Setelah menunggu beberapa saat, Presiden Joko Widodo memasuki dining hall diiringi Teten Masduki. Sebagian rekan menyebutnya sebagai misteri triple 12: 12 Desember jam 12 siang.
Tanpa dikomando para Kompasianers secara otomatis membentuk pagar bagus dan ayu, sehingga Presiden Joko Widodo harus berjalan sambil menjabat tangan para Kompasianers satu per satu. Presiden Joko Widodo mengenakan busana khasnya, celana hitam dengan baju putih lengan panjang yang tidak dimasukkan ke dalam celana dan ujung lengan baju digulung tiga perempat.
(Bagi saya pribadi, pertemuan ini hanyalah pertemuan yang tertunda, saat pak Joko Widodo menjabat Walikota Solo, saya pernah mendapat undangan makan malam di rumahnya, namun batal karena tiba-tiba pak Joko Widodo harus ke Jakarta, selanjutnya saat pak Joko Widodo menjabat DKI-1 pernah terjadwal acara talk show Ikasatya Jabodetabek di Jakarta, namun juga batal karena dipanggil Presiden).
Setelah selesai berjabat tangan, para Kompasianers duduk, Presiden Joko Widodo berdiri menghampiri microphone dan berseloroh "Santai saja ya, jangan serius-serius. Ayo kita makan dulu". Lalu Presiden Joko Widodo menuju meja makanan dan diikuti para Kompasianers, sebagian memilih meja makanan diujung berseberangan karena tersedia dua meja makanan yang disiapkan oleh sebuah perusahaan catering yang dipesan oleh Protokoler Istana. Kami salut, Presiden mengambil sendiri makanan bersama-sama Kompasianers, tanpa dilayani oleh Staf Kepresidenan.
Menu makanan meliputi soup buntut tomat, nasi kebuli, nasi putih, kare bebek, opor ayam, udang gulung, sayur lodeh, roti maryam, lontong, roti, french fries, sate sapi manis, urap, martabak bayam, kerupuk, sambal dan es buah.
Dialog
Setelah selesai santap siang, mas Isjet mewakili Kompasianers memberikan sepatah dua patah kata, yang disusul menjawab tantangan Teten Masduki agar para Kompasianers yang biasanya ber "pena tajam" (meski sekarang menulis pakai keyboard), berani bicara langsung di depan Presiden.
Semula dijadwalkan 10 wakil Kompasianers bicara, namun karena keterbatasan waktu, akhirnya hanya maju 8 orang Kompasianers, yakni Junanto Herdiawan mewakili ekonom, Roesda Likawa mewakili Ambon, Agung Soni mewakili Bali, Fera Nuraini mewakili mantan buruh migran di HongKong, Citraningrum mewakili akademisi, Aulia Gurdi mewakili Ibu Rumah Tangga, Wijayakusuma mewakili guru dan Thamrin Dahlan mewakili pensiunan BNN.
Presiden sangat menyimak curhat maupun keluhan dan usulan para Kompasianers, tampak sekali-kali Presiden mencatat pada buku kecilnya. Issue yang langsung mendapat tanggapan dari Presiden Joko Widodo adalah usulan jurnalisme warga untuk diikutkan meliput langsung kegiatan blusukan Presiden. Presiden mengusulkan mencoba dua orang dulu, dan minta kepada Teten Masduki untuk diagendakan. Lalu adanya lovers dan haters, Presiden Joko Widodo berharap agar dihapuskan, karena persaingan politik era pilpres sudah lewat dan semua anak bangsa harus bersatu, bekerja dan berpikir untuk Indonesia, serta keluhan penanganan buruh migran di HongKong, sehingga Fera langsung dihubungi staf Kemenlu keesokan harinya.
Dalam sambutannya Presiden minta agar Kompasianers dalam menulis maupun memberikan komentar hendaknya mengutamakan optimisme, jangan menimbulkan pesimisme, ketakutan dan keresahan. Bangsa Indonesia saat ini tidak bersaing dengan sesama anak bangsa, namun bersaing dengan negara lain. Mau tidak mau, siap tidak siap, kita harus berani menghadapi MEA dan tidak perlu kawatir.
Presiden secara khusus menyoroti terlalu banyaknya peraturan yang membelenggu kita, ada 42.000 peraturan, entah itu PerMen, PP, Kepres atau Perpres. Jadi perlu dikumpulkan dan dipangkas hingga tersisa separuhnya. Tahun depan dipotong lagi separuhnya agar lebih praktis.