Mohon tunggu...
Sutan Pangeran
Sutan Pangeran Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bersahabat

WhatsApp 0817145093

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Moal! Moal! Sombong itu Sempurna!

28 Agustus 2011   05:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:25 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebenarnya,tidak mau kuceritakan pengalaman memalukan ini dalam lomba yang dibuka oleh MSJ dan KR, namun karena dijanjikan hadiah “kemaluan” maka kuulang lagi cerita yang pernah membuat tertawa kawan-kawan kuliah dulu:

[caption id="attachment_127142" align="aligncenter" width="480" caption="Moal! Moal! Sombong itu Sempurna!"][/caption]

Selesai mendapatkan nilai dari Semester I pada tahun 1986, kami berangkat dari Stasiun KRL Jabotabek,Pondok Cina dengan menumpang kereta ke arah Stasiun Bogor. Tujuannya Cuma satu, Petualangan naik truk ke Bandung.

“Bang, Sukabumi?” Tanya di antara kami kepada supir truk sesampai di Kota Bogor.

“Moal! Moal!” jawab supir truk. Jawaban itu membuat kami ingin ketawa semuanya. Loh wong sudah di dalam bak truk kok, tiba-tiba “nggak sejalan”.

Akhirnya, kami bersembilan turun kembali dari truk dengan menahan tawa. Bagi SP yang bukan orang Sunda, kata-kata “moal” menjadi guyonan tersendiri.Biasanya kawan-kawan terbahak bila telah kuucapkan guyonan "moal" "moal" begitu ada beberapa truk yang lain menolak kami. Namun, penolakan tidak membuat kami lemah. Justru penolakan supir-supir yang enggan mengangkut kami dalam bak truk membuat keinginan kami melompak truk semakin berani.

Beberapa kali naik dan turun truk kami kerjakan, demi sampai ke Sukabumi, dan biasanya sopir yang kebetulan bertujuan ke arah yang bisa membantu kami mendekati tujuan akan membiarkan kami naik ke dalam bak truk yang kosong.

Kepergian di ambang senja itu akhirnya tiba juga malam harinya, kira-kira 2 jam setelah Isya. Dan kami bersembilan terdampar di stasiun keretapi di Sukabumi setelah puas berjalan-jalan di sepanjang pertokoan Sukabumi. Dan menghabiskan malam untuk tidur di bangku kayu milik PT.KAI. Sebagai mahasiswa kala itu, Sutan Pangeran termasuk dalam kelas membawa uang pas-pasan.. Yang bisa diirit, ya diirit, kecuali gatal membeli Koran murah, Prioritas (sekarang Media Indonesia) dengan Rp.100,- tidak bisa SP cegah. Duit di saku celana selalu ingin keluar bila hari berganti dan karena keinginan hati selalu mengatakan harus mencari berita baru hari ini!

Esokan pagi, kami sepakat ke Bandung! Bayangkan, dengan uang beberapa puluh ribu saja, SP tanggapi keinginan sebagian kawan-kawan yang tetap nekad sampai ke Bandung naik dan turun truk, hingga akhirnya sampai di dekat pintu tol menjelang Bandung, yang akhirnya kami menghitung dulu seberapa ada uang untuk menumpang bus. Tentu saja, kesepakatan menawar(menanya) kepada kernet bus dahulu ada juru bicaranya. Nah, kebetulan untuk soal itu, SP yang ambil peran.

Singkat cerita, dengan menyebut angka minimal, SP dapat meluluhkan hati kernet untuk mengantar sampai kota Bandung yang dilewati bus ke terminal Kebon Pala(?) waktu itu—sekarang Leuwi Panjang.

Luar biasa! Kota Bandung yang indah! Mana engkau hai dara Parahyangan yang dimasyurkan indah dalam cerita Sastra! Hati SP menggelegak menyapa Bandung dan warganya.

Berjalan di sepanjang pertokoaan hingga jalan sekitar hingga ke Jalan Moh.Toha, Bandung kami pun terdampar kelelahan. Untunglah ada warga Bandung yang berbaik hati dan memberikan tumpangan di paviliun depan rumahnya tanpa perlu bayar. Pemilik rumah nampaknya baik. Mereka begitu ramah menawarkan tumpangan sehari dua, bila mau. SP, Alfar, Doglas, Dodo,Sulis, Glen, Taufik,Indra, dan Fajri akhirnya bergelimpangan di dalam paviliun yang sudah mirip dengan gudang kosong. Perut lapar tidak menjadi halangan untuk beristirahat. Rencananya nanti malam, akan pamit untuk kembali ke Jakarta. Pengalaman jalan kaki bak pasukan infantri memang kesukaan kami yang mendapat latihan dasar militer di Rindam Jaya, Condet. Meski badan letih, namun hati tetap suka. Tidak ada keluhan serius di antara kami kecuali hanya untuk sekedar bergurau. Bayangkan saja, makan mesti dihemat agar uang cukup untuk bekal di dalam perjalanan.

Singkat cerita, kami pun balik melalui Cianjur. Sempat mampir di pasar Cianjur dan menikmati kopi hangat dan bandrek serta roti sumbu (nama yang benar: singkong rebus). Ngalor ngidul cerita, akhirnya ada di antara kawan yang mengusulkan naik bus saja bukan naik turun truk sebagaimana awal perjalanan. Yang usul adalah Alfar dan Glen, dan tentu saja dengan konsekuensi menggelontorkan dana lebih banyak buat patungan naik bus yang menuju Terminal bus Bogor. Pilihan Bogor, adalah karena sebagian dari kami ada yang kost dekat Kampus Universitas Indonesia.

Dengan tas “bapak-bapak” SP membawa sejumlah buku dan tentu saja Koran yang menjadi souvenir dalam perjalanan sehari-hari! SP dan Taufikmelanjutkan perjalanan lewat Parung menuju Ciputat dan menuju rumah Alfar di Perumahan Dosen UI. Putra tunggal Arbi Sanit ini menawarkan siapa saja yang mau menginap di rumahnya. Kami berpisah diTerminal Baranangsiang dengan kawan-kawan yang mau kembali ke tempat kost atau ada juga yang ke arah UKI, Cawang.

Hmm, malam yang berkesan menginap di rumah orang lain, adalah tidur di rumah Alfar. Dengan sikap ramah dari dosen—ayah Alfar—menjadi perhatian khusus SP, hmm ...begini kalau hobi menulis sambil menjadi dosen. SP lihat, dosen satu ini agak nyentrik kala itu (sampai sekarang juga!)suka dengan penampilan rambut gondrong. Lucunya, anaknya—sahabat SP juga dipanggil si Gondrong. Malam itu, kami bertiga makan lebih dari lezat dibanding makan yang terpaksa dihemat selama “berpetualang” asal naik dan turun truk dari kampus Depok sejak Sabtu itu.

Usai makan malam, kami cerita berbagai macam tema sehari-hari di dalam kamar Alfar bertiga. Dengan ruangan yang pas-pas untuk 2 orang terpaksa dipakai bertiga, sehingga diambil cara tidur sambil kaki mengawang-awang di atas ubin dingin agar dapat tidur bertiga. Tak ada rasa malu untuk tidur sebagai sahabat waktu itu. Entahlah kalau tahu di antara kita, bahwa sebenarnya menginap di penginapan murah pun bisa menjadi pilihan ketimbang harus menyusahkan kawan kuliah. Namun, terus terang, kedua orang tua Alfar adalah tuan rumah yang baik. Mereka menyuguhkan makanan dan minuman lebih dari cukup waktu itu.

SP sangat terkesan dengan kebaikan pak Arbi Sanit kala itu. Ia sebagai orangtua yang sayang pada anak dan sahabat-sahabat dari anak tunggalnya, Alfar.

Ternyata, kisah kepenatan jalan-jalan membawa tidurku sangat lelap hingga terbangun esok paginya. Tanpa rasa sungkan kupinjam uang Rp.1.000 dari Alfar dengan janji akan kukembalikan esok hari bila ketemu di kampus. Dengan uang itulah kupamit pulang, dari Komplek Dosen UI menuju Blok M lebih dulu. Padahal sebenarnya bisa SP ambil jurusan ke Tanah Abang dengan Koantas Bima yang lewat Slipi. Namun, karena masih ingin sight seeing, melihat kondisi Aldiron (waktu itu menjadi tempat pilihan bermain dengan kawan-kawan, sebelum DIBAKAR beberapa tahun lalu). Tanpa terasa ubi dan penganan lain serta Teh Botol SOSRO tumpas tandas ke dalam perut SP. Bosan dengan semua dolan-dolan sendiri, SP akhirnya menuju pulang. Di dalam bus, dengan digagah-gagahkan, memanggil tukang koran.

“Koran!”Berpindahlah uang Rp.100,- ke tangan si pengasong di dalam bus. Dengan atraktif SP membaca Koran, seakan berkata pada penumpang yang berhasil kena teori “MPO” ala SP kala itu.

“Nih, sebagai terpelajar, mesti baca Koran! Lain, kalau sudah punya Laptop dan sudah ada kompasiana, maka Koran tidak menjadi pilihan utama lagi!” Mungkin bahasa ituyang agak mirip-mirip dibahasakan oleh SP dalam hati kala itu.

Sambil membuka Koran Prioritas, ekor mata SP melihat ada penumpang yang senyum simpul melihat tingkat SP yang memang kadang mirip seleb papan atas.

“Ongkosnya, pak!Ongkos! Ongkos!” Sapa kenek kepada kiri-kanan  penumpang baru . Bus Blok M - Grogol melaju sedikit tersendat-sendat, ndut-ndutan, karena supir tidak pandai menjalankan laju dengan baik dan santun. Maklum, kejar setoran.

Giliran SP diminta! Dengan santai merogoh kocek saku kanan celana. Wah, celaka! Nggak ada! Periksa lagi, nggak ada! “Loh, kemana saja uang seribu?” Tanya SP dalam hati.

Ahai, akhirnya, ada juga uang ditemukan di saku baju yang bercampur dengananeka potongan kertas lain dan sejenis brosur parawisata yang SP dapatkan saat di Taman Topi, Bogor, saat mulai berpetualang Sabtu sore menuju Sukabumi dan melanjutkan ke Bandung.

“Maaf, bang cuma Rp. 50 yang ada!” Kata SP sambil menyodorkan uang terakhir. “Dekat, bang, cuma sampai Slipi!” Tambah penjelasan agar mengurangi kesalahan kepada kernet bus.

“Hmm, begaya dia! Beli Koran, sanggup! Bayar ongkos, diskon pula!” gerutu si Kernet. Namun SP mengabaikan saja gerutuan si kernet yang tidak mau memaklumi kondisi force majeure ini. Pura-pura nggak dengar, padahal ini tangan ingin saja ngegaplok.

Ha ha ha.

SP sejak dulu memang agak sombong! Walau begitu, ia tetap sempurna! Minimal dalam negosiasi dengan kaum urban Mikro.

Dan, terus terang pengalaman ini membuat "gelar" SP di antara kawan-kawan bertambah. "Dia ini, udah sombong, hidup lagi!" Pecahlah tawa   Sulis, setengah berteriak mendengar penjelasan SP saat itu. Kawan  yang satu ini memang paling  suka membanyol di antara kami. Cerita ini sesekali acap menjadi pembicaraan di ruang kuliah beberapa hari setelah kami kembali kuliah.

Dan, atas permintaan / tantangan MSJ dan KR kuulang lagi untuk pertama kalinya dalam bentuk massal di situs ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun