Sudah puluhan tahun tinggal di kota satelit pendukung ibukota NKRI Jakarta. Tentunya saat pertama-tama hijrah ke ibukota, sangat kenal benar dengan makanan-makanan khas saat itu. Tanpa sengaja, kemarin saya berhasil napak tilas beberapa kuliner jadoel Jakarta, yang masih eksis hingga hari ini, meski sudah berganti pengelola ke generasi berikutnya. Karena waktu yang singkat dan mendung yang menggantung, akhirnya hanya menyambangi kuliner jadoel di kawasan Cikini saja. Nanti bila ada kesempatan di lain waktu, akan dikunjungi kuliner jadoel yang letaknya agak terpisah.
Kuliner Legendaris
Mengawali perjalanan berburu kuliner jadoel di kawasan Cikini, saya mulai dengan memarkir mobil di pelataran parkir Taman Ismail Mazuki (TIM), jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Disini saya langsung mengunjungi Soto Betawi H. Ma'ruf. Rumah makan sederhana ini melegenda gara-gara Soto Betawi yang dijualnya sejak 1940.
Bentuk rumah makan masih sama sejak dulu. Meja makan kotak dengan kursi berlapis kain merah. Meski sudah ber AC, masih setia memfungsikan kipas angin jadoel. Sebagai pajangan di dinding resto terdapat kliping artikel di beberapa koran (Varia, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, Kompas) dan yang terbaru foto Presiden Jokowi dan Ibu Negara Riana serta Wapres Jusuf Kalla saat bersantap disana.
Rumah makan ini telah mengembangkan bisnisnya dengan membuka dua cabang di Jl. Gondangdia Lama no 36A, Menteng dan Vanilla Cafe Gedung MNCTV.
Bonbin
Melewati pintu gerbang TIM, saya berjalan kaki menyusuri jalan Cikini Raya, setelah melewati kolam renang Cikini, tibalah di jalan Cikini IV. Saya menghampiri sebuah warung sederhana yang menjual pempek, tetapi saya membeli ice cream disitu.
Ice cream Tjanang d/h Tjan Njan, yang sudah melegenda sejak 1951 dengan berbagai pilihan rasa, saya pilih nougat seharga 13 ribu Rupiah per cup.
Perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan dengan nomor ganjil, tibalah di Gado-gado Bonbin, Cikini IV No. 5. Warung minimalis yang bisa menampung sekitar 50 kursi ini dikelola sepasang oma-opa, yang ternyata generasi ke dua pemilik rumah makan legendaris ini. Dinamai Bonbin, karena dulunya kawasan TIM adalah sebuah kebun binatang, dan buka sejak 1960.
Meski resto jadoel dan kecil, namun cukup mengikuti jaman, dengan melakukan komputerasi pada kasir, menerima pembayaran non tunai dan tersedia wifi. Buka dari jam 10.00-17.00.
Saya sekarang beralih menyusuri deretan nomor genap jalan Cikini IV yang sebagian terletak di bawah lintasan rel kereta api. Disini saya menjumpai Mie Gondangdia yang sudah eksis sejak 1968. Pendirinya Toe Wah Seng. Makanan khas rumah makan ini adalah Mie Ayam, dengan mie buatan sendiri yang lembut yang merupakan diferensiasi dibanding mie ayam lainnya. Kini semangkok mie ayam polos, tanpa bakso dan pangsit dibanderol 24 ribu Rupiah.
Satu rumah dari Mie Gondangdia, terdapat Nasi uduk Gondangdia yang mulai buka sejak 1993, namun saya lewati karena ingin mencicipi kuliner resto Jepang pertama di Jakarta dan di Indonesia, yakni Kikugawa (1969). Sayangnya saya datang terlalu sore, resto Jepang itu belum buka, karena baru buka jam 17.30 menurut penjaga keamanan yang saya jumpai.
Di kawasan Cikini ini juga terdapat  Perusahaan sirup Sarangsari d/h De Friesche Boerin, dan toko roti Tan Ek Tjoan jalan Cikini Raya 61, saya lupa memastikan apakah toko roti jadoel ini masih buka, namun saya menemui dua gerobak roti Tan Ek Tjoan di jalan Cikini Raya.
Selamat ber nostalgia, menikmati kuliner yang mungkin menjadi santapan oma-opa, kakek-nenek atau ayah-ibu Anda saat pacaran dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H