BERAWAL dari negeri luar sana, jurnalisme warga kini semakin berkembang di Indonesia.
Berdasarkan pengamatan, media yang sangat terbuka kepada jurnalisme warga, detik ini umumnya baru media online dan elektronik. Di antaranya, Kompas. Com, Detikcom, Okezone, Tempo. co, Republika dan Vivanews untuk online dan Net, Metro, SCTV serta ANTV untuk elektronik.
Sedangkan media cetak yang berani memuat tulisan dari warga, baru satu dua. Itu pun baru dalam edisi-edisi tertentu, atau belum tampil tiap hari. Salahsatu media cetak yang sudah berani memuat karya jurnalisme warga tersebut misalnya Kompas, yang mengambil karya jusnalisme warga dari tulisan pilihan di Kompasiana.
Kenyataan tersebut tentu saja menjadi angin segar bagi seluruh warga di Indonesia di manapun berada yang ingin menjadi pewarta, tanpa harus mengikuti tes yang ketat di perusahaan media. Asal memiliki kemampuan menulis, memotret atau menyoting gambar melalui video, jadilah “pelapor situasi” kalau istilah wartawan dinilai belum tepat oleh organisasi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia.
Dulu, warga Indonesia yang ingin mengumumkan karya tulis di media massa itu susah sekali, karena ketatnya seleksi dari redaksi media bersangkutan. Untuk karya jurnalistik katagori hard news, apalagi karena berita seperti hanya ditulis wartawan media bersangkutan.
Tetapi kini, terutama di online, segalanya menjadi mudah. Warga, siapapun itu orangnya, bisa membuat berita katagori hard news dan berita lainnya di online terkemuka di Indonesia, dan bisa dengan mudah tayang. Hal itu, tentu di luar masalah lain, yakni mudahnya warga Indonesia membuat media online .
Sekarang, baru Kompas (koreksi jiga salah ya!) yang berani memuat karya jurnalis warga di edisi cetaknya. Tetapi di masa yang akan datang, saya yakin akan semakin banyak lagi media cetak yang mengikuti langkah Kompas tersebut, tetapi dengan bentuk dan format beda.
Masa depan
Nah khusus mencermati langkah Kompas tersebut, saya terus terang salut sekali. Soalnya, Kompas yang selama ini “ketat” terhadap tulisan yang masuk dari luar, justru menjadi pioneer dalam memanage karya warga. Buktinya, Kompas yang makin berkibar dengan Kompasiananya, berani menyediakan halaman cetaknya untuk pemuatan karya warga.
Akan tetapi, terhadap “sikap” Kompas ini, saya tidak kaget. Sebagai media berpengalaman dan diisi awak yang visioner, saya mengira sikap Kompas itu merupakan bentuk kepekaan Kompas membaca tanda-tanda zaman, bahwa justru suaatu saat nanti, yang akan berkembang adalah media dengan basis jurnalisme warga.
Dalam pandangan saya, dengan memuat karya jurnalisme warga di edisi ectaknya, Kompas sepertinya sedang menyiapkan konsep koran masa depan, yakni koran yang berita dan tulisannya sebagian besar dari warga. Saya yakin Kompas meyakini, bahwa dengan melibatkan sebanyak-banyaknya warga di Indonesia melalui koran dengan basis jurnalisme warga, Kompas akan tetap eksis, karena warga di Indonesia merasa memiliki Kompas. Tanpa adanya rasa kepemilikan warga yang “militan”, media, terutama media cetak, akan tumbang.
Tetapi, dugaan saya tentu betul tentu tepat. Yang pasti, kalaupun betul, manajemen Kompas pasti tidak akan mengakuinya. Hehehe. (tulisan ini dimuat juga di blog penulis, http://mang-ape.blogspot.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H