Disamping catatan sketsa Laksamana Vander laen diatas, Keberadaan Benteng Tambak Bayo ini juga disebutkan oleh Johan Nieuhof dalam bukunya “Voyages & Travel to the East Indies 1653-1670”, yang merupakan catatan dan laporan nya dalam mengikuti ekspedisi penyerbuan VOC kepada Kerajaan Palembang di Perang Benteng Pertama, tahun 1659 M.
Pada tahun 1729 M, diterbitkan juga sebuah Atlas oleh Pieter vander Aa yang diberi nama La Ville de Palimbang dan’s I’lle de Sumatera, dimana copy originalnya sekarang sudah berada di Galery Bartelle. Atlas ini sumbernya juga sama, yaitu dari buku karya Johan Nieuhof sebagaimana tersebut diatas. Dalam atlas ini ada dua gambar yang mengilustrasikan terbakarnya Istana Kuto Gawang dan yang kedua mengilustrasikan peperangan Perang Benteng Pertama dan terlihat jelas bentuk Benteng Bamagangan, Benteng Matapura, Benteng Cambera di Pulau Kemaro dan juga terlihat Istana Kuto Gawang.
Keberadaan nama Benteng Tambak Bayo yang dahulunya (Perang Benteng Pertama) bernama Bamagangan ini banyak disebutkan dalam Naskah Kuno “Hikayat Palembang” sebagaimana sudah dialihbahasakan oleh Tim Kajian Melayu “Majelis Reboan” di Palembang. Dalam naskah kuno ini diinfokan bahwa saat Perang Benteng keempat, Benteng Tambak Bayo ini dipimpin Pangeran Keramadiradja dan saat Perang Benteng Kelima digantikan oleh menantu Sultan Mahmud Badaruddin II, Pangeran Keramajaya.
Sanyangnya, Benteng Pertahanan Tambak Banyo ini tidak ada bekasnya sampai sekarang. Hal ini dikarenakan material yang digunakan untuk membuat benteng bukan dari bahan yang tahan lama seperti batu dan semen sebagaimana Benteng Kuto Besak dan Benteng Kuto Kecik/Tengkuruk, tetapi terbuat dari bahan2 alamiah seperti Kayu Unglen/Ter, Bambu, Rotan dan lainnya, termasuk batu2 kali yang diratakan dengan tanah liat yang dipakai sebagai pondasi benteng dan tempat meletakkan meriam2nya.
Kondisi ini diperparah dengan pembakaran dan pembumihangusan Benteng Tambak Bayo ini yang dilakukan kolonialis Belanda saat penyerangan terakhir di Perang Benteng Kelima, dimana semua Benteng Pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam dibakar habis oleh mereka, sebagaimana Keraton Kuto Gawang yang dibakar VOC pada Perang Benteng Pertama dan juga tidak berbekas.
Penjelesan tentang material yang dipakai oleh Benteng Pertahanan Tambak Banyo ini diungkap dalam Buku “The Conquest Of Jawa, Nineteenth-century Java seen through the eyes of a soldier of the British Empire” hal. 147-193, karya Major William Thorn, seorang serdadu EIC Inggris saaat menyerang Palembang tahun 1812 M.
Untuk itulah diperlukan penelitian lebih mendalam lagi tentang keberadaan Benteng Tambak Bayo ini dan sebagai Data Primer, Buku dan Lukisan oleh Joan Van der Laen, Johan Nieuhof dan Major William Thorn ini sudah bisa dipakai sebagai Bukti Sejarah Primer karena mereka adalah Pelaku Sejarah pada masa atau kejadian tersebut.
5. Benteng Matapure/Martapuro
Benteng Matopure, nama benteng ini saat terjadi Perang Benteng Pertama atau Benteng Martopura disaat Perang Benteng Kedua sampai Kelima, terletak di arah timur dari Benteng Tambak Bayo yang sekarang posisinya berada di sekitar lapangan Golf milik PT Pertamina di daerah Bangus Kuning, Plaju Kota Palembang. Benteng ini menjadi Benteng Pertahanan untuk membantu Benteng Tambak Bayo dan menjadi tempat penambatan Rantai yang membentang menutup Sungai Musi ke seberangnya di Pulau Kemaro.
Keberadaan Benteng Matapure atau Martapura ini juga tercatat dibuku Johan Nieuhof dan Major William Thorn sebagaimana telah dijelas diatas. Keberadaan Benteng Martapura ini juga sering disebut di Naskah Hikayat Palembang. Dalam Naskah Hikayat Palembang ini menyebutkan saat perang Benteng Kelima, Benteng ini di pimpin oleh Sultan Ahmad Najamuddin dibantu oleh Pangeran Adipati dan Pangeran Bupati beserta orang orang Arab yang besar-besar.
6. Benteng Pulau Kembara dan Benteng Manguntama