Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik. Telah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuto Besak, Sebuah Keraton di Masa Kesultanan Palembang Darussalam Menjadi Benteng Pertahanan di Masa Penjajahan Belanda

3 November 2024   08:01 Diperbarui: 3 November 2024   08:06 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuto Besak, Dari Sebuah Keraton Dimasa Kesultanan Palembang Darussalam Menjadi Hanya Sebuah Benteng Pertahanan Dimasa Penjajahan Belanda, Bagaimana Dimasa Sekarang..?

Oleh : HG Sutan Adil

Dimasa sebelum Penjajah Belanda menaklukan Palembang tahun 1821 M, Bangunan yang sekarang dikenal sebagai Benteng Kuto Besak (BKB) di Palembang adalah sebuah Istana atau Keraton dari Kesultanan Palembang Darussalam. Keraton ini dibangun atas prakarsa Sultan ke-4, Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama (1724-1756) dan selesai dimasa pemerintahan Sultan ke-6, Sultan Muhammad Ba’hauddin (1776-1803) dan selanjutnya resmi dipakai sebagai Istanan atau Keraton pada tarikh Seribu Dua Ratus Sebelas-tahun, kepada Tiga Likur-Hari, bulan Syakban hari Isnin pagi hari, atau tanggal 20 Pebruari 1797 M. (Hikayat Palembang hal.37)

"Hikayat Palembang" Oleh Lembaga Kajian Melayu Majelis Reboan, buku alih bahasa dari Naskah Kuno yang berakasara Arab Melayu // Sutanadil Institute

Sultan Muhammad Ba’hauddin yang sebelumnya menempati Keraton Kuto Tengkuruk atau Keraton Kuto Lamo, pada hari tersebut berpindah ke Keraton Kuto Baru (Keraton Kuto Besak), sedangkan Pangeran Ratu Raden Hasan (yang dimudian hari menjadi Sultan ke-7/Sultan Mahmud Badaruddin II) menempati Keraton Kuto Lamo yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Kuto Besak.

Sejak masih berfungsi sebagai Istana, Keraton Kuto Besak menjadi pusat pemerintahan dan komplek istana sultan dan keluarganya. Saat itu Keraton Kuto Besak dikenal sebagai bangunan istana terbesar dan termegah di Nusantara, karena memang Kesultanan Palembang Darusslam saat itu adalah Kesultanan terkaya dengan mempunyai sumber daya alam yang melimpah seperti; Tambang Timah dan Lada, sehingga menjadi incaran dari Bangsa Penjajah seperti Inggris dan Belanda untuk menguasainya.

Dengan kedua sumber alam diatas menyebabkan Kesultanan Palembang Darussalam mampu membangun Keraton yang besar dan kokoh, Masjid yang terindah di Hindia Belanda Timur, Benteng-benteng dan Komplek Pemakaman Sultan yang disebut Kawah Tengkurep. (Roo de la Faille 1971: 52)

Dengan dikenalnya Kesultanan Palembang Darussalam sebagai negeri yang kaya dan makmur,  menyebabkan keinginan beberapa “Negara Penjajah” seperti Inggris dan Belanda untuk menguasai nya. Hal ini terbukti dengan adanya terjadi "lima kali" perang maritim besar dengan mereka di Palembang, sebagaimana di ceritakan dalam Buku Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar di Palembang” karya HG Sutan Adil.

Buku
Buku "Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang" karya : HG Sutan Adil // Sumber : Sutanadil Institute

Setelah Perang Benteng Ke-5 dimana Penjajah Belanda berhasil mengasingkan Sultan ke-7 Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan (Suhunan) Mahmud Badaruddin Pangeran Ratu (SMB II) berserta Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu (SAN III) yang merupakan Sultan ke-9 ke Ternate, maka Penjajah Belanda menggantikannya dengan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom (SAN IV) sebagai Sultan Ke-10. Namun sangat disayangkan bahwa SAN IV ini hanyalah sebagai simbol dan Sultan Boneka saja, dimana kekuasaan dan pemerintahan dikuasai langsung oleh Penjajah Belanda.

Lukisan saat SMB II dan Keluarga akan diasingkan ke Ternate, terlihat Keraton Kuto Besak di latar belakangnya  // Sumber : Sutanadil Institute
Lukisan saat SMB II dan Keluarga akan diasingkan ke Ternate, terlihat Keraton Kuto Besak di latar belakangnya  // Sumber : Sutanadil Institute

Untuk menindaklanjuti dan mengamankan kekuasaan serta pemerintahannya di Palembang, Penjajah Belanda dirasa membutuhkan sebuah Benteng Pertahanan yang permanen untuk menjadi pusat pemerintahan dan komplek perumahan serdadunya. Sebagai sebuah benteng pertahanan tentu saja fungsinya adalah sebagai tempat bertahan dari serangan musuh. Untuk itulah Penjajah Belanda mencanangkan untuk membangun Benteng Frederik dan ditunjuk Letnan Kolonel Insinyur Cochius, seorang ahli benteng, untuk merencanakan dan membangun benteng pertahanan tersebut.

Namun, berdasarkan laporan Residen Penjajah Hindia Belanda di Palembang saat itu, Van Sevenhoven, no 27 tertanggal 12 Juni 1822 kepada Gubernur Jendral Penjajah Hindia Belanda di Batavia, Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen, bahwa kebutuhan material yang tidak cukup tersedia dan sedikitnya ketersediaan tenaga kerja, sehingga dibutuhkan banyak biaya dan juga banyak kendala dalam memenuhi standar pembangunan sebuah Benteng Pertahanan, seperti Benteng Frederik yang dirancanakan.

Untuk itulah, sebagai Residen Penjajah Hindia Belanda saat itu, Van Sevenhoven menyatakan keberatannya jika rencana membangun Benteng Frederik tersebut dilanjutkan, yang akan banyak mengalami kendala Biaya, Teknis dan Sosial jika benteng tersebut terus dipaksakan pembangunannya. Sebagai alternatif gantinya, Van Sevenhoven  mengusulkan agar “Keraton Kuto Besak” yang saat ini sudah dikuasai dan sekarang menjadi kedudukan pemerintahan sementara serta juga sekarang bisa menampung serdadunya sampai 400 serdadu untuk tangsi mereka, adalah cukup layak untuk di alih fungsikan sebagai sebuah Benteng Pertahanan.

Denah Keraton Kuto Besak dan Keraton Kuto Kecik yang dicatat oleh Major William Thorn, Serdadu Inggris saat tinggal di Palembang / Sutanadil Institute
Denah Keraton Kuto Besak dan Keraton Kuto Kecik yang dicatat oleh Major William Thorn, Serdadu Inggris saat tinggal di Palembang / Sutanadil Institute

Diperkirakan bagian tengah Keraton Kuto Besak sudah cocok untuk dijadikan tempat tinggal Van Sevenhoven dan didekat keraton juga sangat cocok untuk dibangun tempat peristirahatan para perwira dan pejabat penjajah Hindia Belanda di Palembang. Dengan dikelilingi Tembok yang tebal dan besar serta dilihat dari berbagai segi, Keraton Kuto Besak sangat memadai untuk dijadikan sebuah Benteng Pertahanan. Disamping besar dan kokok, keraton Kuto Besak juga mempunyai lokasi dan posisi yang sangat strategis.

Berdasakan paparan yang lengkap dari Van Sevenhoven tentang berbagai kemungkinan mewujudkan sebuah benteng pertahanan dengan biaya serendah mungkin dan kemungkinan merenovasi Keraton Kuto Besak dapat dikerjakan secepatnya, Panglima Angkatan Darat Penjajah Hindia Belanda Letnan Jendral De Cock yang merupakan komadan militer saat ekspedisi ke Palembang, mengubah pikirannya yang awalnya mendukung pendirian Benteng Frederik, menjadi menyetujui merenovasi Keraton Kuto Besak menjadi sebuah Benteng Pertahanan.

Benteng Kuto Besak dilihat dari atas Gedung Walikota Palembang (Menara PDAM) tahun 1930an // Sumber : Sutanadil Institute 
Benteng Kuto Besak dilihat dari atas Gedung Walikota Palembang (Menara PDAM) tahun 1930an // Sumber : Sutanadil Institute 

Akhirnya, Gubernur Jenderal Penjajah Hindia Belanda di Batavia, mengeluarkan keputusan mengenai penetapan pengalih-fungsian Keraton Kuto Besak menjadi sebuah benteng pertahanan yang dapat mendukung kekuasaan dan pemerintahan penjajahan mereka di Palembang. Setelah persiapan selesai, maka proyek alih fungsi Keraton Kuto Besak menjadi sebuah Benteng Pertahanan segera dilaksanakan (ANRI,Besluit Van Gouvernour-Generaal, 21 Agustus 1822, nomor 10, Bundel Algemeen Secretarie)

Dalam pelaksanaannya, Gubernur Jendral Penjajah di Batavia memerintahkan Residen Palembang untuk mulai melaksanakan Proyek Renovasi Keraton Kuto Besak menjadi sebuah Benteng Pertahanan, dan pelaksana konstruksinya ditugaskan kepada Kapten Insinyur Van Der Wijek yang bagi Van Sevenhoven adalah seorang mitra kerja yang professional  dan sudah lama tinggal di Palembang.  

Benteng Kuto Besak sekarang dengan Pintu depan yang sudah dimodifikasi oleh Belanda // Sumber : Sutanadil Institute
Benteng Kuto Besak sekarang dengan Pintu depan yang sudah dimodifikasi oleh Belanda // Sumber : Sutanadil Institute

Benteng Pertahan ini selanjutnya dikenal dengan nama “Benteng Kuto Besak atau BKB” sampai sekarang, sebagaimana tertera dengan jelas tulisan besar yang ada didinding bagian depan Benteng Pertahanan ini. Sangat disayangkan,  atas alih fungsi Keraton Kuto Besak ini, tidak ada protes atau keberatan dari Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Sultan (Suhunan) Ahmad Najamuddin II, karena beliau saat itu sudah tidak punya kekuasaan lagi dan hanya sebagai simbol dan Sultan Boneka saja.

Namun sebagai Residen Penjajah Hindia Belanda di Palembang, Van Sevenhoven tetap memilih untuk tinggal diluar Benteng Kuto Besak, yaitu di Keraton Kuto Lamo yang posisinya berada disampin Benteng Kuto Besak, yang telah dihuninya selama bertugas di Palembang selama ini. Terlihat bahwa Van Sevenhoven berubah pikiran dari keinginan awal untuk tinggal di tengah Benteng Keraton Kuto yang akan di Renovasi. Dia beranggapan bahwa kondisi keamanan di Palembang sudah kondusif.

Lukisan Keraton Kuto Tengkuruk/Lamo (Kanan) dan Keraton Kuto Besak/Baru (Kiri) Sumber : Sutanadil Institute
Lukisan Keraton Kuto Tengkuruk/Lamo (Kanan) dan Keraton Kuto Besak/Baru (Kiri) Sumber : Sutanadil Institute

Dia juga beranggapan bahwa kondisi Kuto Lamo ini juga perlu di perbarui karena kondisinya juga tidak layak sebagai sebuah rumah dinas seorang residen, karena agar seorang residen dapat bekerja dengan baik maka kebutuhan seorang residen juga perlu dipenuhi dengan baik pula, khususnya sebagai tempat tinggal. Sebagai penguasa atas nama pemerintah Hindia Belanda di daerah, sudah selayaknya rumah seorang residen berupa bangunan yang besar dengan pemandangan yang indah dan berada dilokasi yang strategis.

Pemerintah pusat Penjajah Belanda di Batavia akhirnya menyetujui juga usulan Van Sevenhoven ini dan sepakat untuk menghancurkan semua bangunan istana dan keraton yang ada didalam tembok besar atau didalam Kuto yang besar itu sekarang dan menggantinya dengan bangunan-bangunan yang besar dan megah didalamnya. Bangunan inilah menjadi Kantor dan rumah Residen Van Sevenhoven yang juga dipakai oleh residen-residen selanjutnya. (ANRI, Besluit van Gouveneur-Generaal, tanggal 21 Agustus 1822, nomor 10, Bundel Algemeen Secretarie).

Bekas Kantor Residen Penjajah Hindia Belanda di Palembang yg sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II // Sumber : Sutanadil Institute
Bekas Kantor Residen Penjajah Hindia Belanda di Palembang yg sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II // Sumber : Sutanadil Institute

Masyarakat Palembang bersyukur sekarang ini bahwa Keraton Kuto Lamo atau Keraton Tengkuruk yang dibangun di masa Sultan ke-4 Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Badaruddin Jayawikrama, diatas  yang walau sudah dihancurkan oleh Penjajah Belanda dan dibangun kembali menjadi sebuah Rumah Dinas Residen, masih bisa digunakan sebagai sebuah Cagar Budaya dan sekarang sudah difungsikan sebagai sebuah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang sangat bermanfaat dalam bidang Pendidikan Sejarah, Kebudayaan dan Pariwisata.   

Namun, di lain pihak sangat disayangkan bahwa Benteng Kuto Besak (BKB) yang juga telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya di tahun 2004 lalu, belum dikembalikan fungsinya sebagai “Keraton Kuto Besak” yang merupakan sebuah Istana atau Keraton dari Kesultanan Palembang Darussalam, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Kenyataannya sampai sekarang, bangunan Cagar Budaya ini masih saja di fungsikan sebagai Benteng Pertahahan dari sebuah Kantor Instansi Militer.

Plang Nama Instansi Militer yang berkantor di Benteng Kuto Besak // Sumber : Sutanadil Institute
Plang Nama Instansi Militer yang berkantor di Benteng Kuto Besak // Sumber : Sutanadil Institute

Walau sudah 79 tahun Negara Indonesia merdeka dari penjajahan “Bangsa Penjajah” (Belanda, Inggris, Prancis dan Jepang), namun sangat disayangkan, Keraton Kuto Besak masih tetap di fungsikan sebagai sebuah Benteng Pertahanan dan terus menjadi sebuah Markas Komando Militer (Kesehatan). Hal ini juga diperparah dengan adanya tulisan besar didinding depan bangunan Keraton Kuto Besak tsb., dengan tulisan sangat besar bernama “Benteng Kuto Besak” yang menjadi penanda bahwa bangunan ini tetap difungsikan sebagai sebuah Benteng Pertahanan, sehingga dengan publikasi melalui tulisan itu, masyarakat terus memahamnya hanyalah sebagai sebuah benteng pertahanan.

Tulisan Besar
Tulisan Besar "Benteng Kuto Besak" didinding tembok depan BKB // Sumber : Sutanadil Institute 

Padahal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Benteng Pertahanan adalah bangunan tempat berlindung atau bertahan dari serangan musuh. Nah… dizaman yang damai sekarang ini, apakah masih ada musuhnya... dan apakah di Kota Palembang yang besar dan sangat berkembang dibidang ekonomi dan budaya saat ini masih ada musuh yang siap menyerang…

Disamping penjelasan diatas, "Keraton Kuto Besak" ini juga adalah sebuah Istana atau Keraton dan tempat tinggal dari seorang "Pahlawan Nasional" yaitu Sultan Mahmud Badaruddin II, yang juga merupakan Sultan ke-7 dari Kesultanan Palembang Darussalam. Nama beliau juga disematkan sebagai nama Bandara Internasional di Palembang, yaitu Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II atau Bandara SMB II.

Foto Pahlawan Nasional, Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II), sejak th. 1822 M diasingkan ke Ternate // Sumber : Sutanadil Institute
Foto Pahlawan Nasional, Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II), sejak th. 1822 M diasingkan ke Ternate // Sumber : Sutanadil Institute

Untuk itulah diperlukan perhatian dan kesadaran semua stakeholder terkait atas bangunan “Keraton Kuto Besak” di Palembang ini, bahwa bangunan Keraton Kuto Besak yg tetap masih di kaburkan sebagai dan hanya sebuah Benteng Pertahahan, perlu dilestarikan kembali menjadi sebuah Cagar Budaya  bernilai tinggi yang dapat menjadi sebuah Ikon atau Simbol Kota Palembang sebagai sebuah bangunan peninggalan penting dan strategis dari leluhurnya, "Kesultanan Palembang Darussalam", yang tentu saja akan sangat bermanfaat sekali dibidang Pendidikan Sejarah, Budaya dan Pariwisata jika dibandingkan sekarang yang hanya dipergunakan sebagai sebuah kantor instansi militer saja…

"SELAMAT HARI PAHLAWAN, 10 NOPEMBER 2024", Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Pahlawannya...

Sumber :

  • Dr. Farida W. Wargadalem, Buku “Kesultanan Palembang Dalam Pusaran Konflik (1804-1825)
  • HG Sutan Adil, Buku “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang
  • Tim Lembaga Kajian Melayu “Majelis Reboan”, Buku “Hikayat Palembang”

*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Bogor, 3 Nopember 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun