Untuk itulah, sebagai Residen Penjajah Hindia Belanda saat itu, Van Sevenhoven menyatakan keberatannya jika rencana membangun Benteng Frederik tersebut dilanjutkan, yang akan banyak mengalami kendala Biaya, Teknis dan Sosial jika benteng tersebut terus dipaksakan pembangunannya. Sebagai alternatif gantinya, Van Sevenhoven mengusulkan agar “Keraton Kuto Besak” yang saat ini sudah dikuasai dan sekarang menjadi kedudukan pemerintahan sementara serta juga sekarang bisa menampung serdadunya sampai 400 serdadu untuk tangsi mereka, adalah cukup layak untuk di alih fungsikan sebagai sebuah Benteng Pertahanan.
Diperkirakan bagian tengah Keraton Kuto Besak sudah cocok untuk dijadikan tempat tinggal Van Sevenhoven dan didekat keraton juga sangat cocok untuk dibangun tempat peristirahatan para perwira dan pejabat penjajah Hindia Belanda di Palembang. Dengan dikelilingi Tembok yang tebal dan besar serta dilihat dari berbagai segi, Keraton Kuto Besak sangat memadai untuk dijadikan sebuah Benteng Pertahanan. Disamping besar dan kokok, keraton Kuto Besak juga mempunyai lokasi dan posisi yang sangat strategis.
Berdasakan paparan yang lengkap dari Van Sevenhoven tentang berbagai kemungkinan mewujudkan sebuah benteng pertahanan dengan biaya serendah mungkin dan kemungkinan merenovasi Keraton Kuto Besak dapat dikerjakan secepatnya, Panglima Angkatan Darat Penjajah Hindia Belanda Letnan Jendral De Cock yang merupakan komadan militer saat ekspedisi ke Palembang, mengubah pikirannya yang awalnya mendukung pendirian Benteng Frederik, menjadi menyetujui merenovasi Keraton Kuto Besak menjadi sebuah Benteng Pertahanan.
Akhirnya, Gubernur Jenderal Penjajah Hindia Belanda di Batavia, mengeluarkan keputusan mengenai penetapan pengalih-fungsian Keraton Kuto Besak menjadi sebuah benteng pertahanan yang dapat mendukung kekuasaan dan pemerintahan penjajahan mereka di Palembang. Setelah persiapan selesai, maka proyek alih fungsi Keraton Kuto Besak menjadi sebuah Benteng Pertahanan segera dilaksanakan (ANRI,Besluit Van Gouvernour-Generaal, 21 Agustus 1822, nomor 10, Bundel Algemeen Secretarie)
Dalam pelaksanaannya, Gubernur Jendral Penjajah di Batavia memerintahkan Residen Palembang untuk mulai melaksanakan Proyek Renovasi Keraton Kuto Besak menjadi sebuah Benteng Pertahanan, dan pelaksana konstruksinya ditugaskan kepada Kapten Insinyur Van Der Wijek yang bagi Van Sevenhoven adalah seorang mitra kerja yang professional dan sudah lama tinggal di Palembang.
Benteng Pertahan ini selanjutnya dikenal dengan nama “Benteng Kuto Besak atau BKB” sampai sekarang, sebagaimana tertera dengan jelas tulisan besar yang ada didinding bagian depan Benteng Pertahanan ini. Sangat disayangkan, atas alih fungsi Keraton Kuto Besak ini, tidak ada protes atau keberatan dari Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Sultan (Suhunan) Ahmad Najamuddin II, karena beliau saat itu sudah tidak punya kekuasaan lagi dan hanya sebagai simbol dan Sultan Boneka saja.
Namun sebagai Residen Penjajah Hindia Belanda di Palembang, Van Sevenhoven tetap memilih untuk tinggal diluar Benteng Kuto Besak, yaitu di Keraton Kuto Lamo yang posisinya berada disampin Benteng Kuto Besak, yang telah dihuninya selama bertugas di Palembang selama ini. Terlihat bahwa Van Sevenhoven berubah pikiran dari keinginan awal untuk tinggal di tengah Benteng Keraton Kuto yang akan di Renovasi. Dia beranggapan bahwa kondisi keamanan di Palembang sudah kondusif.
Dia juga beranggapan bahwa kondisi Kuto Lamo ini juga perlu di perbarui karena kondisinya juga tidak layak sebagai sebuah rumah dinas seorang residen, karena agar seorang residen dapat bekerja dengan baik maka kebutuhan seorang residen juga perlu dipenuhi dengan baik pula, khususnya sebagai tempat tinggal. Sebagai penguasa atas nama pemerintah Hindia Belanda di daerah, sudah selayaknya rumah seorang residen berupa bangunan yang besar dengan pemandangan yang indah dan berada dilokasi yang strategis.
Pemerintah pusat Penjajah Belanda di Batavia akhirnya menyetujui juga usulan Van Sevenhoven ini dan sepakat untuk menghancurkan semua bangunan istana dan keraton yang ada didalam tembok besar atau didalam Kuto yang besar itu sekarang dan menggantinya dengan bangunan-bangunan yang besar dan megah didalamnya. Bangunan inilah menjadi Kantor dan rumah Residen Van Sevenhoven yang juga dipakai oleh residen-residen selanjutnya. (ANRI, Besluit van Gouveneur-Generaal, tanggal 21 Agustus 1822, nomor 10, Bundel Algemeen Secretarie).
Masyarakat Palembang bersyukur sekarang ini bahwa Keraton Kuto Lamo atau Keraton Tengkuruk yang dibangun di masa Sultan ke-4 Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Badaruddin Jayawikrama, diatas yang walau sudah dihancurkan oleh Penjajah Belanda dan dibangun kembali menjadi sebuah Rumah Dinas Residen, masih bisa digunakan sebagai sebuah Cagar Budaya dan sekarang sudah difungsikan sebagai sebuah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang sangat bermanfaat dalam bidang Pendidikan Sejarah, Kebudayaan dan Pariwisata.
Namun, di lain pihak sangat disayangkan bahwa Benteng Kuto Besak (BKB) yang juga telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya di tahun 2004 lalu, belum dikembalikan fungsinya sebagai “Keraton Kuto Besak” yang merupakan sebuah Istana atau Keraton dari Kesultanan Palembang Darussalam, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Kenyataannya sampai sekarang, bangunan Cagar Budaya ini masih saja di fungsikan sebagai Benteng Pertahahan dari sebuah Kantor Instansi Militer.