PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar abad 17 dan 19 di Palembang (Bagian Ketiga/Habis)
Oleh : HG Sutan Adil
Dalam dua tulisan sebelumnya dan dengan judul yang sama, telah dijelaskan tahap tahap terjadinya 5 kali Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang, dan telah dijelaskan bahwa Perang Benteng itu adalah perang yang berhadapan dengan Kolonialis Belanda dan Inggris, maka dalam tulisan terakhir ini penulis akan menjelaskan adanya Benteng-benteng pertahanan milik Palembang yang sangat perperan dalam menghadapi Kapal (laut) Perang milik kedua Kolonialis diatas.
“Benteng”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah merupakan Bangunan tempat berlindung atau bertahan (dari serangan musuh), dan hanya yang sempat berlindung di dalamnya-lah yang dapat selamat. Benteng bisa juga berarti dinding (tembok) untuk menahan serangan atau sesuatu yang dipakai untuk memperkuat atau mempertahankan kedudukan dan sebagainya. Benteng dibuat sebagai upaya sekelompok manusia dalam mempertahankan diri dari serangan pihak lain. Benteng juga menjadi bagian dari strategi penyerangan yang bersifat kependudukan. Benteng selalu dikaitkan dengan peperangan akibat adanya konflik antar kelompok manusia yang ditimbulkan oleh berbagai sebab. Pembangunan benteng digunakan untuk mencegah bahaya yang mengancam keselamatan harta-benda, jiwa, dan penduduk di dalamnya
Sedangkan yang dimaksud “Perang” adalah permusuhan antara dua pihak atau negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) dimana kedua negara itu dalam keadaan pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara, laskar, pemberontak, dan sebagainya) tidak lama kemudian kedua pasukan itu sudah terlibat dalam perang yang sengit.
Dalam kondisi seperti inilah maka saat untuk melawan Kolonialisme, Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam juga mempunyai Benteng Pertahanan di sepanjang sungai musi untuk bertahan menghadapi setiap serangan dari musuhnya.
Namun sangat disayangkan, keberadaan sejarah besar Palembang tentang terjadinya lima kali Perang Benteng, yaitu perang maritim terbesar di abad 17 dan 19, antara Kerajaan dan Kesultanan Palembang Darussalam dengan melawan Bangsa Kolonialis sejak tahun 1659 M sampai dengan tahun 1821 di Pulau Kemaro dan area sekitarnya ini seperti terlupakan dan termarjinalkan.
Sampai saat ini Sejarah Besar Palembang ini tidak terdengar dan dipahami olah masyarakat sekitar dan masyarakat umum di Palembang, sehingga belum menjadi ingatan kolektif sebagaimana perang lainnya di Nusantara ini seperti; Perang Candu/Padri di Minangkabau, Perang Aceh dan Perang Jawa/Diponegoro.
Dalam tulisan dan artikel terakhir ini, penulis akan mengangkat dan menjelaskan juga Benteng-benteng yang di tinggalkan dalam 5 kali Perang Benteng diatas yang justru sekarang kondisinya terbengkalai dan salah urus, dan juga banyak yang tidak berbekas lagi.
Berdasarkan hasil penelitian dari Sutanadil Institute dan telah di publikasikan dalam Buku “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang”, yang ditulis oleh HG Sutan Adil, terdapat ada 13 lokasi Benteng-benteng pertahanan Palembang disepanjang Sungai Musi, mulai dari Sungsang sampai Muara Rawas di sebelah selatannya dan disebelah Selatan sampai di hulu Sungai Ogan dan Sungai Komering, yang dapat disimpulkan sbb:
1. Benteng di Muara Sungsang yang terletak di muara Sungai Musi dan di selat Bangka yang berhadapan langsung dengan Pulau Bangka di Kabupaten Banyuasin.
2. Benteng di Pulau Borang yang terletak di tepi Sungai Musi di Kabupaten Banyuasin.
3. Benteng di Pulau Anyar atau Pulau Salanama yang juga berada di tepi Sungai Musi di Kabupaten Banyuasin ini dekat dengan Pulau Kemaro.
4. Benteng Tambak Bayo yang terletak di Muara Plaju, tempat pertemuan Sungai Musi dan Sungai Komering di Kota Palembang.
5. Benteng Martapuro yang terletak di sebelah barat Benteng Tambak Bayo dan dikenal sebagai kawasan Bagus Kuning Kota Palembang.
6. Benteng Manguntama yang terletak di sebuah pulau di tengah Sungai Musi bernama Pulau Kemaro berhadapan dengan Benteng Tambak Bayo di Muara Plaju di Alran Sungai Musi Kota Palembang.
7. Benteng Rakit, yaitu benteng terapung yang terbuat dari kayu atau bambu, di ujung Pulau Kemaro paling ujung dekat Benteng Manguntama di Sungai Musi, Kota Palembang.
8. Benteng Bamagangan, benteng di sebelah timur Pulau Kemaro di tepi Sungai Musi yang menjaga pagar kayu atau Cerucuk dari Pulau Kemao hingga Bagus Kuning yang melintasi Sungai Musi.
9. Benteng Kuto Besak atau Istana Kuto Besak yang terletak di dekat Jembatan Ampera Kota Palembang.
10. Benteng Kuto Lamo atau Keraton Tengkuruk yang terletak di sebelah barat Benteng Kuto Besak.
11. Benteng di dusun Bailangu dekat Kota Sekayu (ibukota Kabupaten Musi Banyuasin, sekarang) di pinggiran Sungai Musi.
12. Benteng di Muara Rawas (Ujung Tanjung) yang juga terletak di Sungai Uluan Musi di Kabupaten Musi Banyuasin.
13. Benteng di dusun Kurungan Nyawo dan/atau dekat dusun Muncak Kabau Lama di tepi Sungai Komering, Kecamatan Buay Pemuka Bangsa Raja, Kabupaten OKU Timur.
1. Benteng di Muara Sungsang
Benteng pertahanan di Sungsang ini merupakan Benteng strategis bagi Kerajaan dan Kesultanan Palembang Darussalam dikarenakan letak Benteng Pertahanan yang berada di Muara Sungai Musi dan juga di Selat Bangka dan menjadi titik pantau setiap kapal yang keluar masuk Sungai Musi. Keberadaan Benteng pertahanan ini tercatat hampir di setiap sumber primer sejarah di Perang Benteng Pertama sampai Perang Benteng Kelima. Namun sayangnya keberadaan benteng ini sudah tidak meninggalkan bekas lagi karena sudah hangus terbakar saat perang perang tersebut dan memang posisinya sering berubah-ubah.
2. Benteng Pulau Borang
Benteng di Pulau Borang ini tercatat jelas dan menjadi Benteng Pertahanan utama saat terjadi Perang Benteng Kedua, yaitu Perang antara Kesultanan Palembang Darussalam melawan ekspedisi armada angkatan laut East India Company (EIC) milik Kerajaan Inggris yang dipimpin oleh Kolonel Robert Rollo Gillespie. Cerita tentang Benteng Borang ini juga tercatat dalam Naskah Kuno Hikayat Palembang dan Buku The Conquest of Java karya Major William Thorn yang saat itu mejadi salah satu perwira EIC saat terjadi Perang Benteng Kedua.
Dalam buku ini, Thorn dengan jelas menggambarkan kondisi Benteng Borang ini yg terbuat dari Kayu Gelondongan dan Pohon Bambu untuk melindungi gundukan tanah sebagai alas berdirinya meriam-meriam milik Kesultanan Palembang Darussalam. Namun sayangnya juga Benteng Pertahanan ini belum banyak diteliti oleh sejarawan terdahulu dan terkesan juga sudah tidak berbekas lagi.3. Benteng di Pulau Salanama dan Pulau Ayar
Benteng di Pulau ini memang tidak begitu jelas tercatat dalam catatan sejarah, namun disebutkan adanya pulau pulau sempanjang sungai musi ini memiliki benteng-benteng kecil yang juga diisi dengan meriam-meriam yang sangat merepotkan kapal perang untuk melewatinya.
4. Benteng Tambak Banyo/Bamagangan
Benteng Tambak Bayo ini berlokasi di sudut pertemuan muara sungai Ogan dengan Sungai Musi, tepat diseberang Pulau Kemaro. Benteng ini dahulunya merupakan Benteng Pertahanan terbesar dibandingkan dengan Benteng Pertahanan lainnya milik Palembang. Benteng Tambak Bayo di isi oleh para keturunan Arab dan dipimpin oleh Pangeran Palembang pada masa Perang Benteng Pertama dan Keluarga Sultan sultan disaat perang Benteng Kedua sampi Perang Benteng Kelima.
Benteng ini sangat jelas sekali digambarkan dalam sketsa yang dibuat oleh Laksamana Vander Laen, pemimpin dan Komandan Ekspedisi penyerangan armada VOC ke Palembang dalam Perang Benteng Pertama dan saat itu masih bernama Bamagangan. Sketsa ini dibuat sebagai acuan untuk membuat strategis dalam menyerang Palembang saat itu.
Disamping catatan sketsa Laksamana Vander laen diatas, Keberadaan Benteng Tambak Bayo ini juga disebutkan oleh Johan Nieuhof dalam bukunya “Voyages & Travel to the East Indies 1653-1670”, yang merupakan catatan dan laporan nya dalam mengikuti ekspedisi penyerbuan VOC kepada Kerajaan Palembang di Perang Benteng Pertama, tahun 1659 M.
Pada tahun 1729 M, diterbitkan juga sebuah Atlas oleh Pieter vander Aa yang diberi nama La Ville de Palimbang dan’s I’lle de Sumatera, dimana copy originalnya sekarang sudah berada di Galery Bartelle. Atlas ini sumbernya juga sama, yaitu dari buku karya Johan Nieuhof sebagaimana tersebut diatas. Dalam atlas ini ada dua gambar yang mengilustrasikan terbakarnya Istana Kuto Gawang dan yang kedua mengilustrasikan peperangan Perang Benteng Pertama dan terlihat jelas bentuk Benteng Bamagangan, Benteng Matapura, Benteng Cambera di Pulau Kemaro dan juga terlihat Istana Kuto Gawang.
Keberadaan nama Benteng Tambak Bayo yang dahulunya (Perang Benteng Pertama) bernama Bamagangan ini banyak disebutkan dalam Naskah Kuno “Hikayat Palembang” sebagaimana sudah dialihbahasakan oleh Tim Kajian Melayu “Majelis Reboan” di Palembang. Dalam naskah kuno ini diinfokan bahwa saat Perang Benteng keempat, Benteng Tambak Bayo ini dipimpin Pangeran Keramadiradja dan saat Perang Benteng Kelima digantikan oleh menantu Sultan Mahmud Badaruddin II, Pangeran Keramajaya.
Sanyangnya, Benteng Pertahanan Tambak Banyo ini tidak ada bekasnya sampai sekarang. Hal ini dikarenakan material yang digunakan untuk membuat benteng bukan dari bahan yang tahan lama seperti batu dan semen sebagaimana Benteng Kuto Besak dan Benteng Kuto Kecik/Tengkuruk, tetapi terbuat dari bahan2 alamiah seperti Kayu Unglen/Ter, Bambu, Rotan dan lainnya, termasuk batu2 kali yang diratakan dengan tanah liat yang dipakai sebagai pondasi benteng dan tempat meletakkan meriam2nya.
Kondisi ini diperparah dengan pembakaran dan pembumihangusan Benteng Tambak Bayo ini yang dilakukan kolonialis Belanda saat penyerangan terakhir di Perang Benteng Kelima, dimana semua Benteng Pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam dibakar habis oleh mereka, sebagaimana Keraton Kuto Gawang yang dibakar VOC pada Perang Benteng Pertama dan juga tidak berbekas.
Penjelesan tentang material yang dipakai oleh Benteng Pertahanan Tambak Banyo ini diungkap dalam Buku “The Conquest Of Jawa, Nineteenth-century Java seen through the eyes of a soldier of the British Empire” hal. 147-193, karya Major William Thorn, seorang serdadu EIC Inggris saaat menyerang Palembang tahun 1812 M.
Untuk itulah diperlukan penelitian lebih mendalam lagi tentang keberadaan Benteng Tambak Bayo ini dan sebagai Data Primer, Buku dan Lukisan oleh Joan Van der Laen, Johan Nieuhof dan Major William Thorn ini sudah bisa dipakai sebagai Bukti Sejarah Primer karena mereka adalah Pelaku Sejarah pada masa atau kejadian tersebut.
5. Benteng Matapure/Martapuro
Benteng Matopure, nama benteng ini saat terjadi Perang Benteng Pertama atau Benteng Martopura disaat Perang Benteng Kedua sampai Kelima, terletak di arah timur dari Benteng Tambak Bayo yang sekarang posisinya berada di sekitar lapangan Golf milik PT Pertamina di daerah Bangus Kuning, Plaju Kota Palembang. Benteng ini menjadi Benteng Pertahanan untuk membantu Benteng Tambak Bayo dan menjadi tempat penambatan Rantai yang membentang menutup Sungai Musi ke seberangnya di Pulau Kemaro.
Keberadaan Benteng Matapure atau Martapura ini juga tercatat dibuku Johan Nieuhof dan Major William Thorn sebagaimana telah dijelas diatas. Keberadaan Benteng Martapura ini juga sering disebut di Naskah Hikayat Palembang. Dalam Naskah Hikayat Palembang ini menyebutkan saat perang Benteng Kelima, Benteng ini di pimpin oleh Sultan Ahmad Najamuddin dibantu oleh Pangeran Adipati dan Pangeran Bupati beserta orang orang Arab yang besar-besar.
6. Benteng Pulau Kembara dan Benteng Manguntama
Di Pulau Kemaro ini tercatat ada 2 Benteng di daratan dan 1 Benteng Rakit atau Benteng Terapung. Benteng Pulau Kembara tercatat dalam Perang Benteng Pertama yang bersumber dari Sketsa Komander John Vander Laen dan Buku Johan Nieuhof serta Naskah Kuno Hikayat Palembang. Sedangkan Benteng Manguntama banyak diulas di Naskah Kuno Hikayat Palembang yang pada saat Perang Benteng Kelima dipimpin oleh Pangeran Keramadilaga dibantu oleh para menteri.
Benteng Manguntama adalah Benteng pertahan yang baru dibuat saat terjadi Perang Benteng Kelima dimana posisinya berada disisi Timur dari Pulau Kemaro dan pimpin oleh Pangeran Wirasentika.
7. Benteng Terapung atau Benteng Rakit
Benteng ini merupakan Benteng Pertahanan yang dibuat agak menjorok ke Sungai Musi dari Pulau Kemaro yang merupakan Benteng pantau untuk mengetahui musuh yang masuk ke Kota Palembang. keberadaan Benteng ini tercatat oleh Sketsa Laksamana Vander Laen dan Buku Johan Nieuhof serta Nasakah kuno Hikayat Palembang.
Benteng ini saat Kondisi Perang di bantu oleh Perahu-perahu perang yang didudukkan Maeriam ringan dan Meriam Lela didalamnya yang sandar kedua disisinya. Dalam Naskah Kuno Hikayat Palembang, Benteng ini dipimpin oleh Pangeran Ratu dari Jambi dan Pasukannya.
8. Benteng Bamagangan
Benteng ini hanya tercatat saat terjadi Perang Benteng Pertama, yaitu didasari oleh Sketsa yang dibuat oleh Laksamana Vander Laen dan buku Johan Nieuhof. Benteng ini saat terjadi Perang Benteng Ketiga, Keempat dan kelima berubah nama menjadi Benteng Tambak Bayo yang posisisnya di sudut sebelah timur dari muara Sungai Ogan yang bertemu dengan Sungai Musi. Lokasi ini sekarang sudah menjadi Komplek Penyulingan Miyak P. Pertamina.
9. Benteng Kuto Besak atau Keraton Kuto Besak
Benteng Kuto Besak (BKB) ini adalah satu2nya Benteng Peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam yang masih tersisa dan masih ada. Hali ini dikarena bentuk bangunan benteng yang terbuat dari batu dan semen yang mengeliliginya ini masih terjaga dengan baik. Namun bangunan didalamnya yang dahulunya merupakan komplek Keraton Kesultanan Palembang Darussalam dihancurkan oleh Kolonialis Belanda dan diganti sebagai Benteng Pertahanan mereka dengan bangunan baru sebagaimana terlihat sekarang ini.
Catatan mengenai sejarah Komplek Keraton Kesultanan Palembang Darussalam yang dihancurkan oleh Kolonialis Belanda ini dapat dilihat di Buku Major William Thorn dalam bukunya “The Conquest of Java”. Seorang Perwira Eat India Company (EIC) Inggris.
Catatan sejarah mengenai pengalihan fungsi Keraton Kesultanan Palembang Darussalam menjadi Benteng Pertahanan ini juga banyak di ungkap dalam naskah kuno “Hikayat Palembang”.
Namun sayangnya, sampai sekarang bangunan Benteng Kuto Besak ini sampai sekarang masih dipergunakan sebagai Benteng Pertahanan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan menjadikannya hanya sebuah kantor biasa seperti Kantor Kesehatan Kodam II Sriwijaya.
10. Benteng Kuto Tengkuruk
Sama juga nasib Keraton Kuto Tengkuruk ini dengan nasib Keraton Kuto Besak sebagaimana telah diulas diatas, yang bentuk Istana atau Keraton dan Tembok Benteng yang mengelilinginya (mirip dengan BKB) juga semuanya hancurkan dan diratakan dengan tanah. Selanjutnya Kolonialis Belanda membangun diatas lokasi tanah tersebut sebuah Rumah Dinas untuk Residen Palembang. Rumah Residen Belanda itu sekarang sudah difungsikan sebagai Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Dimasa kesultanan Palembang Darussalam masih berkuasa, Keraton Tegkuruk dengan Keraton Kuto Besak ini sering disebut juga sebagai “Keraton Kembar”, karena bentuk tembok benteng yang mengelilingi masing-masing keraton tersebut (letaknya yang juga bersebelahan), berarsitektur yang sama. Hanya saja luas dan bentuk Pagar Benteng Keraton Tengkuruk ini lebih kecil dibandingkan dengan luas dan Bentuk Pagar Keraton Kuto Besak.
Cerita sejarah mengenai ulasan ini, tercatat dalam naskah kuno “Hikayat Palembang” dan Buku “The Conquest of Java“ serta beberapa sumber sekunder dan tersier lainnya.
11. Benteng Buaya Langu
Benteng ini terletak di dusun Buaya Langu atau sekarang dikenal dengan desa Bailangu terletak dan berbatasan langsung dengan Ibukota Kabupatem Musi Banyuasin sekarang, yaitu Kota Sekayu. Benteng Buaya Langu ini adalah salah satu Benteng Pertahanan dan pernah menjadi basis pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II disaat terjadi gejolak pemerintahan di pusat pertahanannya di Palembang.
Sebagaimana tercatat dalam naskah kuno Hikayat Palembang (Cod.Or.2276C), bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II beserta segenap rakyat dan prajuritnya bertahan di Dusun Buaya Langu dengan membangun dua Benteng Pertahanan yang saling berseberangan sungai dan dilengkapi dengan alat persenjataan lengkap dengan merian beserta senjata ringan dan tradisional.
Selengkapnya bisa dibaca dilink berikut : https://www.kompasiana.com/sutanadilinstitute9042/653d38ddedff76673b136902/benteng-buaya-langu-salah-satu-benteng-pertahanan-kesultanan-palembang-darussalam-di-musi-banyuasin
12. Benteng Ujung Tanjung
Benteng Pertahanan Ujung Tanjung ini terletak di Dusun Ngulak II, Kec. Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin. Di Benteng Pertahanan yang teletak di Muara Rawas ini, Sultan Mahmud Badaruddin II menghimpun orang Uluan dan banyak juga dibantu oleh orang melayu dari Jambi dan Minangkabau yang berpengalaman dalam perang-perang sebelumnya. Maka sejak itu Inggris tidak lagi berkeinginan untuk menyerang.
Cerita sejarah ini juga tercatat dalam naskah kuno “Hikayat Palembang”
Ceirta lengkapnya dapat dibaca di Link berikut : https://www.kompasiana.com/sutanadilinstitute9042/653f2e14ee794a4cbd7c3ef2/benteng-ujung-tanjung-muara-rawas-benteng-kedua-kesultanan-palembang-darussalam-di-musi-banyuasin
13. Benteng Kurungan Nyawa
Kembali berdasarkan naskah catatan kuno Hikayat Palembang (Cod.Or.2276C) dan Buku “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 Di Palembang”, karya HG SutanAdil, menyebutkan bahwa setelah banyak membuat Benteng Pertahan di Wilayah Kota Palembang dan Sekitarnya, Sultan Mahmud Badaruddin II juga membangun beberapa Benteng Pertahanan di wilayah Uluan, termasuk salah satunya di Ulu Sungai Komering untuk menahan laju milirnya serangan dari wilayah selatan atau Lampung.
Di Benteng Pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam inilah sering sekali terjadi serangan Belanda dari wilayah Lampung dan umumnya dapat dikalahkan oleh Prajurit Benteng Kurungan Nyawo yang juga dibantu penduduk lokal disini. Berdasarkan pengamatan penulis saat berkunjung ke wilayah ini, terlihat memang banyak sekali kuburan tua pribumi dan orang asing disana.
Menurut keterangan Bp. Aris, salah seorang penduduk di wilayah ini, menuturkan bahwa di Lahan Kebun mereka di seberang sungai, memang ada tanda2 adanya sebuah Benteng Pertahanan berbentuk Pagar Tanah dan beberapa kuburan keramat disana. Beliau menuturkan juga bahwa wilayah tersebut dahulunya sebelum adanya Kolonialis, juga menjadi tempat perang antar penduduk dari wilayah Lampung yang ingin merebut wilayah mereka.
Selengkapnya dapat dibaca di Ling berikut : https://www.kompasiana.com/sutanadilinstitute9042/6544b4cfedff7661d1084d23/benteng-kurungan-nyawo-benteng-pertahanan-kesultanan-palembang-darussalam-di-oku-timur
Dari beberapa Benteng Pertahanan yang di sebut dalam Peta diatas, sangat disayangkan bahwa hanya Benteng Kuto Besak (Nomor 9) dan Benteng Kuto Lamo (Nomor 10) yang meninggalkan jejaknya karna memang terbuat dari Batu dan Beton yang kuat.
Selain daripada dua Benteng Pertahanan diatas, semua dari 11 benteng pertahanan lainnya tidak ada jejaknya lagi hingga sekarang ini, karena memang semuanya diperkirakan terbuat dari Batang Kayu, Bambu dan Bahan alamiah lainnya yang habis termakan usia. Hal ini terungkap sebagaimana apa yang diceritakan oleh Major William Thorn, seorang perwira militer Inggris yang ikut serta dalam penyerangan ke Palembang tahun 1812 dan ditulis dan gambarkan dalam bukunya yang berjudul “The Conquest of Java”, Halaman 159.
Untuk itu diperlukan adanya upaya nyata dari stake holder terkait di Palembang untuk mulai meneliti dan me-revitalisasi keberadaan Benteng-benteng Pertahahan yang telah diungkap diatas. Keberadaan Benteng-benteng tersebut diatas sudah mendesak untuk dilakukan inventarisir ulang atas keberadaannya.
Demikian lah tulisan bagian akhir dari tiga bagian tulisan tentang “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang” yang merupakan karya dari HG Sutan Adil yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku sejarah popular yang didapat dari hasil penelitian mandiri dari HG Sutan Adil dan Lembaga Penelitian Sejarah Sutanadil Institut sesejatak tahun 2019 lalu. Semoga buku tersebut diatas bisa menjadi sumber diskusi dan sebagai pemicu untuk penlitian-penelitian sejarah besar Palembang selanjutnya.
Sumber : Buku “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang” karya HG Sutan Adil, diterbitkan oleh SAVE Foundation, tahun 2022.
*) Penulis Adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 7 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H