[caption caption="Ketapels, Nara Sumber dan Crew Fingertalk (Sumber: Gapey)"][/caption]
Ketapels atau Kompasianers Tangerang Selatan Plus adalah sebuah komunitas baru yang beranggotakan para blogger Kompasiana yang berdomisili di Tangerang Selatan dan sekitarnya.
Setelah diresmikan sejumlah agenda kegiatan direncanakan dan salah satunya yang sudah berjalan adalah seminar bertema "Sebuah Misi Perberdayaan" yang diselenggarakan pada Minggu 10 April 2016 silam. Tempatnya sengaja dipilih sebuah cafe unik bernama Fingertalk Deaf Cafe & Workshop yang berlokasi di jalan Dr. Setiabudi Gang Pinang No. 37, Pamulang Timur, Tangerang Selatan.
Pada seminar itu dihadirkan tiga nara sumber yang berkompeten pada masalah tuna rungu, yakni Pat Sulistyowati, mantan ketua Gerkatin (Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) seorang tuna rungu, Dissa Ahdanisa, pemilik Fingertalk Deaf Cafe & Workshop dan Pingkan C. R. Warouw, Ketua Inasli (Indonesia Sign Language Interpreter).
Lalu dibuat aturan tak tertulis, semua peserta yang sekitar 15 orang anggota Ketapels itu wajib mengunggah tulisannya bersamaan pada 17 April 2016 bertepatan dengan peringatan ulang tahun pertama Fingertalk Deaf Cafe. Yang sengaja dimajukan dari tanggal berdirinya 3 Mei 2015, karena Dissa harus ke Amerika Serikat. Tema ulang tahun pertama adalah "Awesome Versary".
Dipilihnya Fingertalk Deaf Cafe karena cafe ini sepenuhnya dilayani dan dikelola oleh warga tuli. Lalu, tahukah Anda bahwa warga tuli lebih menyukai sebutan tuli ketimbang tuna rungu atau penyandang difabel? Ikuti tulisan ini sampai tuntas ya ...
Jalannya Seminar
Dissa tampil pertama kali, lajang normal kelahiran Jakarta 26 Februari ini telah menyelesaikan studi S1 di Jepang dan S2 di UNSW Australia. Jiwa sosialnya memaksa dirinya meninggalkan pekerjaan berbayar dan menjadi pegiat NGO.
Dissa pernah melayani warga kasta terendah di India, juga melayani warga miskin di Granada, Nicaragua gara-gara Dissa terkagum pada indahnya bahasa Spanyol. Di Granada, Dissa menemukan sebuah cafe yang seluruhnya dikelola orang tuli dan membuat kasur gantung untuk menjadi tambahan penghasilan. Hal ini menginspirasi dirinya, akhirnya Dissa belajar bahasa isyarat di Singapore agar dapat berkomunikasi dengan orang tuli. Setelah pulang ke Indonesia, diwujudkannya membuka cafe dan workshop yang seluruhnya dilayani orang tuli.
Diawali dengan 5 orang karyawan tuli, kini telah berkembang menjadi 12 orang dan hebatnya sudah berhasil pulang modal. Lahan cafe dan workshop adalah milik bu Pat, disewa, direnovasi dan menjadi cafe yang nyaman. Dissa yakin usaha cafe akan berhasil karena orang Indonesia suka makan dan kumpul-kumpul.
Merekrut karyawan orang tuli bukannya ingin menggaji rendah, gara-gara tuna rungu susah mendapat pekerjaan. Di Fingertalk semua karyawan mendapat gaji layak seperti orang normal (hearing).
Juga dibuat workshop yang memproduksi kerajinan tangan Indonesia, karena bu Pat gemar mengumpulkan warga tuli untuk menjahit, merajut dan membatik yang hasilnya dijual online danoffline.
Mimpi Dissa adalah ingin membuka lapangan kerja dengan membuka cafe lebih banyak lagi atau menyalurkan tenaga kerja, dengan meningkatkan skill tuna rungu melalui pelatihan.
Sebagai nara sumber ke dua ditampilkan Pingkan Warouw yang wajahnya sudah tampil berkali-kali melalui layar kaca kanal TVRI. Ia mulai aktif sejak 2009 sebagai penerjemah bahasa isyarat.
Menjadi penerjemah itu tidak mudah karena harus benar dan tepat. Bahasa Isyarat itu penting untuk penyebaran berita, penyebaran agama, dan edukasi bagi orang tuli. Belajar bahasa isyarat itu mudah, tetapi harus diupdate terus dengan munculnya kata-kata baru.
Sebagai penerjemah harus sigap, karena harus mendengar, menangkap arti, lalu harus mengekpresikan dengan mimik.
Satu kata bisa menjadi beberapa bahasa isyarat. Berkomunikasi dengan orang tuli tidak boleh mudah tersinggung. Karena selalu terjadimiscommunication, karena mereka hanya mengerti 70%. Ada bahasa isyarat per huruf, dan ada bahasa isyarat per kata.
Ibu Pat sebagai satu-satunya penyandang tuli, tampil sebagai pembicara terakhir. Saat menyampaikan presentasinya, Ibu Pat dibantu oleh Santi, seorang penerjemah.
Ibu Pat yang kelahiran Pekalongan ini gigih memperjuangkan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) agar bisa menjadi satu-satunya bahasa isyarat tuna rungu di Indonesia.
Bahasa isyarat adalah satu-satunya sarana komunikasi bagi kaum tuna rungu. Tuna rungu punya hak mengetahui informasi. Siapapun hendaknya jangan meremehkan bahasa isyarat karena sangat membantu tuna rungu.
Selain dapat bekerja di cafe, seharusnya kaum tuli bisa mengisi lowongan pekerjaan di salon dan bakery.
Kesulitan meresmikan bahasa isyarat pemersatu karena beda budaya, karena mereka sudah mempunyai bahasa isyarat masing-masing, tetapi yang penting mereka bisa saling mengerti karena memiliki intuisi.
Acara seminar dilanjutkan dengan tanya jawab, dan penyerahan cindera mata dari Ketapels ke Fingertalk dan sebaliknya. Sebagai acara pamungkas, Dissa mengajak peserta seminar untuk tour melihat dapur cafe, panggung kesenian, hasil kerajinan, area workshop hingga tempat tidur karyawan dan tamu magang.
Fingertalk Deaf Cafe & Workshop adalah salah satu upaya untuk memberdayakan orang tuli. Mereka tidak pernah minta dikasihani, yang penting berikan mereka kesempatan kerja, agar mereka bisa membuktikan kinerja mereka.
Sukses untuk Ketapels dengan ajang perdananya, sukses untuk Fingertalk Cafe & Workshop yang sedang berulang tahun....
[caption caption="Logo Ketapels"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H