sambal terasi beraroma jeruk purut, tempe garit bumbu bawang garam, sepotong ikan asin bakar, Â dan jangan asam jawa. Menu surga bagiku.
Sambil membenahi letak kayu-kayu bakar di tungku, ibu menjawab, "Kenapa kamu protes?."
"Mubazir, bu. Kita ini bak orang kaya saja." sergahku.
"Apa iya mubazir? Mana buktinya? Mana?" tanya ibu kalem.
Kadang aku benci melihat gaya kalem ibu itu. Kalau sudah begitu, ujung-ujungnya pasti aku bakal kalah dalam berargumen.
"Tiap hari hanya ibu bagi-bagikan ke tetangga-tetangga saja. Juga ke orang-orang yang lewat hendak ke pasar", kilahku lagi.
"Itu namanya sedekah, bukan mubazir. Lulusan perguruan tinggi harusnya dapat membedakan sedekah dengan sesuatu yang terbuang percuma."
"Sedekah, apakah harus tiap hari? Bak orang kaya saja, bu!" nadaku mulai meninggi.
"Ukuran kaya itu apa, nak?" Ah, gemas melihat ekspresi kalem ibuku!
"Karena kita memiliki makanan berlebih, kita patut berbagi. Begitu saja masih bertanya!", sambungnya kalem.
"Kita memiliki makanan berlebih, kita memang kaya, jadi harus mau berbagi", ibu terus berujar dengan sikap kalemnya.