Mohon tunggu...
Sutan Hartanto
Sutan Hartanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang pendidik yang belajar menulis. Pemilik dan pengelola situs : http://www.kisah-cinta.com Pendiri dan pengembang situs sekolah: http://www.pelangi-indonesia.net

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Tegak di Antara Puing-Puing (13)

13 April 2015   22:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sebenarnya dari siapa Kak Isti mendengar bahwa semua orang harus mengungsi ke keraton?" tanya Darma penasaran.

"Bu Ranti, tetangga sebelah." jawab Isti. "Biasanya memang begitu, setiap ada bencana besar, warga Jogjakarta umumnya pergi berlindung ke keraton."

Darma mengangguk-angguk. Keraton memang punya pengaruh yang sangat dalam bagi kehidupan warga Jogjakarta yang masih kental tradisinya. Tapi rasanya wajar juga bila rakyat Jogjakarta mencari perlindungan kepada rajanya, pada pemimpinnya. Itulah gunanya pemimpin.

"Anak-anak di mana, Kak?"

"Tuh, di belakang lagi main."

"Aku mau lihat mereka."

"Iya, lihat sana. Mereka pasti senang ketemu kamu."

Bergegas Darma berjalan ke tempat yang dimaksud Isti. Di belakang kios kontrakan itu memang terdapat halaman yang lumayan luas. Halaman itu merupakan halaman samping rumah induk, tempat pemilik kios itu tinggal. Tempat itu cukup teduh di bawah naungan pohon rambutan dan pohon mangga yang usianya sudah puluhan tahun. Jika pohon-pohon itu berbuah, Tono dan keluarganya pasti kebagian buahnya.

Pak Ranu, pemilik rumah itu, memang baik dan ramah orangnya. Anak-anak suka padanya. Jika Isti mengajak anak-anak ke kios, mereka pasti menghabiskan waktunya di halaman itu, entah bermain dengan Pak Ranu atau bermain sendiri. Pak Ranu yang sudah pensiun dan tinggal hanya dengan istrinya yang juga sudah tua dan jarang beranjak dari tempat tidur itu dengan senang hati menemani, atau sekedar mengawasi anak-anak bermain. Mereka bisa menjadi pengobat rindu pada cucu-cucunya yang tinggal di pulau seberang. Tiga orang anaknya memang mengadu nasib di rantau. Yang sulung bekerja di Palembang, di perkebunan kelapa sawit. Adiknya di Samarinda, menjadi PNS yang kebetulan ditempatkan di sana. Yang bungsu buka usaha kecil-kecilan di Kupang.

"Hai," sapa Darma sesampainya di halaman yang sejuk itu.

Anak-anak yang sedang bermain sudamanda itu menoleh serentak. Begitu tahu siapa yang menyapa, mereka segera meninggalkan permainannya dan berlari menghambur ke pelukan Darma. Darma hampir terjatuh dan dengan kewalahan berusaha mempertahankan keseimbangannya waktu anak-anak menubruknya. Dengan tertawa senang ia memeluk keponakan-keponakannya itu.

Betapa senangnya Darma melihat anak-anak itu selamat, tak kurang suatu apa. Mereka bahkan tidak berkurang kegembiraannya, tetap bermain seperti biasanya. Seolah-olah peristiwa gempa dahsyat  tadi pagi sudah lenyap dari ingatan mereka.

(bersambung)

Cerita ini fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, hanyalah kebetulan belaka dan bukan merupakan kesengajaan.

© Sutan Hartanto

Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun