Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik. Telah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang (Bagian Kedua)

4 Oktober 2024   08:00 Diperbarui: 4 Oktober 2024   08:11 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iluatrasi Perundingan Traktat London, 13 Agustus 1814 // Sumber : Sutanadil Institute

Sejak  kembalinya  Belanda  ke  Nusantara sebagai pelaksanaan dari perjanjian London atau Traktat London, tanggal 13 Agustus 1814 dimana Kerajaan Belanda menerima kembali kekuasaannya dari lnggeris, daerah-daerah yang pernah didudukinya di Nusantara. Dalam Traktat London poin 3 tersebut, juga disebutkan secara khusus bahwa Pulau Bangka (harusnya termasuk Belitung) yang dikuasai Kerajaan Inggris saat terjadi Perang Benteng Kedua sebelumnya, diserahkan kepada Kerajaan Belanda sebagai tukar guling dengan Pulau Cochin di Pantai Malabar, India. Sehingga Kerajaan Belanda merasa juga menguasai Kesultanan Palembang Darussalam. Padahal sejak dahulu pun Kerajaan Belanda belum pernah menjajah atau menguasai Palembang. Penandatangan serah terima ini secara formal dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan Klaas Heynes (Belanda) di Mentok (Pulau Bangka) pada tanggal 10 Desember 1816.

Iluatrasi Perundingan Traktat London, 13 Agustus 1814 // Sumber : Sutanadil Institute
Iluatrasi Perundingan Traktat London, 13 Agustus 1814 // Sumber : Sutanadil Institute

Dilain pihak, Kesultanan Palembang Darussalam saat itu masih dalam kondisi lemah karena konflik kekuasaan antara Sultan Ahmad Najamuddin II (SAN II) yang berkuasa sejak didudukkan oleh Inggris sebagai Sultan dan Sultan Mahmud Badaruddin Pangeran Ratu atau SMB II, walau tidak berkuasa lagi, tetapi masih bisa bebas membina Priyayi/Bangsawan dan Penguasa di Uluan yang masih setia kepadanya, maka kesempatan ini digunakan oleh Kerajaan Belanda untuk terus mengadu domba kedua sultan ini dan berusaha mendekati SMB II untuk bekerja sama. Singkat cerita, akhirnya SMB II bisa kembali berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam dan SAN II diasingkan ke Batavia dan selanjutnya ke Cianjur pada tanggal 30 Oktober 1818.

Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) // Sumber : Sutanadil Institute
Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) // Sumber : Sutanadil Institute
HW Muntinghe, Perwakilan Belanda di Palembang // Sumber : Sutanadil Institute
HW Muntinghe, Perwakilan Belanda di Palembang // Sumber : Sutanadil Institute
Namun hubungan SMB II dengan perwakilan Kerajaan Belanda yang bernama HW Muntinghe menjadi tidak baik karena ada kekacauan di wilayah Uluan dan Muntinghe menuduh SMB II sebagai biang keroknya dan meminta untuk mengirim Putra Mahkota Pangeran Ratu ke Batavia sebagai jaminan. Namun tuduhan ini tentu saja ditolak oleh SMB II sehingga timbullah Perang Benteng Kedua ini pada tanggal 12 Juni 1819.
Ilustrasi Perang Benteng Ketiga di  depan Keraton Kuto Besak // Sumber : Sutanadil Institute
Ilustrasi Perang Benteng Ketiga di  depan Keraton Kuto Besak // Sumber : Sutanadil Institute

Peperangan ini melibatkan Kapal Perang Belanda yang mengepung Keraton Kuto Besak (Tempat tinggal dan pusat Pemerintahan Sultan) sehingga terjadi Tembak menembak antara Kapal Perang Belanda dengan Meriam yang ada di Benteng Keraton Kuto Besak. (Cerita lengkap Perang Benteng Ketiga ini dapat dibaca di Buku Perang Benteng, perang Maritim terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang, Karya HG Sutan Adil).

Buku
Buku "Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang" hasil Penelitian dari HG Sutan Adil // Sumber : Sutanadil Institute

Sebagai catatan, dimasa Perang Benteng Ketiga inilah dikenal sebuah hasil karya sastra besar yang dihasilkan oleh sastrawan Kesultanan Palembang Darussalam saat itu, yaitu “Syair Perang Palembang” atau budayawan dan Sastrawan Palembang sekarang mengenalnya sebagai “Syair Perang Menteng” dan juga beberapa syair dan puisi karya SMB II yang jarang sekali terpubikasi. Syair ini menceritakan betapa dahsyatnya Perang Palembang atau Perang Benteng Ketiga saat itu.

Buku
Buku "Syair Perang Palembang" Karya Drs. Atja, pertamakali diterbitkan dalam bentuk Stensilan th 1967 // Sumber : Sutanadil Institute

Singkat cerita, peperangan ini dimenangkan oleh Kesultanan Palembang Darussalam dan Muntinghe kembali ke Batavia dengan membawa kekalahan di pihak Belanda yang memalukan.

    4. Perang Benteng  IV (Keempat)

Setibanya di Batavia tanggal 19 Juni 1819, ternyata Gubernur Jenderal Van Der Capellen sudah pergi dan dalam dalam perjalanan ke Cirebon, maka Muntinghe menyusulnya ke sana untuk melapor dan selanjutnya bersama sama ke Semarang untuk mendiskusikan kekalahan dalam Perang benteng Ketiga di Palembang. Sehubungan dengan laporan Muntinghe tentang kekalahannya melawan Palembang itu,  pada tanggal 30 Juli 1819, Gubemur Jenderal mengadakan rapat dihadiri Laksamana G.J. Wolterbeek dan Panglima Angkatan Darat Jenderal Baron de Kock. Dalam rapat itu dibicarakan cara bagaimana menyerang dan melumpuhkan pertahanan Palembang.

Sebagai pihak yang gagal dalam perang sebelumnya, kekalahan itu merupakan tamparan berat bagi supremasi Belanda di Nusantara, sehingga pemerintahan Kerajaan Belanda di Batavia memutuskan untuk menuntut balas. Untuk itu, penguasa Belanda mengirim ekspedisi di bawah komando Laksamana C. Wolterbeek. Armada yang dikerahkan terdiri dari kapal perang dan pengangkut, antara lain kapal Wilhelmina, Irene, Iris, Tromp, Arinus, Marinus, Admiraal Buyskes, de Emma, Waterbik, Blucher, Ajax, dan Henriette Betthy. Disertakan pula kapal meriam nomor 17 dan no. 18, ditambah 14 cunia.

Ilustrasi Perang Benteng Keempat // Sumber : Sutanadil Institute
Ilustrasi Perang Benteng Keempat // Sumber : Sutanadil Institute

Total serdadu yang dilibatkan sebanyak 1500-an orang yang dikumpulkan dari Batavia, Semarang, Surabaya, dan tambahan orang-orang Melayu dan Nusantara lainnya. Dalam Armada ini, ikut juga Pangeran Jayo Ningrat, Pangeran Jayo Kramo, Raden Badaruddin dan Pangeran Wikramo Gober, yaitu putera ke Ill, saudara-saudara dan patih dari Sultan Ahmad Najamuddin II, yang akan dipersiapkan menganntikan SMB II jika sudah dikalahkan.

Disisi lain, kabar bahwa Pihak Belanda yang kalah perang sebelumnya yang akan mengirimkan pasukan ekspedisi ke Palembang kembali, telah didengar oleh SMB ll, maka ia mempersiapkan pertahanan yang lebih tangguh lagi di beberapa tempat di Sungai Musi sebelum masuk ke Palembang. Sultan kemudian menjalankan dan memperkuat kembali Strategi Perbentengan di antara Pulau Kembaro serta beberapa pulau kecil lainnya serta wilayah perairan Plaju, yang menjadi pintu masuk ke Kota Palembang. Sultan juga memerintahkan untuk membuat pancang-pancang kayu (Cerucuk) yang berfungsi menahan majunya kapal-kapal Belanda dari depan.

Ilustrasi Perang Benteng Keempat di Sungai Musi // Sumber : Sutanadil Institute 
Ilustrasi Perang Benteng Keempat di Sungai Musi // Sumber : Sutanadil Institute 

Sedangkan dari belakang Armada Belanda itu nantinya akan diserang oleh rakit-rakit api. Jika taktik ini berhasil maka Armada tersebut akan terjebak di sekitar Pulau-pulau tersebut dan wilayah perairan Plaju sehingga benteng-benteng yang bermeriam itu, akan menggempur armada yang terkurung tersebut. Jalannya Peperangan dalam Perang Benteng Ketiga ini dapat dibaca selengkapnya di Buku Perang Benteng, Perang Maritim terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang, karya HG Sutan Adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun