Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama, Penemu dan Penambang Timah Pertama di Pulau Bangka Belitung
Oleh : HG Sutan Adil
Seri Bangka Belitung #02
Sebelum penulis melanjutnya cerita sejarah ini, pada tulisan pertama sebelumnya di seri Bangka Belitung #01, penulis diminta penjelasan mengenai sumber primer atau sekunder dari tulisan sebelumnya dengan judul "Bergabung dan Terpisahnya Pulau Bangka Belitung dari Kesultanan Palembang Darussalam” yang diterbitkan pada tanggal 13 September 2024 lalu.
Tidak banyak memang naskah kuno yang dapat dijadikan rujukan dalam menulis cerita sejarah di Bangka Belitung ini. Salah satunya yang banyak dipakai dan menjadi rujukan utama oleh sejarawan lokal maupun Asing dan kolonialis Belanda sebelumnya adalah naskah kuno yang berjudul “Tjarita Bangka”. Naskah ini adalah tulisan Haji Idris yang ditulis di Mentok pada 17 Ramadhan 1295 H/ 14 September 1878 M, format buku ukuran 25 x 18 cm, ditulis dengan huruf Arab Melayu (Jawi), diarsipkan di KITLV, Leiden-Belanda (dosir Or. 67). Secara kandungan, manuskrip ini terdiri dari 29 Fasal, 113 halaman, ditulis dalam huruf Jawi, berbahasa Melayu.
Sedangkan naskah kuno Palembang yang dipakai adalah “Naskah Hikayat Palembang” yang ditulis oleh Syech Abdullah Al Misri antara tahun 1813 M sampai dengan tahun 1816 M dan dilanjutkan oleh Ki Rangga Satyanandita menjadi sampai tahun 1825yang juga ditulis dalam huruf Arab Melayu, versi Cod.Or. 2276C dan dialih bahasakan oleh Sejarawan Palembang yg tergabung dalam Majelis Reboan dan selanjutnya diterbit oleh Rafah Press dengan judul “Hilkayat Palembang” tahun 2019.
Kedua nasakah kuno diatas sudah di analisa dan tulis oleh M. O. WOELDERS dalam bukunya “Het Sultanaat Palembang 1811 – 1825” yang diterbitkan oleh 'S-GRA VENHAGE - MARTINUS NIJHOFF pada tahun 1975. Disamping kedua naskah kuno diatas dan untuk memperkuat data dalam penulisan seri-seri selanjutnya, penulis juga akan menggunakan beberapa sumber sekunder dan tersier yang diambil dari tulisan sejarawan lokal Palembang dan Bangka Belitung, serta beberapa artikel yang ada di berbagai media dan internet untuk penguatan sumber dan verifikasi.
Dikisahkan dalam Naskah Tjarita Bangka, Raden Lembu nama asli Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama dan kakaknya Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin menuntut takhta yang diwasiatkan oleh orang tua mereka, Sultan Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714), yang diperuntukkan bagi mereka, kepada Sultan Agung Mahmud Komaruddin Sri Teruno (Raden Ujuk) yang berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam saat itu, tahun 1714-1724 M. Namun, tuntutan mereka ini ditolak oleh Sultan dan hal inilah yang menyebabkan kedua kakak beradik itu kemudian keluar dari Palembang dengan berlayar ke Bangka hingga ke Kerajaan Johor untuk mencari bantuan dalam mengambil alih Kesultanan Palembang Palembang.
Kedua kakak beradik Pangeran dari Palembang ini diterima secara baik oleh Sultan Johor, Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV, dan diizinkan untuk tinggal selama tiga bulan disana. Namun kondisi ini mendapat kecemburuan dan ketidaksukaan dari para pejabat, menteri, hulubalang di Kesultanan Johor. Raden Lembu dan kakaknya, atas seizing Sultan Johor akhirnya pindah ke Pulau Siantan (bagian dari Kepulauan Anambas – Kepulauan Riau, saat ini) yang merupakan bagian dari Kesultanan Johor saat itu dan dipimpin oleh Wan Akub.
Di Pulau Siantan tersebut Raden Lembu, atas persetujuan Sultan Johor, menikah dengan gadis bernama Zamnah, anak dari Wan Abdul Jabar dan tinggal beberapa waktu di pulau itu sambil mencari dukungan pasukan untuk menyerang Palembang. Atas pertolongan Wan Akub, dikumpulkan beberapa orang Melayu dan seorang pemimpin peranakan Bugis bernama Daeng Berani, bersama armada berjumlah 40 kapal (di luar armada pasukan Raden Lembu) berlayar dari Siantan untuk menyerang Palembang dengan terlebih dahulu singgah di Bangkakota, Pulau Bangka, untuk mempersiapkan armadanya.
Sementara perahu Wan Akub, Wan Serin, dan Wan Sabar berlabuh di Sungai Ulim Bangka dan tanpa sengaja menemukan kandungan timah yang sama dilihatnya di Negeri Johor. Ketika tiba di Bangkakota, temuan itu dilaporkan kepada Raden Lembu. Beliau sangat senang dan memerintahkan bawahannya untuk memeriksa secara diam-diam di daerah mana saja yang memiliki kandungan timah di Pulau Bangka Belitung ini. Setelah mempersiapkan diri sekitar 3 bulan di Bankakotta, Raden Lembu dan Rombongan bersiap untuk segera ke Palembang.
Dalam naskah Tjarita Bangka, tidak begitu jelas diceritakan bagaimana proses Raden Lembu bisa menguasai Kesultanan Palembang Darussalam yang mana akhirnya Raden Lembu berhasil menjadi Sultan dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama atau sejarawan sekarang sering menyebutkannya sebagai Sultan Mahmud Badaruddin I atau SMB I.
Namun dilain kitab dan dalam naskah Hikayat Palembang, justru SMB I ini menjadi sultan Kesultanan Palembang Darussalam dikarenakan adanya perebutan kekuasaan melawan kakaknya, Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin yang bergelar Sultan Muhammad Alimuddin atau Sultan Anom. Dalam Naskah ini, SMB I bisa memenagi perebutan kekuasaan dan menjadi Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam adalah atas bantuan dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), kumpeni atau perusahaan dagang global milik Republik Belanda, yang mempunyai kekuasaan seperti sebuah Negara yang independen di Negeri tempat mereka berdagang atau Jajahannya.
Jadi dapatlah disimpulkan disini dan diperkirakan bahwa VOC bersedia dan mau membantu SMB I dikarenakan adanya info banyaknya kandungan timah di Pulau Bangka dan oleh karenanya VOC akan diberikan hak monopoli untuk ekspor timah ini dari Kesultanan Palembang Darussalam. Hal ini bisa dilihat dari buku Hikayat Palembang, Rafah Press, halaman 13, sbb :
…dan Pangeran Jayawikrama jika sudah menjadi raja di dalam negeri, dan apa-apa /2/ peruntun[1]gan di dalam Negeri Palembang, melainkan jual pada Kumpeni seperti gading dan /3/ cula dan sahang semuanya tiada dijual tempat lain dan semua yang tersebut itu kalau orang /4/ negeri jual pada lain orang, rampas; dan lagi akan membuat parit timah di Tanah Bangka /5/, pada tiap-tiap tahun berapa yang dapat timah dijual kepada Kumpeni dan harga delapan ringgit dalam /6/ satu kati dan sekali-kali tiada boleh jual kepada orang lain…
Segera setelah mendapatkan kekuasaannya di Kesultanan Palembang Darussalam, pada 27 Jumadil Akhir 1136 atau tanggal 7 Juli 1724 M, SMB I mengumpulkan para Raja, Menteri, Hulubalang, dan mengangkat istrinya (Zamnah) sebagai Mas Ayu Ratu serta menetapkan pangkat (gelar) kepada segala sanak saudaranya dan keturunannya dengan gelar “Yang” untuk perempuan dan “Abang” untuk laki-laki di Pulau Bangka. Gelar ini sama dengan gelar Mas Ayu untuk Yang dan Mas Agus untuk Abang.
Hal ini dikarenakan SMB I pernah berjanji kepada bangsawan Siantan apabila membantu dan berhasil untuk merebut takhta Palembang, akan diberi hadiah sebagian Tanah Bangka. Sehingga, sesuai dengan janjinya, keluarga besar Zamnah ditempatkan di Pulau Bangka dengan dibuatkan 7 bumbungan rumah yang dekat dengan Palembang yaitu di Mentok, karena Letak Mentok ini sangat strategis yang berada di tengah-tengah persimpangan jalur pelayaran antara Palembang dan Pulau Siantan. Mengutip Barbara Watson Andaya, hal itu terjadi pada bulan September 1734 Masehi yang tercatat dalam laporan VOC dari loji Palembang ke Batavia dalam VOC 2325 tanggal 31 Oktober dan VOC 2345 tanggal 1 Desember. Tulisan dari Bambang Haryo Suseno, Tata Pemerintahan Masa Lampau di Pulau Bangka Berbasis Telaah Manuskrip Tjarita Bangka.
Selanjunya SMB I mulai menata Pulau Bangka Belitung dengan mengangkat mertuanya Wan Abdul Jabar, menjadi penghulu yang bertugas sebagai hakim agama berkedudukan di Mentok bergelar Datuk Temenggung Prabu Nata Menggala atau dikenal masyarakat Bangka dengan Datuk Dalam Hakim. Wan Akub yang memiliki pengetahuan tentang penggalian timah ditunjuk sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di Bangka serta kepala urusan penambangan timah yang memiliki kewenangan mengorganisasikan penggalian timah, bergelar Datuk Rangga Setia Agama.
Sejak itu Mentok mulai berkembang sebagai pusat pemerintahan atas Bangka. Peraturan timah tiban, yaitu aturan sejenis pajak berupa potongan Timah yang dibayarkan kepada sultan kesultanan Palembang Darussalam, mulai diberlakukan bagi orang Bangka namun tidak memberikan hasil yang diharapkan. Atas usulan Wan Akub, Wan Serin ditugaskan berangkat ke Johor mencari orang-orang Cina, Siam, Kamboja yang berada di Johor yang biasa menambang timah untuk didatangkan ke Bangka. SMB I juga memerintahkan seorang keturunan Cina, bernama Bong Hu But, untuk mencari tenaga kerja dari Cina untuk bekerja di Bangka. Dimasa ini, dimulailah masa di mana tambang timah di Bangka mulau dibuka dengan masif dan efeknya Mentok mulai berkembang dengan pesat dan mulai menjadi Kota.
Khusus di Pulau Bangka Belitung, SMB I menerapkan aturan bagi seluruh Tanah Bangka. Aturan itu sebetulnya merupakan penyempurnaan adat istiadat rakyat Bangka yang sebelumnya sudah ada. Penyempurnaan ini dipandang perlu untuk memperbaiki, menambah maupun mengurangi aturan-aturan yang dianggap sudah tidak sesuai dan menjadi lebih baik. Aturan ini dikenal dengan nama Sindang Mardika, yang mirip dengan wilayah Sindang lainnya di Sumatera Bagian Selatan Daratan.
Dengan aturan baru ini maka sistem pemerintahan dan sistem hukum menjadi baik dan penyebaran Agama Islam yang juga semakin luas. Tambang-tambang timah juga berkembang dengan pesat dan semakin meluas ke wilayah lainnya di Bangka Belitung. Orang Melayu, Cina, dan Siam dibayar untuk mengerjakan parit timah hingga wilayah Tempilang. Mentok sebagai ibukota pemerintahan berkembang paling pesat, berbarengan dengan kemunculan Pangkal, yaitu tempat atau lokasi pengumpulan dan pengiriman Timah ke Batavia dan Palembang. Selanjutnya, Pulau Bangka Belitung menjadi ramai dan mulai dikenal keseluruh nusantara sebagai negeri penghasil Timah.
Atas penemuan dan Penambangan Timah secara massif diatas, maka Pulau Bangka Belitung ini menjadi sangat penting dan strategis bagi SMB I dan Kesultanan Palembang Darussalam. Ditambah dengan hasil sumber alam lainnya yang ada dalam wilayahnya di Sumatera Bagian Selatan secara umum, maka SMB I mempunyai penghasilan yang melimpah dan juga dikenal sebagai tokoh pembangunan yang modernis baik dalam bidang fisik, juga bidang ekonomi dan sosial.
Pembangunan yang dilakukannya mempunyai visi modern, religius, dan monumental, seperti ; Komplek Pemakaman Gubah Talang Kerangga (1728), Komplek Pemakaman Gubah Kawah Tengkurep (1728), Keraton Kuto Tengkuruk (1737) dan Masjid Agung Palembang tahun 1748 M. SMB I wafat pada Sabtu Malam, 3 Muharam 1171 H atau 17 September 1757 M dalam usia 68 Tahun. Beliau dimakamkan di Komplek Pemakaman Gubah Kawah Tengkurep di daerah Lemabang dan oleh karena itulah beliau dikenal juga sebagai Sunan Lemabang.
Dimasa Sultan-sultan selanjutnya, Pulau Bangka Belitung terus di kelola sebagai pusat pertambangan timah dan menjadi komoditi ekspor penting ke Batavia bersama dengan komoditi lainnya, sesuai dengan perjanjian perdagangan yang telah dibuat bersama dengan VOC. Juga untuk menjaga hubungan baik antara Ibukota Palembang dan Pulau Bangka Belitung ini, hampir semua Sultan selanjutnya meminang putri bangsawan Bangka Belitung sebagai salah satu Istrinya.
Sumber : Tjarita Bangka, Hikayat Palembang dan jurnal dari Bambang Haryo Suseno “Tata Pemerintahan Masa Lampau di Pulau Bangka Berbasis Telaah Manuskrip Tjarita Bangka” Kapita Selekta Penulisan Sejarah Lokal Tahun 2022
*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 20 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H