“Hai,” balas Darma tak kalah gembira. “Bagaimana Kak Hasna dan Kak Santo, baik-baik?”
“Kami tidak apa-apa, cuma kaget saja tadi,” jawab Hasna.
“Rumah Kakak?”
Wajah Hasan berubah suram. “Entahlah,” jawabnya. “Dindingnya retak cukup parah, menganga lebar. Tikus pun pasti bisa melewati retakan itu. Kuda-kuda penyangga atapnya juga miring tadi, moga-moga atapnya tidak runtuh.”
“Kak Santo?”
“Di rumah. Jaga-jaga kalau ada apa-apa nanti. Rumah tidak bisa ditinggal begitu saja, kau tahu. Apalagi dalam keadaan seperti ini.”
"Yang penting semua selamat," ujar Darma pelan. Ia tak tahu harus berkata apa selain itu.
"Iya," sahut Hasna. "Tapi entahlah, apa kami berani tidur di dalam rumah nanti malam."
"Bagaimana dengan rumah Kak Santi?"
"Dia lebih beruntung. Rumah Kak Santi masih utuh tadi, retak-retak ringan saja di dindingnya."
"Bukankah Kak Hasna dan Kak Santo bisa menumpang tidur di sana kalau perlu?"
"Mungkin...." jawab Hasna mengambang.
Darma memaklumi keraguan Hasna. Hubungannya dengan kakak iparnya memang tidak terlalu baik, meski rumah mereka bersebelahan dan hanya berbatas tembok.
"Kami juga bisa mendirikan tenda di halaman belakang...." lanjut Hasna hampir tak terdengar.
Darma melemparkan pandangan ke tumpukan koran lama di pojok kios. "Kak Tono ke alun-alun?" tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Tidak." jawab Hasna. "Isti dan anak-anak yang ke sana. Tono sedang mengambil koran dan mengedarkannya ke kios-kios seperti biasa."
Darma tidak berkomentar, takut salah bicara. Tono memang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Koran-koran itu harus sampai ke kios-kios dan pelanggan secepat mungkin. Jika terlalu siang, mereka tidak akan laku dan dia harus menanggung kerugian yang tidak sedikit. Koran-koran itu tidak bisa dikembalikan ke penerbit, dan hanya akan menumpuk di pojok kios, untuk kemudian dijual murah dengan sistem kiloan. Untuk mendapatkan harga murah, Tono memang mengambil sebagian besar koran itu dengan sistem beli putus, bukan konsinyasi. Tapi nampaknya aneh juga membiarkan istri dan anak-anaknya pergi mengungsi sendiri.
"Isti tidak sendiri," ujar Hasna lagi, seolah-0lah bisa membaca pikiran Darma. "Banyak teman-teman sekampungnya yang ikut mengungsi."
"Jalan kaki?"
Hasna mengangguk. Hmm, jarak antara rumah Tono dengan alun-alun keraton Jogja sekitar 3 kilometer. Tidak terlalu dekat untuk ditempuh dengan jalan kaki, apalagi oleh anak-anak.
"Tenang saja, mereka tidak akan benar-benar ke alun-alun. Paling-paling sampai di pojok beteng sudah balik lagi."
(bersambung)
Cerita ini fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, hanyalah kebetulan belaka dan bukan merupakan kesengajaan.
© Sutan Hartanto
Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H