Menurut berita, gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter itu merupakan gempa tektonik, bukan vulkanik akibat aktivitas Gunung Merapi seperti yang diduga banyak orang sebelumnya. Pusat gempa terletak pada koordinat 8,007° Lintang Selatan - 110,286° Bujur Timur (sekitar 25 kilometer barat daya kota Yogyakarta, di dekat pantai), pada kedalaman 17 kilometer.
Gempa yang terjadi pada pukul 05.54.01 WIB, selama kurang lebih 52 menit itu telah meluluhlantakkan bagian selatan propinsi DIY, terutama daerah Bantul. Beberapa daerah lain seperti Prambanan, Klaten, dan bagian tenggara kota Jogjakarta juga mengalami kerusakan yang parah. Ratusan ribu rumah rusak berat, banyak di antaranya yang rata dengan tanah.
Gempa dahsyat itu menelan tak kurang dari 5700 jiwa. Puluhan ribu orang lainnya mengalami luka berat dan ringan, kebanyakan mengalami patah tulang tertimpa reruntuhan gempa. Rumah-rumah sakit di Bantul, Sleman dan Jogjakarta kewalahan menampung pasien korban gempa yang terus datang memenuhi bangsal-bangsalnya. Banyak pasien harus ditempatkan di lorong-lorong atau di halaman-halaman rumah sakit, serta di tenda-tenda darurat yang didirikan mendadak di tanah-tanah lapang.
Bangunan-bangunan penting di Jogjakarta juga tidak luput dari sapuan gempa. Gedung ISI di Jalan Parangtritis mengalami kerusakan parah. Gedung STIE Kerjasama hancur total, praktis tidak bisa digunakan lagi dan harus diratakan. Gedung Olah Raga Among Rogo roboh atapnya, dan hanya tersisa dinding-dindingnya. Mall Saphir Square rusak parah khususnya di lantai 4 dan 5. Tembok depannya roboh, kanopi teras runtuh dan menimpa teras mall sehingga sebagian teras ambruk.
Situs-situs sejarah dan lokasi wisata ikut merasakan dahsyatnya guncangan bumi di pagi yang cerah itu. Candi Prambanan, salah satu tujuan wisata andalan Jogjakarta mengalami kerusakan parah dan harus ditutup sementara. Banyak gunungan-gunungan candi yang runtuh dan batu-batu penyusun candi yang rusak. Makam keluarga kerajaan Jogjakarta di Imogiri tidak kalah berat kerusakannya. Sebagian tembok dan bangunan makam roboh, lantainya retak dan amblas, dan banyak hiasan-hiasan keramik pecah berantakan.
Tidak hanya makam para raja, bahkan keraton Jogjakarta pun terkena imbasnya. Bangsal Trajumas yang menjadi simbol keadilan ambruk. Tentu, itu kejadian alam yang wajar, dan sama sekali tidak menyimbolkan ambruknya keadilan di tanah ini. Tentu saja.
Objek wisata Kasongan hampir lumpuh. Gapuranya yang perkasa patah, deretan ruko tempat para pengrajin dan pedagang gerabah memajang dagangannya rusak berat dan hancur. Beragam kerajinan gerabah, pot untuk tanaman, beragam hiasan interior seperti lampu hias, patung, guci, perabotan dapur, bunga tiruan dari daun pisang, topeng-topengan, hancur berantakan. Benda-benda seni itu, yang dibuat berbulan-bulan dengan tetesan keringat yang terperas dari tubuh dan pikiran serta kreativitas para pengrajin, lenyap dalam sekejap, berubah menjadi puing-puing.
* * *
(bersambung)
Cerita ini fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, hanyalah kebetulan belaka dan bukan merupakan kesengajaan.
© Sutan Hartanto