Mohon tunggu...
Sutan Pangeran
Sutan Pangeran Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bersahabat

WhatsApp 0817145093

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Solo Tidak Ada Pengemis Seperti yang Terlihat di Jakarta

11 Agustus 2012   22:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:55 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Solo tidak ada pengemis! Yang ada hanyalah perempuan tua dan laki-laki tua yang lemah terkapar di sisi trotoar dan emper toko, mulai dari dari Kecamatan Banjarsari sampai kecamatan yang berbatasan dengan Karang Anyar. [caption id="attachment_192570" align="alignright" width="320" caption="Sepakat: Larang PMKS agar mereka mau bertani dan memburuh saja"][/caption] Di tempat yang digadang-gadangkan dengan konsep ramah memindahkan PKL pula, ternyata terkuak bagaimana Walikota telah meng-kerdilkan peran pedagang mikro yang semuanya dianggap sebagai PKL oleh Jokowi. Misalnya, ia memindahkan/mengganti dan tidak memberikan izin perpanjangan pemakaian tempat dari para pedagang di Terminal Bus yang notabene mereka dulu mendapat restu dari pihak Mangkunegara dan Pemkot Solo sejak jaman walikota terdahulu. Sehingga keharuman kepemimpinan Walikota Hartomo dibuat tenggelam oleh Jokowi karena gaya kepemimpinan terdahulu sangat membatasi ruang gerak etnis/bangsa tertentu yang memang sudah mempunyai budaya bisnis ribuan tahun ketimbang pribumi nusantara. Dan, Jokowi berangkulan dengan kekuatan ekonomi superdahsyat dunia di Solo dan di Jakarta. Kelak nusantara akan disodorkan -- makin disodorkan dalam bentuk penjajahan modern oleh bangsa sendiri (begitu istilah mereka yang baru dianggap sebagai bangsa baru)-- demi mengeruk kekayaan Indonesia. Siapa Jokowi yang terlihat seakan menyukai gaya "sosialis"? Namun, sejak Jokowi berkuasa, yang terjadi antara lain: Pertama, Taman Sriwedari semakin redup karena budaya penampilan "wayang wong" sudah berganti dengan sodoran budaya hedonistik beraliran METAL  yang disukai oleh Jokowi. Wibawa Raja di Solo luluhlantak oleh keberanian Jokowi menjadikan tanah kerajaan menjadi tanah pemerintah kota. Kedua, kuliner dan anek produk lokal yang ada di Taman Sriwedari sudah tersingkir dan terpecah kemana-mana. Jadi, konon getuk lindri dan penganan khas Solo sudah musnah di Taman Sriwedari. Yang bertebaran adalah fast food di Solo semakin menjamur. Ketiga, Pasar Triwindu tidak lagi menampilkan eksotik seperti jaman dulu yang barang-barang antiknya diburu oleh peminat barang antik , baik oleh  wisman dan wislok. Keempat, berdiri hotel-hotel mewah puluhan tingkat seperti Novotel dan Paragon dan lainnya merupakan wajah asli Jokowi berangkulan dengan kapitalis asing. Tampilannya Jokowi yang seakan sosialis sebenarnya adalah kapitalis. Hal ini dikatakan oleh lawyer kondang JJ Amstrong Sembiring SH MH. saat  menilai kampanye Jokowi sebelum 11 Juli 2012. Menurut Amstrong, "Beda dengan Foke, terlihat kapitalis namun sebenarnya "sosialis" sedangkan Jokowi, penampilan sosialis, namun sebenarnya kapitalis!" Kelima, pantas saja Solo tidak pernah mendapat hadiah ADIPURA, karena sejak Jokowi memimpin tidak pernah lebih bersih dari walikota terdahulu. Sampah busuk ada di berbagai sudut kota. Bahkan di sudut stadion olahraga--bekas lahan Kebon Binatang Surakarta terdapat TPS  yang membuat aroma makan kita patah apabila berada di arena Taman Sriwedari. Itu semua lantaran aroma busuk terkirim oleh hembusan angin. Dari sedikitnya 5 alasan di Solo yang tidak akan Anda lihat para pengemis, maka kemajuan Solo hanya kamuflatif belaka. Wajar bila diukur dari APBD setiap tahun naik. Hal itu juga terjadi  di Jakarta, yang dari kisaran 20an triliun jaman Sutiyoso, kini sudah lebih 30 triliun di jaman Fauzi Bowo. Jadi, apa yang dibanggakan oleh orang Solo dengan sang walikota yang satu ini. Lihat saja, pembangunan supermarket dan mall seakan berlomba demi menghancurkan pedagang mikro dan pengusaha tradisionil. 20 September 2012, memilih janganlah berdasarkan kesamaan suku saja, namun cobalah melihat kenyataan yang ada, bahwa yang telah dicapai Fauzi Bowo sangat luar biasa dalam ukuran seorang walikota dunia manapun. Gubernur yang satu ini merupakan Presiden para gubernur se Asia Pasific, yang meng-inisiasi pertemuan berkala para gubernur demi memikirkan nasib penduduk di propinsi-propinsi yang ada dalam keanggotaannya. Sayangnya Tim Media dari Fauzi Bowo cuma bangga dengan keberhasilannya menoreh bekas tapak kakinya di kampung-kampung Jakarta. Mereka tidak sekelas dengan abdi dan tim media yang ada pada Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun