Mohon tunggu...
Sutan Pangeran
Sutan Pangeran Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bersahabat

WhatsApp 0817145093

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Maninjau: Padi Lah Masak (Serial-1)

20 Oktober 2010   09:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:16 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_296684" align="alignnone" width="236" caption="Maninjau, versi Google.com"][/caption]

Kampung halamanku siapapun pasti mengenalnya bila disebutkan satu Key word, bahwa Buya HAMKA lahir di sana. Meski sebenarnya, ia lahir di Desa Sungai Batang, kira-kira 5an kilometer lagi dari desa tempat nenek moyangku berada turun-menurun. Namun, karena terlalu terkenalnya nama Danau Maninjau, sehingga yang tersebut, Buya HAMKA dari Maninjau. (Untuk penafsiranyang benar, beliau memang lahir daridesa di wilayah Danau Maninjau).

Desa Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Desa yangberada di pinggir Danau Maninjau. Sering disebutkan, Maninjau: padi lah masak. Demi menggambarkan banyaknya sawah dengan padi yang tumbuh di sawah-sawah sekeliling danau. Bagi yang pernah ke sana, dapat masuk melalui Bukittinggi , maupun dari arah Lubuk Basung, yaitu  kedatangan dari Padang yang melewati Padang Pariaman dan terus ke simpang Manggopohyang ada juga jalan menuju Pasaman). Yang paling menarik bila datang dari arah Bukittinggi, karena kita akan melewati pemandangan indah menuju Desa Maninjau melalui Kelok 44 yang sangat terkenal itu.

Kelok 44 lahir bukan dari hasil karya yang mudah tanpa memakan korban jiwa. Ratusan orang mati dalam proses pembuatan jalan yang meliuk-liuk baktari jaipong menuruni bukit menuju tepiah danau Maninjaudengan jumlah kelokan ada 44 buah, sehingga dinamakan Kelok 44. Pembangunan jalan Kelok 44 dilakukan sejak jaman Belanda (pekerja rodi) dan dilanjutkan hingga jaman Jepang oleh para romusha (buruh tanpa upah). Mungkin karena kejamnya penjajah yang mempekerjakan para pekerja rodi dan romusha itu sehingga banyak yang tewas dan gila tidak tahan menerima kondisi yang sangat tidak manusiawi kala itu. Para mayat dibuang begitu saja oleh penjajah ke jurang-jurang yang melingkupi areal yang dibuatkan jalan saat itu. Mereka menjadi arwah penasaran bila melihat generasi sekarang dengan seenaknya memutar musik keras selama melewati kelok-kelok yang ada. Oleh karena itu, sanggat jarang ada supir kendaraan umum  yang memutar musik kala melewati kelok 44 hingga  ke-3 atau mungkin hingga kelok ke-1 dimana kita akan menemui Pasar Maninjau dan perempatan, bila ke kiri ke arah Sungai Batang, sedangkah bila ke kanan ke arah Lubuk Basung, dan bila lurus ke arah Desa Maninjau dan Hotel Maninjau Indah milik Rajo Bintang.

Konon hingga hari ini mobil yang yang melintasi kelok-kelok tersebut selalu mematikan tape dari musik yang keluar agar dapat menghindari dari sesuatu hal yang tidak diinginkan. Beberapa kisah tentang orang yang tidak mempercayai, bahwa sebuah kesombongan sikap dalam mengendarai kendaraan di kelok-kelok itu dapat berakibat fatal. Ada yang menghantampohon kayu besar, dan bahkan ada yang benar-benar lebih cepat sampai kelok satu di bawah sekali, tetapi dalam bentuk kendaraan yang berubah: ringsek dengan pengemudi dan penumpang yang mati terguling dari  atas….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun