Kawasan pesisir sebagian besar penduduknya sangat bergantung dengan laut dan perikanan. Rata-rata tipikal manusianya keras karena mereka harus hidup dengan beban pekerjaan yang keras, terkena terik matahari di musim kemarau dan bayah kuyup di musim hujan, mengandalkan fisik sehingga bersimbah keringat. Namun di balik kekerasan wataknya, tersimpan sikap terbuka, mereka dengan mudah menerima perkembangan baru. Itulah sebabnya, daerah pesisir yang paling banyak menjadi tempat singgah para pendatang, dan penyebar agama, karena mereka dapat dengan mudah berbaur dengan masyarakat pesisir.
Di kawasan Cilincing, Anda dapat menjumpai wujud keharmonisan beragama di masyarakat pesisir. Tidak lebih dari radius 1 kilometer, Anda dapat menyaksikan Mesjid, Gereja, Pura, Vihara dan Klenteng berdiri berdekatan dengan rumah penduduk. Sebuah pemandangan yang sangat tepat untuk menjadi bukti kesatuan dan kebhinnekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dapat hidup berdampingan meski berbeda.
Pura Segara
Pura Segara berada di kawasan yang menyatu dengan krematorium Cilincing, satu-satunya krematorium di Jakarta. Krematorium adalah tempat kremasi atau pembakaran jenazah. Menurut asal muasalnya, Pura Segara didirikan di dekat Krematorium Cilincing dengan alasan memudahkan warga Hindu untuk melakukan Ngaben (pembakaran jenazah) dengan pembakaran yang masih menggunakan kayu bakar (bukan oven). Alasan lainnya, dekat laut, karena laut merupakan sumber dari kehidupan bagi manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya.
Pura Segara terbuka untuk umum, hanya ada pantangan bagi wanita yang sedang mendapatkan haid, dilarang memasuki Pura, serta para tamu wajib berpakaian sopan dan pantas, atau harus menutupi dengan kain sarung bila ingin memasuki Pura.
Masjid Al-Alam
Syiar agama Islam di pesisir pulau Jawa pada abad ke 15 juga meninggalkan peninggalan berupa sebuah masjid di kawasan Cilincing, yakni Masjid Al-Alam yang dibangun pada 1525 dan didirikan oleh Sultan Fatahillah. Arsitektur Mesjid Al-Alam Cilincing ini serupa dengan arsitektur Masjid Demak, yakni tanpa memiliki kubah dan menara. Pada bagian atas tanpa plafon hanya ditutupi anyaman bambu, sedangkan di bagian luar atapnya berupa limas berbahan genteng, dengan ujungnya dipasangkan berbentuk mahkota raja.
Masjid dengan lima pintu masuk ini memiliki bedug yang sebagian kulitnya sudah koyak dan kentongan kayu yang ditopang oleh empat kayu penyangga. Dan memiliki empat serambi, khusus serambi di bagian utara ditopang oleh sebelas tiang. Sedangkan ruang utama masjid memiliki empat tiang, mimbar dan mihrab. Pada salah satu sudut masjid terdapat papan bertuliskan “Wasiat Sunan Gunung Jati: Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin” (Saya titipkan masjid dan fakir miskin).
Di dekat Mesjid Al-Alam Cilincing terdapat sebuah mesjid dengan nama yang sama dan lebih kondang yakni Masjid Al-Alam Marunda yang dikenal dengan nama Masjid Si Pitung, karena menurut legenda sering menjadi tempat persembunyian Pitung dari kejaran tentara Belanda. Maasjid Al-Alam Marunda dibangun pada tahun 1640 dan memiliki sumur yang airnya disebutkan sangat berkhasiat untuk penyembuhan.
Klenteng dan Vihara Lalitavistara
Pada awalnya hanya berupa bangunan Klenteng yang dibangun pada sekitar abad 16 dan dikelola oleh Tri Dharma, lalu selanjutnya dikembangkan dengan bangunan vihara yang dinamakan Lalitavistara, yang diambil dari nama kitab suci Agama Buddha yang menceritakan kehidupan Siddharta Gautama.
Di kawasan Vihara ini juga terdapat bangunan Sekolah Tinggi Agama Buddha ”Maha Prajna” dan Rumah Penitipan Abu Jenazah. Di dekat Vihara ini juga terdapat pagoda tujuh tingkat yang merupakan pagoda tertua di Jakarta dan sekarang dalam kondisi miring, demi menjaga keamanan dan keselamatan pengunjung, sekarang pagoda ini tidak boleh dimasuki dan dinaiki oleh pengunjung.
Gereja Kristen Jawa
Masih dalam radius satu kilometer, Anda dapat menemukan Gereja Kristen Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan GKJ Tanjung Priok, terletak di Jalan Cilincing Raya No. 50, Jakarta Utara. Gereja ini merupakan anggota Sinode Gereja Kristen Jawa dan merupakan anggota Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Berdiri kokohnya beberapa bangunan agama di kawasan Cilincing Jakarta Utara ini, merupakan contoh terwujudnya keharmonisan beragama di pesisir, bahkan beberapa bangunan itu sudah ada yang dijadikan ikon cagar budaya yang harus dilestarikan. Mari belajar kepada masyarakat pesisir mengenai bagaimana cara bertoleransi yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H