Sejak awal, saya melihat Pemilu 2019 dirancang untuk 'membunuh' atau 'menenggelamkan' Partai Demokrat. Hal ini terlihat dari gelagat penetapan presidential threshold (PT) 20 persen di last minute pada pertengahan 2018. Seolah ada skenario besar agar Pemilu 2019 hanya akan diikuti oleh dua pasang kandidat atau sebatas rematch antara Jokowi vs Prabowo saja.
Bacaan saya, PT 20 persen ini ditetapkan untuk menghambat langkah Partai Demokrat mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai kandidat capres ataupun cawapres di Pemilu 2019. Analisa ini didasarkan kepada melejitnya popularitas bahkan elektabilitas AHY pasca Pilgub DKI tahun 2017. Munculnya AHY seakan dapat merusak 'drama turgi' yang diperlihatkan kubu Jokowi dan kubu Prabowo selama lima tahun kebelakang, seperti dikisahkan dalam film dokumenter 'Sexy Killer' yang memperlihatkan kongkalingkong elite dalam menjarah bumi Indonesia.
PT 20 persen secara serempak membuat partai-partai lain tanpa aba-aba melekatkan diri kepada sosok Jokowi dan Prabowo. Walaupun saat itu, nama AHY masuk dalam bursa salah satu capres yang diunggulkan. Namun kuncian PT 20 persen seakan tidak ada pilihan lain bagi Demokrat selain memilih melekatkan diri kepada salah satu diantara dua tokoh ini.
Tidak sampai disitu, kuncian tetap dilakukan kedua kubu terhadap Demokrat. Kedua kubu menahan kandidat cawapres hingga batas waktu akhir. Hal ini membuat negoisasi rasional-akademik menjadi tidak lagi diperhitungkan. Padahal secara matematis-akademis, empat lembaga survei menempatkan AHY dengan elektabilitas tertinggi sebagai cawapres dan diprediksi akan mendongkrak elektabilitas siapun capres yang memilihnya.
Empat lembaga survei itu adalah Poltracking Indonesia, Cyrus Network, Indikator Politik Indonesia, dan Roda Tiga Konsultan. Akan tetapi Pemilu 2019 punya kejutan tersendiri. Kedua capres malah memilih cawapres yang elektabiltasnya sendiri tidak mampu mendongkrak pasangannya. Jokowi memilih Ma'ruf Amin, dan Prabowo memilih Sandiaga Uno. Pilihan kedua capres ini seolah menjungkir-balikkan analisa akademis lembaga survei. Pilihan ini semakin menegaskan polarisasi yang hendak dibangun dalam ajang pesta lima tahunan ini.
Jokowi yang kuat dikalangan minoritas memilih sosok Ma'ruf Amin untuk menggaet suara kelompok islam 'abangan' di Pulau Jawa. Secara otomatis, partai nasionalis dan partai religius di kubu Jokowi mendapatkan porsinya masing-masing. Sementara itu, Prabowo yang diusung kelompok islam konservatif memilih Sandi untuk merebut suara kelompok islam moderat dan milenial. Gerindra, PKS, dan PAN mendapatkan keuntungan dari strategi ini. Strategi inilah yang pada hari ini membuat pembelahan di tengah masyarakat.
Apa yang di dapatkan oleh Demokrat? Sama sekali tidak ada. Demokrat tidak mendapatkan untung apapun dari strategi adu domba rakyat yang dilakukan kedua kubu demi melanggengkan cengkramannya atas penguasaan tanah negara yang dikuasi 1 persen elite di Indonesia ini. Inilah upaya pembunuhan pertama yang dilakukan kepada Demokrat.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan berarti tidak memahami maksud dan tujuan di balik pengeroyokan atas partainya ini. Meskipun satu koalisi dengan kubu Prabowo, tapi Demokrat dengan tegas mengingatkan bahwa politisasi politik identitas yang dilakukan kubu 02 sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI. SBY tak segan menegur dan memberi masukan kepada Prabowo. Terbukti, sebelum digelarnya kampanye akbar Prabowo di GBK, SBY memberi masukan agar konsep kampanye dilakukan dengan mempertimbangkan kebhinekaan dan kemajemukan. Kepekaan SBY terhadap bahaya polarisasi isu identitas ini ternyata mendapat simpati dari kelompok minoritas dan kelompok islam moderat.
Begitu juga jelang Jokowi melakukan kampanye akbar di GBK. Pada pagi hari, terlebih dahulu disiarkan film dokumenter 10 tahun kepemimpinan SBY yang menghargai dan menghormati segala pencapaian pemimpin-pemimpin Indonesia terdahulu. Film dokumenter ini seakan menyentil Jokowi yang kerap mengklaim hasil pembangunan di masa kepemimpinannya. Film dokumenter ini juga sukses meraih simpati dari kelompok 02 dan kelompok moderat lainnya.
Kelihaian SBY meloloskan diri dari upaya pembunuhan atas partainya, membuat Demokrat meraih dua kali lipat suara di Pileg 2019 dari patok survei yang sebelumnya hanya memprediksi Demokrat hanya meraih 4 persen suara pileg, dan berada pada zona kuning jika mempertimbangkan margin of error yang berlaku dalam survei. Bahkan dari beberapa informasi yang beredar, Demokrat dikabarkan berhasil meraih suara hingga menyentuh angka 10 persen. Angka ini tentunya membuat partai lain menjadi ketar-ketir. Dengan popularitas AHY saat ini, jika dipupuk dan dirawat dengan baik lima tahun mendatang, maka bisa dipastikan AHY adalah capres terkuat di 2024.
Apalagi saat ini tengah gencar dorongan untuk meninjau ulang PT 20 persen untuk pemilu kedepan. Jika ternyata PT 20 persen ini diturunkan dikemudian hari, ini tentunya akan menjadi golden ticket bagi Demokrat untuk mengusung AHY. Oleh karena itu, strategi kedua dalam upaya membunuh Demokrat kembali digencarkan.
Upaya pembunuhan atas Demokrat Jilid II ini bahkan lebih bar-bar. Tidak ada lagi adu strategi dan taktik. Serangan kepada SBY dan Demokrat dilakukan secara verbal dan menjurus. Arahan SBY agar semua pihak bisa menahan diri dianggap sebagai politik dua kaki. Apalagi setelah Jokowi mengundang AHY beberapa waktu lalu. Serangan kepada SBY dan Demokrat menjadi-jadi. Dari kubu 02 ia dituding licik dan kubu 01 asik menggoreng dan memanas-manasi isu ini.
Skenario pembunuhan jilid II dua yang dibangun untuk menghabisi Demokrat adalah agar siapapun yang menang dari hasil Pilpres 2019, Demokrat akan kehilangan legitimasi dari rakyat untuk pemilu-pemilu selanjutnya. Skenario upaya pembunuhan atas Demokrat jilid II ini dengan mudah dibaca jika kita mau sedikit membuka mata, telinga, dan hati. Coba lihat, tidak ada serangan dari kubu 02 dan gorengan isu dari 01 kepada PAN ketika Zulhas bertemu Jokowi pasca Pemilu 2019. Bahkan Zulhas sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengan petahana.
Begitu juga dengan PKS yang dikabarkan telah bertemu LBP secara-cara diam-diam. Bahkan yang selama ini dianggap macan PKS, Mardani Alisera juga mengatakan #2019GantiPresiden sudah haram. Bahkan secara tidak langsung Mardani telah mengaminkan kemenangan Jokowi dengan mengatakan semua pihak harus tenang dan menerima dengan lapang dada siapapun yang nantinya yang menjadi presiden. Mardani pun dengan tegas mengatakan nantinya jika Jokowi yang terpilih, ia dan partainya akan mengawal pemerintah sesuai dengan koridornya. PAN dan PKS seakan mendapat imunitas dari tim BPN Prabowo-Sandi maupun dari buzzer 01.
Pemilu 2019 adalah pemilu yang paling brutal. Tidak hanya brutal karena banyaknya jumlah penyelenggara pemilu yang meninggal dunia, tapi juga brutal karena ada upaya pembunuhan terhadap kawan maupun lawan politik. Mari berdemokrasi dan berkompetisi secara sehat. Jangan hilangkan akal sehat dan korbankan rakyat demi ambisi sesaat. Hentikan semua upaya menghadap-hadapkan rakyat dengan aparat sebagai upaya negoisasi yang hanya menguntungkan konglomerat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H