Aku pikir, cinta itu laksana buah. Yang dapat kau rasakan seperti halnya mengunyah salak pondoh di pagi hari di Yogyakarta pada 1994 sebanyak 2 kilogram tanpa didahului makan nasi. Atau buah alpukat yang diblender atau hanya kau keruk isinya dan kau campur dengan gula pasir demi keinginan menggemukkan badan. [caption id="attachment_168920" align="alignright" width="300" caption="cinta itu mirip salak, dan salak mirip bemo"][/caption] Namun, salak pondoh memang tidak membuatmu sakit perut meski dimakan tanpa makan nasi sebelumnya. Dan, alpukatpun tidak juga menggemukkanmu yang hanya mampu mencapai 57 kilogram sampai kau pensiun dari tempat kerjamu dulu. Sakit perut datang bukan karena salak dan kemampuanmu menahan lapar sekalipun. Ia bisa datang begitu orang yang kau cinta mengabaikan sapaanmu dalam waktu 7 jam saja, misalnya. Dan, berat badanmu tidak mencapai 74 kilogram sebelum kau pisah dengan orang yang terlihat seperti mencintaimu pada awalnya. Bila salak dan alpukat itu adalah rasa cinta, maka cinta dari buah apakah yang ada dalam sajian yang kau nikmati saat ini? Jangan-jangan itu bukan buah, namun masih berupa biji....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H