Hingga hari intensitas tawuran sudah merajalela. Tawuran yang SP amati sejak tahun 80-an semakin lama semakin meningkat dan memperluas medan tawurnya saja.
[caption id="attachment_119165" align="alignnone" width="300" caption="Mau tangan kosong atau dengan senjata semua bisa dirundingkan!"][/caption]
Bukan saja di kalangan SMA saja, namun hingga mahasiswa pun ikut-ikutan tawuran. Sepertinya mereka hanya memakai otot bukan otak dan akal.
Yang lebih parah lagi, tawuran pun sering terjadi antar RT dan kampung seperti yang baru-baru ini terjadi di Pasar Rumput, Jakarta Selatan dan Johar Baru, Jakarta Pusat. Untuk itu, SP menganjurkan kepada pemerintah daerah DKI Jakarta agar membangun budaya duel, alias satu lawan satu pakai tangan kosong atau dengan senjata tajam yang terukur.
Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer semasa hidupnya pernah menyindir, bahwa bangsa Aceh lebih berani dibanding bangsa-bangsa yang ada di nusantara saat ini. Mereka dengan seorang diri berani menyerang tangsi (penjara) Belanda. Bayangkan, hanya seorang diri. Lain dengan yang ada saat ini. Mahasiswa yang tidak setuju dengan kenaikan uang kuliah atau kebijakan yang tidak akomodatif dan tidak aspiratif dari Rektor, melawan hanya dengan otot, bukan dengan argumentasi yang memadai. Seakan dengan otot mampu menyelesaikan semua masalah.
Agar bangsa ini dianggap ksatria, maka sekali lagi sang provokator (SP) menawarkan, yuk kita duel, satu lawan satu: mau tangan kosong atau dengan senjata itu lebih baik dan ksatria, dibanding tawuran lempar batu, main katepel, melesatkan busur panah dan sebagainya.
Jadilah bangsa ksatria!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H