Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mana Lebih Penting: Moral atau Matematika?

26 Maret 2016   10:17 Diperbarui: 26 Maret 2016   16:44 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi Antrean (Sumber: shiftindonesia.com)"][/caption]Bila Anda seorang guru, mana yang lebih Anda utamakan, mengajarkan moral yang baik atau matematika bagi anak didik Anda? Pada awal 2014, mulai ramai diperdebatkan saat calon Presiden Joko Widodo mendeklarasikan "Revolusi Mental". Bapak Joko Widodo mengamati pentingnya memperbaiki mental bangsa Indonesia yang mulai melenceng dari akar budayanya.

Penulis juga mengamati perbedaan pola mengajar, guru di Indonesia dan guru di Jepang, misalnya. Guru di Jepang lebih merasa khawatir bila anak didiknya tidak dapat mengantre daripada gagap matematika. Alasan sang guru, karena untuk membuat anak didik mahir matematika, hanya diperlukan waktu tiga bulan secara intensif, sedangkan untuk menanamkan disiplin agar anak terbiasa untuk mengantre dan selalu mengingat pentingnya budaya mengantre harus diajarkan sejak kecil hingga usia 12 tahun.

Guru di Jepang itu juga memberikan penjelasan lebih lanjut, meski matematika itu penting, tidak semua anak-anak harus menjadi ahli atau pakar matematika, kecuali tambah, kurang, perkalian, dan pembagian. Kelak kemudian hari anak tidak harus menjadi ahli matematika atau scientist, anak dapat menjadi penari, atlet, musisi, pelukis, dan profesi lain yang tidak memerlukan pelajaran matematika terlalu dalam. Sebaliknya, anak didik lebih membutuhkan pelajaran etika moral dan sikap berbagi dengan orang lain saat berkembang menjadi dewasa nanti.

Kesalahan Orang Tua

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali melihat fakta di Indonesia, banyak orang tua justru memberikan contoh tindakan yang salah kepada anaknya, dalam kasus ini mengantre dan menunggu giliran. Sering kali kita melihat orang tua yang memaksa anaknya untuk menyusup ke antrean depan dan mengambil hak orang lain yang telah lebih dulu mengantre dengan rapi. Dan kalimat yang sering diucapkan adalah ”sudahlah pura-pura bodoh saja, pura-pura tidak tahu saja”.

Ironisnya, bila si anak tidak bersedia menuruti nasihat yang salah dari orang tuanya, si orang tua biasanya menghardik dengan umpatan ”dasar penakut”.

Selain itu, kita sering melihat pula orang tua yang memakai kiat "licik" agar anaknya diberi jatah antrean terdepan, dengan alasan anaknya masih kecil, lelah karena rumahnya jauh, orang tidak mampu karena harus naik bis kota, dan aneka alasan lain demi menyerobot antrean.

Yang lebih parah lagi, bila orang tua dan anaknya yang telah menyerobot antrean itu ditegur, orang tua itu justru marah-marah, bahkan mengajak berkelahi orang yang menegur.

Budaya Mengantre

Mengapa pada tulisan ini budaya mengantre digunakan sebagai contoh untuk menunjukkan pentingnya pelajaran etika daripada pelajaran matematika? Karena dengan memahami budaya mengantre dengan baik, anak belajar manajemen waktu. Jika ingin mendapat antrean paling depan maka ia harus datang lebih awal dan melakukan persiapan khusus agar dapat datang lebih awal, misalnya bangun lebih pagi dengan mengatur alarm waktu. 

Anak belajar sabar menunggu gilirannya, jika ia mendapat antrean di bagian tengah atau di belakang. Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal maka dia berhak mendapat giliran lebih dulu. Anak belajar disiplin, setara, tidak minta diprioritaskan dan tidak menyerobot hak orang lain.

Anak belajar kreatif, untuk memikirkan kegiatan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi kebosanan dan kejenuhan saat mengantre. Anak sebaiknya dibiasakan membawa buku atau e-book, biasanya orang akan membaca buku saat mengantre. Anak juga bisa belajar bersosialisasi menyapa dan berkomunikasi dengan anak lain yang sedang mengantre di depan dan di belakang antreannya.

Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses saat hendak mencapai tujuannya. Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat, ia harus menerima konsekuensinya mendapatkan posisi antrean di belakang. Anak belajar disiplin, teratur, dan menghargai hak orang lain. Anak belajar memiliki rasa malu, jika ia menyerobot antrean atau hak orang lain.

Bila dikaitkan lebih panjang lagi, budaya suap dan korupsi juga dimulai dari malas mengantre. Karena malas mengantre, maka orang mulai belajar melakukan penyuapan agar mendapat prioritas khusus, petugas yang dapat disuap otomatis telah melakukan korupsi. Itulah sebabnya, pelajaran etika yang sangat sederhana, yaitu mengantre, sangat perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini karena hakikatnya cukup mendalam bagi sikap dan perilaku manusia. Apakah Anda setuju?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun