Dikti belum ada program studi khusus. Ironisnya, Dikbud malahan menghapus kurikulum komputer.
Proses dibelakangnya tentu coding, jadi untuk membuat game tidak sekedar karena hobby game, seseorang harus memiliki insting developer agar game diterima market.
Style game Jepang dan Amerika / Eropa berbeda. Meski sudah ada Asosiasi Game Indonesia, namun belum banyak kiprahnya bagi Game Developer, karena lebih dikuasai oleh importir game online.
Game Developer hanya ada di Jakarta (30-50), Bandung (10-20), Yogya dan Surabaya (10). Namun Game Developer Indonesia lebih hebat bila dibanding Gamdev Singapore, karena belum ada game developer studio Singapore yang sudah mampu menembus pasar Amerika.
Malaysia yang berani mendatangkan ahli game dari Amerika dengan biaya pemerintah, juga prestasinya masih dibawah gamdev Indonesia.
Media portal game yang membantu mempromosikan game-game baru banyak yang tutup. Kini tinggal yang kecil-kecil. Beruntung sekali Kompas cetak melalui rubrik Muda pernah memuat tulisan tentang Game.
Media harus ikut membantu menyebarkan informasi Game baik ke pemerintah maupun masyarakat luas. Saran penulis, Gamdev harus rajin mengadakan press conference atau membagikan press release, agar berita perkembangan Game juga muncul dalam berita, tidak hanya dikuasai pemain perangkat keras saja.
Curhat Game Developer
Saat ini gamdev Indonesia merasa kurang mendapat dukungan dari pemerintah meski sudah ada Badan Ekonomi Kreatif dibawah pak Triawan. Baru sebatas wacana, tapi belum ada tindakan dan gerakan nyata. Sangat berbeda dengan Malaysia dan Singapore yang sangat didukung pemerintah.
Bahkan pemerintah Malaysia bersedia memberikan dana untuk orang indonesia yang mau belajar mengembangkan game.
Sekarang gamdev Indonesia boleh dikatakan masih tiarap untuk mampu menembus pasar Jepang dan Amerika. Syaratnya harus tidak mudah menyerah. Industri kreatif yang belum ada dukungan pemerintah harus berjuang terus.