Mohon tunggu...
Sutan Pangeran
Sutan Pangeran Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bersahabat

WhatsApp 0817145093

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku Malu Dunk Dikatakan sebagai Anak Tukang Bohong!

21 Januari 2011   07:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_86352" align="alignright" width="90" caption="Gajian tiap bulan, dikritik tiap hari, google.com"][/caption] Tidak disangka, ternyata meski gaji bapakku sudah 28 kali lipat dari pendapat per kapita rakyat Indonesia namun belum juga merasa cukup. Padahal sudah tidak ada lagi tanggungan hidup yang harus dibayarkan, karena kami bersaudara sudah mandiri dan tidak memerlukan bantuan financial lagi. Memang selam berkuasa sejak 2004 bapakku gajinya tak naik-naik selama tujuh tahun ini. Tapi, buat apalah gaji itu sebenarnya di tengah rakyat yang masih banyak memprihatinkan kehidupannya. Bukankah selama berkuasa seluruh fasilitas terpenuhi? Ke mana-mana selalu ada pengawalan; fasilitas kesehatan di RS selalu nomor VVIP; demikian juga yang lain tidak bisa tersaingi kecuali oleh pemimpin besar di Negara lain dan para konglomerat kelas atas. Menurut majalah bergengsi asal Inggris, The Economist, gaji bapakku ternyata menempati kesenjangan tertinggi ketiga dari 22 negara yang disurvei tahun 2010. Kutahu, The Economist menyurvei soal gaji presiden atau perdana menteri yang dibandingkan dengan pendapatan per kapita masing-masing negara.  Melalu semua data tersebut secara tak langsung dapat dilihat sampai sejauh mana seorang pemimpin layak dinilai kesederhanaannya. Tidak tanggung-tanggung, bapakku "dikuliti" tidak peka terhadap rakyat hanya lantaran bergaji 124.171 dollar Amerika Serikat per tahun. Dalam analisa majalah itu, dengan total gaji 124.171 dollar AS dianggap 28 kali lipat dari pendapatan per kapita. Ini sebetulnya masih lebih baik disbanding kesenjangan gaji tertinggi adalah presiden Kenya yang gajinya pokoknya 427.886 dolar yang berarti 240 kali lipat dari pendapatan per kapita rakyatnya. Dan disusul oleh urutan kedua PM Singapura yang besarnya gaji 2.183.516 dolar atau 42 kali lipat pendapatan per kapitan rakyat Singapura. Tapi, bapakku kan bukan Jawaharlal Nehru dari India yang merasa bangga dengan memakai  produk asli India sewaktu hidup sejaman dengan Bung Karno. Demikian pula bapakku bukan Haji Agus Salim yang tidak malu memakai sepeda dan baju lengan panjang dengan jahitan tangan demi menampilkan diri di depan publik. Semua itu adalah milik masa silam. Jaman sekarang, segalanya diukur dari penampilan fisik semata, tidak perlu isi otak apakah berguna bagi orang lain atau tidak. Hari gene mana ada upaya yang mencerminkan bagaimana kesederhanaan seorang kepala Negara? Apalagi harus memikirkan soal betapa tingkat kesenjangan pendapatan presiden dengan rakyatnya semakin jauh. Lupakan itu. The Economist mengatakan, gaji bapakku menduduki ranking ketiga yang kesenjangan antara gaji dia dengan pendapaan per kapita masyarakat. Luar biasa, bukan? Malu juga aku sebagai anaknya bila membaca laporan majal dari Inggeris itu. Kutahu, betapa serangan terhadap bapakku belakangan semakin menguat lantara hobi memelihara citra di depan publik. Sebel juga sih dengan para pemuka agama yang nggak tahu bagaimana bersahabat dengan bapakku. Bukankah ulama dan umaro harus berjalan seiringan dalam membangun masyarakat? Jadi, tidak usahlah bapakku dituduh sebagai tukang bohong! Aku malu dunk dikatakan sebagai anak tukang bohong! Mataku nanar melihat data di http://www.economist.com/node/16525240?story_id=16525240 [caption id="attachment_86349" align="aligncenter" width="595" caption="Ampuunnn...maafkan bapakku,wahai rakyat yang membeli beras Rp.8500 per liter di Kramatjati, The Economist "]

12955963302004660487
12955963302004660487
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun