Darma berhenti, lalu turun dari sepedanya. Dipasangnya standar ganda sebelum ia berjalan perlahan mendekati reruntuhan itu.
Tempat itu lengang. Lengang yang mencekam. Semua tampak membeku tanpa gerakan, kecuali debu reruntuhan yang sesekali tertiup angin. Darma sedikit memicingkan matanya saat debu beterbangan di atas reruntuhan itu, dan sebagian tertiup ke tempatnya berdiri.
Darma memandangi reruntuhan itu dengan suram. Bagaimana permukiman ini, yang tentunya dibangun, tumbuh dan berkembang dalam waktu berpuluh-puluh tahun bisa luluh lantak hanya dalam waktu kurang dari satu menit. Rumah-rumah yang tadinya tampak kokoh berdiri (setidaknya sebagian di antaranya) sekarang hanya tinggal puing-puing. Serpihan-serpihan genting dan tembok besar dan kecil, bertumpuk dengan kayu bekas rangka atap yang silang-menyilang tak beraturan, meja yang patah, kursi yang hancur, lemari yang ringsek, dinding dan pintu kayu, lembaran-lembaran seng yang tergeletak tak beraturan....
Benar-benar kekuatan lawan memang maha dahsyat dan tidak terlawan, kecuali oleh penciptanya.
Darma kembali ke kios setelah puas berkeliling. Ternyata ibu dan Tiur sudah ada di sana pula. Tiur hanya sebentar menengok kantornya. Pimpinan kantornya memutuskan untuk meniadakan aktivitas kantor pada hari itu. Tiur kembali ke rumahnya, menjemput ibu dan langsung menuju kios. Tiur memang sering mampir ke tempat itu sepulang kerja, ingin ketemu dengan ponakan-ponakannya. Kadang, sambil berangkat kerja ia mengantar ibu ke kios.
Ibu memang kadang membantu menjaga kios itu, sekedar untuk mencari kesibukan. Tiur dan Darma sudah sering melarangnya. Mereka merasa kasihan karena ibu sudah sepuh. Umurnya sudah 70 tahun lebih. Tapi ibu tetap memaksa. Dia tidak mau siang hari tinggal sendirian di rumah dan tidak melakukan apa-apa. Kalau di kios, setidaknya ia punya hal yang bisa dilakukan. Melayani pembeli, membaca koran, merapikan majalah, bermain dengan cucu-cucunya.
Darma senang melihat keluarganya selamat. Darma bukan orang yang terlalu akrab dengan keluarganya. Ia juga bukan orang yang sentimentil. Tapi entah kenapa ia merasa terharu dan nyaman melihat keluarganya berkumpul di kios itu. Di saat-saat seperti ini, memang lebih menenangkan berada di antara keluarga kita.
Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol, bermain dengan anak-anak, dan mendengarkan radio untuk menyimak perkembangan terbaru mengenai peristiwa itu.
* * *
(bersambung)
Cerita ini fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, hanyalah kebetulan belaka dan bukan merupakan kesengajaan.
© Sutan Hartanto
Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H