Menulis rupanya sudah mendarah daging dalam diri saya. Kalau manusia normal luka, darahnya berwarna merah, tapi kalau saya luka, mungkin darahnya hitam atau biru seperti warna tinta.
Dari SD sampai Dunia Kerja
Saya mengalami proses tulis menulis semenjak belum ada komputer maupun gadget, dimulai sejak Sekolah Dasar, yang rajin menulis dengan tinta untuk mengisi halaman majalah sekolah. Sampai akhirnya, ketika saya mencapai jenjang Sekolah Menengah Atas mendapat mandat untuk menjadi Redaksi majalah sekolah tersebut. Dan kala itu, saya mulai mengenal mesin ketik dan mesin stensil, maklum saja saat itu mesin cetak masih mahal, sehingga sekolah kami hanya mampu menyediakan mesin stensil.
Bakat menulis terus berkembang, ketika saya bergabung menjadi Dewan Redaksi koran kampus, dikenalkan ke beberapa media oleh Arief Budiman, sehingga mulai belajar menulis di media. Semua tulisan harus disiapkan dengan mesin ketik, karena komputer belum semurah sekarang.
Kesenangan menulis terus berlanjut, karena saya menggeluti bisnis Teknologi Informasi maka arah tulisan lebih banyak ke ranah teknologi, jadi banyak mengirimkan tulisan bernafaskan teknologi ke media daerah hingga nasional, bahkan sempat menghasilkan beberapa buku teknologi informasi yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo dari Kelompok Kompas Gramedia.
Sempat juga mengirimkan surat lamaran kerja menjadi wartawan, tetapi karena dihadapkan pada dua pilihan dengan angka gaji bulanan yang sangat berbeda, akhirnya dengan terpaksa meninggalkan dunia kewartawanan dengan dalih toh sambil bekerja masih dapat menyalurkan hobby menulis. Di tempat kerja, lagi-lagi saya juga menjadi Redaksi majalah yang diterbitkan untuk dibagikan kepada pelanggan, kali ini sudah berbentuk cetakan.
Beralih menjadi Blogger
Dengan masuknya internet dan mulai muncul media sosial, maka sayapun membuat blog pribadi. Namun menulis di blog pribadi justru membuat frustrasi, karena sudah susah payah menulis, yang membaca sedikit sekali. Sangat berbeda saat menulis di media cetak atau media elektronik.
Saya terus aktif mengamati portal berita online, sejak booming-nya detik.com hingga Kompas raja media cetak yang akhirnya mengembangkan portal kompas.com. Perkembangan yang terjadi berikutnya, kompas.com melahirkan Kompasiana. Sayapun tidak ragu mendaftar, karena saya memperhatikan media kroyokan ini bagus dan bertanggung jawab. Sudah mendaftar, tetapi belum mulai menulis, karena saya masih mengamati tulisan yang disukai pembaca tulisan bergenre apa.
Karena kesibukan pekerjaan utama di kantor, akhirnya jadi terlupakan, meski bakat menulis tetap disalurkan melalui blog pribadi. Karena banyak ditugaskan ke luar kota, akhirnya tulisan saya mulai bergeser dari teknologi ke wisata, termasuk kuliner.
Kembali ke Kompasiana
Era kampanye presiden awal tahun 2014, beberapa Jokowi's lovers meminta saya untuk menangkis kampanye hitam. Kami berpikir keras, media apa yang pembacanya banyak dan bisa langsung muncul, tanpa adanya sensor dari Redaksi atau Admin. Nah, saya teringat pada URL saya di Kompasiana yang jarang saya sentuh. Beberapa kali tulisan bergenre politik muncul di Kompasiana.
Paska pemilihan presiden, saya tetap aktif menulis di Kompasiana meski belum banyak ikut aktif pada kegiatan komunitas. Sampai suatu saat, Kompasiana mengumumkan terbentuknya komunitas Kompasianer Penggila Kuliner (KPK). Saya langsung tertarik, dan mulai bergabung meski tidak langsung pada aktivitas perdana KPK Gerebek karena masalah waktu dan lokasi.
Bergabung dengan komunitas berdampak saya mulai senang mengikuti event yang diselenggarakan oleh Kompasiana dari yang mingguan atau bulanan seperti Nangkring, Tokoh Bicara, Coverage, dan Visit hingga yang akbar yaitu Kompasianival. Saya pertama kali bergabung pada Kompasianival tahun 2014 di TMII. Namun karena saya lebih banyak bertugas di luar kota Jakarta, saya mengalami keterbatasan untuk mengikuti semua kegiatan komunitas, kecuali yang diadakan pada akhir pekan, saya selalu berupaya untuk hadir.
Selain menambah teman, Kompasiana banyak memberikan pengalaman berharga dan memperluas cakrawala pemikiran saya, karena pandai menghadirkan tokoh-tokoh baik di bidang politik, bisnis, seni maupun Pemerintahan.
Salah satu hasil menulis di Kompasiana, beberapa tulisan perjalanan wisata saya ke Gorontalo, tepatnya sebelas tulisan dilirik oleh Omar Niode Foundation untuk dibukukan, setelah tulisan saya dalam bahasa Indonesia dialih bahasakan ke bahasa Inggris, dalam buku bertajuk "Trailing the Taste of Gorontalo" yang kini dipasarkan melalui Kindle Store Amazon.com dengan harga USD 1.99 per 17 September 2015. Saya juga banyak menulis tentang wisata di Kepulauan Bangka Belitung dan Palembang serta serial "Escape From Jakarta", semoga ada penerbit yang mau menerbitkannya lagi.
Agustus 2015 yang baru lalu, saya diminta menjadi admin komunitas di KPK, karena berawal dari KPK saya banyak mengenal Kompasiana, tentu sebagai imbal balas budi, saya harus bersedia meluangkan waktu untuk membesarkan salah satu komunitas yang ada.
Terakhir, gara-gara beberapa tulisan saya di Kompasiana mengenai HIV/AIDS, akhirnya saya diundang untuk menjadi team media Pernas AIDS V di Makassar, akhir Oktober 2015 nanti.
Karena Kompasiana sudah mampu mendatangkan pembaca bagi tulisan-tulisan saya, akhirnya saya lebih banyak menulis di Kompasiana, daripada di blog pribadi maupun blog di media lain. Karena selain puas, saya juga bangga, bila diketahui oleh teman-teman saya sebagai K'ers karena banyak yang menilai penulis-penulis di Kompasiana berbobot tulisannya dan sering menjadi acuan.
Kini Kompasiana menjelang usianya yang ke tujuh, sebagai media keroyokan yang tentu banyak memiliki pesaing, harus terus berpikir keras, meluncurkan program-program baru agar para K'ers tidak berpindah ke lain hati.
Selamat menuju usia tujuh tahun Kompasiana (22 Oktober 2015), semoga selalu memberikan yang terbaik bagi para K'ers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H