Sesuai kesepakatan, jam lima sore ke empat orang itu telah berkumpul di rumah Landung. Setelah semuanya siap, mereka pun berangkat ke rumah Zafri di Banguntapan. Perjalanan memakan waktu sekitar setengah jam.
Tiba di rumah Zafri, hari sudah mulai gelap. orang-orang di tenda pengungsian maupun di tenda-tenda mandiri di halaman rumah (atau bekas rumah) masing-masing telah mulai menyalakan lampu minyak. Sambungan listrik masih terputus di daerah itu.
Puluhan rumah hancur dan rata dengan tanah di wilayah tempat Zafri tinggal. Rumah Zafri sendiri masih berdiri, tapi atapnya roboh dan sebagian dindingnya hancur. Zafri mendirikan tenda mandiri di depan rumahnya. Tidak bisa disebut tenda sebenarnya, hanya berupa kain jarik dan sarung yang didirikan dengan kerangka bambu sekedarnya. Di dalam tenda darurat itu nampak temaram diterangi cahaya lampu minyak.
Zafri menyambut Landung dan teman-temannya dengan tergopoh-gopoh.Wajahnya yang kotor dan berminyak karena seharian itu belum sempat mandi terlihat cerah. Dipersilakannya para tamunya untuk duduk di dalam tenda darurat, tapi mereka menolak. Mereka sungkan karena tenda itu cukup sempit, sedangkan orang tua Zafri sedang beristirahat di dalamnya. Akhirnya mereka duduk di lincak bambu di depan tenda, di bawah sebatang pohon akasia.
"Kami sekeluarga selamat," ujar Zafri membuka perbincangan. Keempat tamunya mengangguk-angguk dengan mengucap syukur dalam hati. "Aku, ayah, ibu dan Safrudin adikku. Beruntung kami semua sudah bangun waktu itu. Ibu sedang menyapu halaman, aku sedang menimba air di sumur, ayah dan Safrudin sedang memberi makan ayam di belakang."
"Terus kalian terkejut waktu datang gempa itu?" sela Bima.
"Tidak," jawab Zafri spontan.
Mereka semua tertawa mendengar pertanyaan bodoh Bima dan jawaban Zafri.
"Tentu kami terkejut," lanjut Zafri dengan mimik serius. "Gempa sudah sering kami alami, tapi tidak pernah sebesar ini. Tidak pernah meruntuhkan atap, menghancurkan rumah, mencabut pohon seakar-akarnya, membelah bumi. Tanah bergolak seperti gelombang air, benar-benar seperti gelombang air. Bahkan air sumur pun sampai muncrat ke atas. Sumur di sini memang dangkal, hanya sekitar 4 - 5 meter."
Zafri diam sejenak. Yang lain juga diam. Tak ada yang berminat untuk menyela. Semua menunggu cerita Zafri selanjutnya.
"Tetangga sebelah, pamanku sendiri, tidak selamat," lanjut Zafri dengan suara lirih. "Aku menyaksikan sendiri detik-detik kematiannya. Tiga perempat tubuhnya tertimbun reruntuhan rumah. Kami mencoba menyelamatkannya dengan menariknya, tapi tidak sanggup. Terlalu banyak dan berat puing-puing yang menimbun tubuhnya. Setiap usaha untuk menariknya keluar hanya membuat paman tambah kesakitan. Akhirnya kami menyerah. Paman sempat menyebut nama Allah sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir."
Zafri terdiam sejenak. Wajahnya tampak dicekam kesedihan dan kengerian.
(bersambung)
Cerita ini fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, hanyalah kebetulan belaka dan bukan merupakan kesengajaan.
© Sutan Hartanto
Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H