Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Montecristo: Mendendangkan Hakekat Kehidupan

20 Desember 2016   12:16 Diperbarui: 20 Desember 2016   12:24 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ritme yang tidak konvensional (bukan 4/4 atau sinkopasi), ditambah penguasaan alat musik yang mahir dengan permainan solo yang rumit, dan lagu-lagu yang panjangnya sekitar 12-20 menit mencirikan genre progressive rock. Inilah genre yang dipilih oleh Montecristo yang mulai debutnya dengan album pertama "Celebration of Birth" (2010) dan pada akhir 2016 ini berhasil menelurkan album ke duanya berjejuluk "A Deep Sleep" setelah berjuang gigih dengan idealismenya selama hampir 3,5 tahun.

Ciri khas dari kelompok musik progressive rock adalah menceritakan satu cerita yang disebut album konsep. Contohnya seperti "Metropolis 2: Scenes from a Memory" dari Dream Theater dan "The Lamb Lies Down on Broadway" dari Genesis. Maka Montecristo juga dikenal sebagai kelompok musik rock yang berkisah.

A Deep Sleep

Album kedua ini terdiri dari sepuluh lagu, sembilan lagu diciptakan oleh vocalisnya, Eric Martoyo dan lagu terakhir yang pernah menjadi single 'Nanggroe' buah karya Fadhil Indra yang didedikasikan untuk korban tsunami di Aceh (26 Desember 2004), agar masyarakat tetap bersemangat menata kembali kehidupannya ditengah keruntuhan akibat kerasnya alam.

"Artwork design album ini temanya waktu. Di setiap lembar booklet ada penunjuk waktu. Di cover depan dan belakang jam pasir (hour-glass) berisi darah. Di cover depan darahnya masih penuh melambangkan manusianya masih hidup, di cover belakang melambangkan manusianya sudah meninggalkan dunia. Booklet didominasi warna hitam, warna kematian", demikian penjelasan Eric Martoyo dalam wawancara informal di Cafe Ocha & Bella, Jakarta.

Cover depan Booklet (Sumber: Montecristo)
Cover depan Booklet (Sumber: Montecristo)
Cover Belakang Booklet (Sumber: Montecristo)
Cover Belakang Booklet (Sumber: Montecristo)
A Deep Sleep, lagu keenam sekaligus sebagai judul dari album ini, berkisah tentang kegalauan Alex, seorang sahabat ketika menghadapi ajal. Dalam lagu ini dikisahkan seseorang menyadari bahwa kelahiran adalah sebuah dentuman besar yang menciptakan kiamat-kiamat kecil yang disebut kehidupan. Lalu  kematian adalah sebuah tidur panjang, yang menghapus  eksistensinya karena diserap alam semesta. Tatto jam di halaman "A Deep Sleep" itu menunjukkan saat Alex meninggal, pukul 11:48 PM, 17 Februari 2016.

"But it may be like a deep sleep state of mind"

Kisah Kehidupan

Delapan lagu lainnya berkisah tentang kebesaran jiwa Alexander the Great ("Alexander"), kekaguman pada Stephen Hawking ("The Man in A Wheelchair") serta kehidupan masa kecil Eric di Ketapang, Kalimantan Barat ("Mother Nature").

Lalu ada "Simple Truth" dan "Rendezvous" yang sangat sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana kebohongan, nista, dusta dan fitnah menghiasi media sosial sepanjang hari. Tiada lagi kedamaian, kebenaran, ramah tamah dan budi luhur yang konon pernah menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

Kata persatuan dalam perbedaan, kebersamaan dalam kebhinekaan kini semakin jauh dari kehidupan anak bangsa. Dua lagu ini layak menjadi bahan perenungan perjalanan bangsa yang sedang menghadapi cobaan berat dampak dari hingar bingar kebuasan politik.

Dan uniknya, Montecristo dapat menjadi contoh kebhinekaan itu sendiri, karena kelompok musik ini terbentuk dari keberagaman suku. Ketika bergabung mampu menghapus sekat perbedaan dan menghasilkan karya musik yang mumpuni.

Tiga lagu lainnya juga tetap memotret kehidupan, seperti lagu kelima "Ballerina" yang merupakan pengalaman pribadi Eric ketika kehujanan di Pattaya, Thailand. Kontemplasi tentang kehidupan masa kecil yang tanpa beban dan tanpa prasangka, sampai akhirnya kedewasaan membawa kesadaran dan tanggung jawab. Kehidupan yang tadinya indah dan sederhana menjadi semakin kompleks seperti berlayar di tengah samudra luas yang tiada berujung. Manusia ini lalu bertanya dalam diam, kehidupan itu sebuah berkah, atau malah sebuah kutukan, didendangkan melalui  "A Blessing or A Curse?".

Dan "Point Zero" berkisah mengenai kehidupan tragis seorang perempuan yang menderita sepanjang hidupnya, hingga akhirnya harus membayar sebuah kebenaran dengan nyawanya.

Kisah kehidupan yang didendangkan dalam ritme progressive rock sebuah genre musik yang muncul pada akhir dekade 60-an dan mencapai masa jayanya pada tahun 70-an ini layak disimak dan didengar. Progressive rock menggabungkan elemen-elemen dari rock, jazz dan musik klasik. Kadang pengaruh dari blues dan musik tradisional juga terasa. Tidak berat seperti heavy metal, tetapi tidak seringan slow rock.

Album "A Deep Sleep" melakukan rekaman dan mixing di Jakarta dan mastering di Studios 301 Sydney oleh Steve Smart.  Sebuah karya serius dari Eric Martoyo, Rustam Effendy, Fadhil Indra, Haposan Pangaribuan, Alvin Anggakusuma dan Keda Panjaitan yang patut diapresiasi karena sudah memperkaya khasanah musik Indonesia.

Bila Anda ingin segera memiliki album ini harus sedikit bersabar, karena rencananya baru sekitar 1,5 bulan lagi album ini akan tayang di 33 toko digital (iTunes, Spotify, Amazon dan sejenisnya) di 300 negara, sekitar awal Februari 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun