Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik. Telah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bergabung dan Terpisahnya Pulau Bangka Belitung dari Kesultanan Palembang Darussalam

13 September 2024   08:21 Diperbarui: 13 September 2024   08:24 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rafles, Perwakilan EIC Inggris di Pulau Penang, Malaka // Sumber : Sutanadil Institute

BERSATU DAN TERPISAHNYA PULAU BANGKA BELITUNG DARI KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM

Oleh : HG Sutan Adil

Seri Bangka Belitung #01

Pulau Bangka dan Pulau Belitung atau sekarang sudah menjadi Provinsi Bangka Belitung merupakan wilayah penghasil timah sejak dahulu. Bangka sendiri berdasarkan catatan sejarah, sebelum abad pertama banyak pelaut dari Asia selatan yang telah berdatangan ke Pulau Wangka atau Pulau Bangka. Wangka sendiri dalam bahasa Sansekerta berarti timah dan nama Wangka juga disebut dalam sebuah karya sastra  di Asia Selatan tersebut yang ditulis pada abad ke-3 Masehi yaitu Mahaniddesa merupakan bagian pertama dari kitab Niddesa of the Khuddaka Nikaya.

Lokasi Pulau Bangka Belitung yg terletak di sebelah timur Pulau Sumatera dan berada diujung seberang dari muara Sungai Musi, menjadi sangat strategis juga bagi Palembang. Sungai Musi merupakan muara atau hilir dari sungai-sungai Batanghari Sembilan bagian hulunya, sehingga selat Antara Pulau Bangka dan Pulau Sumatera ini  menjadi jalur perdagangan yang ramai dan juga menjadi jalur utama dari Selat Malaka yang menuju Pulau Jawa dan daerah timur kepulauan Nusantara lainnya.

Pada awal berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam, Pulau Bangka Belitung ini juga termasuk dalam wilayah kekuasaannya karena saat itu pendiri Kesultanan Palembang Darussalam, Kyai Mas Hindi atau Pangeran Kesumo Abdurohim gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam, menikahi puteri Bupati Bangka saat itu, yaitu Bupati Nusantara, seorang Juwaraja (Adipati) Kesultanan Banten yang diserahi tugas memimpin Bangka Belitung dan berkedudukan di Bangkakota pada Tahun 1666 Masehi. Putri Bupati Nusantara itu bernama Khadijah. ( Frawita Sari; “Sistem kekerabatan Sosial Masyarakat dalam penggunaan gelar kebangsawanan Yang dan Abang di Kota Muntok Kepulauan Bangka (1734-1816)”, 2015).

Khyai Mas Hindi, Sultan Pertama Kesultanan Palembang yg menikahi Khatidjah, anak Bupati Nusantara, Penguasa Bangka // Sumber : Sutanadil Institute
Khyai Mas Hindi, Sultan Pertama Kesultanan Palembang yg menikahi Khatidjah, anak Bupati Nusantara, Penguasa Bangka // Sumber : Sutanadil Institute

Pernikahan diatas dikenal juga sebagai sebuah Pernikahan Politik, yaitu pernikahan untuk menjalin kerjasama dan melebur kedalam kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. penggabungan ini juga  untuk meneruskan keberlangsungan kekuasaan Bupati Nusantara di Bangka Belitung, karena kekuatan Kesultanan Palembang Darussalam saat itu sudah dianggap kuat dan dengan dibuktikan berhasil mengusir VOC dari Palembang pada saat terjadi Perang Benteng Pertama pada tahun 1659 M. Dilain pihak  Kesultanan Banten sebagai penguasa Pulau Bangka Belitung saat itu sudah tidak bisa menjangkau dan menjaga Pulau Bangka Belitung lagi.

Dengan bergabungnya Pulau Bangka Belitung ini sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam, maka wilayah Bangka Belitung ini disebut dengan sebutan daerah Sindang, yaitu wilayah pinggiran dan perbatasan dari Kesultanan Palembabang Darussalam yang bebas dan independen dalam mengelola kekuasaannya.

Peta Provinsi Bangka Belitung // Sunber : Sutanadil Institute
Peta Provinsi Bangka Belitung // Sunber : Sutanadil Institute

Pulau Bangka dan Belitung termasuk dalam kelompok struktur pemerintahan daerah pedalaman/uluan, berbeda dengan daerah Sikap dan Kepungutan sebagaimana yang ada dibawah pemerintah langsung Sultan. Sebagai daerah Sindang, yaitu daerah perbatasan dengan daerah tersebut, Bangka Belitung dipimpin oleh seorang Depati (Raja Kecil) yang bebas, tidak dibebani pajak dan tidak pula membayar upeti, tetapi wajib melindungi perbatasan kesultanan dari serbuan orang luar. Dan sebagai Depati pertamanya yaitu mertua sultan sendiri, yaitu Bupati Nusantara.

Kepemilikan Pulau Bangka oleh Kesultanan Palembang Darussalam menjadi sangat penting dan strategis setelah adanya penemuan timah yang berlimpah dan dilakukannya penambangan kandungan timah yang masif dimasa awal pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama atau SMB Jayawikrama atau SMB I yang berkuasa tahun 1724 M sampai tahun 1756 M. 

Dengan penemuan dan penambangan timah secara besar ini, serta hasil sumber daya alam lainnya yang ada di Pulau Sumatera bagian selatan, maka Kesultanan Palembang Darussalam menjadi makin makmur, yang mana hal ini dapat dibuktikan dengan mereka bisa mendirikan sebuah keraton baru yang megah yang dinamakan Keraton Tengkuruk dan Masjid Agung di ibukota Palembang yang keberadaannya masih ada dan terus dipergunakan sampai saat ini.

SMB Jayawikrama, Sultan Palembang Darussalam yang pertama kali membuka pertambangan Timah besar di Bangka // Sumber : Sutanadil Institute
SMB Jayawikrama, Sultan Palembang Darussalam yang pertama kali membuka pertambangan Timah besar di Bangka // Sumber : Sutanadil Institute

Khusus di Pulau Bangka Belitung, SMB Jayawikrama menerapkan aturan bagi seluruh Tanah Bangka. Aturan itu sebetulnya merupakan penyempurnaan adat istiadat rakyat Bangka yang sebelumnya sudah ada. Penyempurnaan ini dipandang perlu untuk memperbaiki, menambah maupun mengurangi aturan-aturan yang dianggap sudah tidak sesuai dan menjadi lebih baik. Aturan ini dikenal dengan nama Sindang Mardika.

Dengan aturan baru ini maka sistem pemertahan dan sistem hukum menjadi baik dan penyebaran Agama Islam yang semakin luas. Tambang-tambang timah juga berkembang dengan pesat dan semakin meluas ke wilayah lainnya di Bangka Belitung. Orang Melayu, Cina, dan Siam dibayar untuk mengerjakan parit timah hingga wilayah Tempilang. Mentok sebagai ibukota pemerintahan berkembang paling pesat, berbarengan dengan kemunculan Pangkal, yaitu tempat atau lokasi pengumpulan dan pengiriman Timah ke Batavia dan Palembang. Selanjutnya, Pulau Bangka Belitung menjadi ramai dan mulai dikenal keseluruh nusantara sebagai negeri penghasil Timah.

Kuli Penambangan Timah di Bangka keturunan Cina di Cucian Bijih Timah Hancur tahun 1890 M // Sumber : Sutanadil Institute
Kuli Penambangan Timah di Bangka keturunan Cina di Cucian Bijih Timah Hancur tahun 1890 M // Sumber : Sutanadil Institute

Kepentingan Palembang atas Bangka Belitung yang besar (komoditi timahnya) membuat Sultan terus melakukan perbaikan atas kondisi Bangka. Di setiap pangkal diperkuat dengan benteng tanah atau benteng kayu, di daerah Klabat dan tempat strategis lainnya dibuatkan gedung (gudang) baru. SMB Jayawikrama juga mendatangkan lagi orang dari Johor, Lingga, Riau dan Cina ke Pulau Bangka untuk mengerjakan parit yang terbengkalai serta membuka parit baru.

Dimasa Sultan-sultan selanjutnya, Pulau Bangka Belitung terus di kelola sebagai pusat pertambangan timah dan menjadi komoditi ekspor penting ke Batavia (VOC), disamping sumber alam lainnya seperti, Lada atau Sahang. Untuk menjaga hubungan baik ini, hampir semua sultan selanjutnya meminang putri bangsawan Bangka Belitung sebagai salah satu Istrinya. Hubungan antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) milik Republik Belanda juga menjadi saling menguntungkan dan saling menghormati sesuai perjanjian dagang yang telah disepakati.

Rafles, Perwakilan EIC Inggris di Pulau Penang, Malaka // Sumber : Sutanadil Institute
Rafles, Perwakilan EIC Inggris di Pulau Penang, Malaka // Sumber : Sutanadil Institute

Namun dengan populenya Pulau Bangka Belitung sebagai pusat pertambangan timah dan termasuk penghasil timah terbesar di dunia saat itu, telah menarik banyak Negara Eropa lainnya, tidak terkecuali EIC (East India Company) sebuah perusahaan dagang milik Kerajaan Inggris. Tidak hanya tertarik dengan komoditi timah sebagai komoditi perdagangan saja, sejak  Sir Thomas Stamford Bingley Raffles atau Rafles ditugaskan di Pulau Penang, Malaka saat itu, dan menguasai Batavia di Tahun 1811 M, diperkirakan Rafles  sudah berniat untuk menguasai Pulau Bangka Belitung. Hal ini diperkirakan adalah karena adanya kandungan timah yang sangat besar itu.

Hal ini terlihat dari upaya nya mendekati Sultan Mahmud Badaruddin Raden Hasan Pangeran Ratu atau Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) yang ditahun 1803 M sudah mulai berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam. Upaya yang dilakukan Rafles adalah membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dan Lojinya dari Palembang dan memberikan Persenjataan yang dibutuhkan untuk itu.

SMB Pangeran Ratu Raden Hassan (SMB II) yang menolak Permintaan Rafles // Sumber : Sutanadil Institute
SMB Pangeran Ratu Raden Hassan (SMB II) yang menolak Permintaan Rafles // Sumber : Sutanadil Institute

Namun permintaan Rafles ini sempat ditolak oleh SMB II dan pengusiran ini dilakukan setelah Rafles sudah menyerang Batavia dan sebelum dilakukan Rekapitulasi Tuntang, yaitu perjanjian yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris pada 18 September 1811 yang berisi penyerahan kekuasaan Perancis atas Pulau Jawa dan lainnya kepada Inggris. Penolakan oleh SMB II ini dikarenakan Kesultanan Palembang Darussalam adalah sebuah kerajaan yang merdeka dan tidak bisa didikte oleh Kerajaan lain.

Sejak Rafless dan pasukannya berhasil mengusir Perancis dari Batavia, maka upaya Rafles untuk menguasai Pulau Bangka Belitung dilakukannya dengan mengirim ekspedisi pasukannya ke Palembang tanggal 20 Maret 1812, dengan alasan untuk membebaskan sisa loji (Gudang) Belanda yang ada di Palembang dan menganggap SMB II telah melanggar kesepatan “waktu” untuk membersihkan Loji Belanda tersebut. Pertempuran ini dikenal dengan Perang Benteng Kedua. (HG Sutan Adil, Buku Perang Benteng, Perang maritime Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang)

Buku karya penelitan dari  HG Sutan Adil tentang adanya perang maritim terbesar abad 17 dan 19 di Palembang // Sumber : Sutanadil Institute
Buku karya penelitan dari  HG Sutan Adil tentang adanya perang maritim terbesar abad 17 dan 19 di Palembang // Sumber : Sutanadil Institute

Namun sepertinya, pengiriman pasukan ini hanyalah siasat Rafles saja untuk mengambil alih Pulau Bangka Belitung dengan menunjukkan kekuatannya, karena disaat Perang Benteng Kedua tersebut, “diperkirakan” justru Rafles melalui komandan perangnya saat itu, Kolonel Robert Rollo Gillespie, diperintahkan untuk  “Melakukan Tugas Rahasia” mendekati adik SMB II yaitu Pangeran Adimenggala yang menjadi Komandan Perang Sultan saat itu di Benteng Borang yang terletak di Pulau Borang. Gillespie selanjutnya melakukan penawaran dan kesepakatan agar Pangeran Adimenggala menyerah saja dan nanti setelah Inggris masuk ke Palembang, maka SMB II akan diturunkan dari tahta Kesultanan Palembang Darussalam serta selanjutnya Pangeran Adimenggala lah yang akan menggantikannya sebagai Sultan.

Sultan Ahmad Najamuddin II (Pangeran Adimenggala), yang ditunjuk EIC Inggris untuk menggantikan SMB II // Sumber : Sutanadil Institute 
Sultan Ahmad Najamuddin II (Pangeran Adimenggala), yang ditunjuk EIC Inggris untuk menggantikan SMB II // Sumber : Sutanadil Institute 

Atas kesepakatan ini lah maka selanjutnya Perang Benteng Kedua ini dihentikan, dan sesuai kesepakatan maka Inggris berhasil menurunkan SMB II dari kekuasaan di Kesultanan Palembang Darussalam dan Selanjutnya Mengangkat Pangeran Adimenggala menjadi Sultan Kesultanan Palembang yang baru dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Raden Husin Diahuddin atau Sultan Ahmad Najamuddin II (SAN II).

Periodisasi lima kali Perang Benteng di Palembang hasil penelitian HG Sutan Adil // Sumber : Sutanadil Institute
Periodisasi lima kali Perang Benteng di Palembang hasil penelitian HG Sutan Adil // Sumber : Sutanadil Institute

Tentu saja, sebagaimana keinginan Rafles sejak semula dan alasan utamanya menyerang Palembang adalah untuk mengambil alih Pulau Bangka Belitung, maka SAN II menyepakati penyerahan sebagian Pulau Bangka Belitung kepada Inggris disaat itu dan penyerahaan sebagian lagi diserahkan setahun kemudian melalui proses jual beli dengan pembayaran sebesar emas lima peti, serta tidak turut campur dalam urusan pemerintahan di Kesultanan Palembang Darussalam. Cerita ini tercatat dalam Buku Alih Bahasa “Hikayat Palembang”, Oleh M Adil dkk, terbitan Rafah Press, 2019 halaman 89 yang berbunyi ;

Buku Hikayat Palembang, alih bahasa dari naskah Hikayat Mareskalek // Sumber : Sutanadil Institute
Buku Hikayat Palembang, alih bahasa dari naskah Hikayat Mareskalek // Sumber : Sutanadil Institute

….. Sebermula Sultan yang muda Ahmad Najamuddin itulah yang di atas tahta kerajaan, /7/ merintah negeri Palembang seperti dahulu kala juga. Akan tetapi tanah Bangka tinggal lagi setengah /8/ padanya Sultan Palembang, dan setengahnya sudah diambil oleh Inggeris. Dan setahun lamanya /9/ maka datang surat dari Betawi kepada Sultan Palembang: dari itu tanah Bangka setengah yang /10/ tinggal kepada Sultan Palembang kalau mau jual boleh Inggeris beli. Maka dijual oleh /11/ Sultan Palembang kepada Inggeris tanah Bangka setengahnya itu, diterima emas lima peti. /12/ Entah beberapa harganya itu maka selesailah antra Palembang dengan Inggeris, bagaimana keadaan dengan /13/ Holanda dahulu Inggeris duduk di Palembang, tidak masuk merintah. Suatu apa-apa, semuanya perkaranya /14/……

Atas keberhasilan target utama Rafles dalam Perang Benteng Kedua ini, yaitu memiliki Pulau Bangka Belitung, maka dalam perjalanan pulangnya ke Batavia, Gillespie diperintahkan kembali untuk mampir ke Pulau Bangka Belitung lewat Mentok dan selanjutnya kedua pulau itu diresmikan menjadi milik dan penjajahan Kerajaan lnggris serta mengganti namanya dengan nama baru yaitu "Duke of York Islands" pada tanggal 20 Mei 1812.

Ilustrasi Perundingan Inggris dan Belanda yg menghasilkan Traktak London tahun 1814 M // Sumber : Sutanadil Institute
Ilustrasi Perundingan Inggris dan Belanda yg menghasilkan Traktak London tahun 1814 M // Sumber : Sutanadil Institute

Namun Kebahagiaan Rafles atas keberhasilan cita2nya yang telah berhasil mendapatkan Pulau Bangka Belitung ini tidak berlangsung lama, sesuai Perjanjian London atau Traktat London yang ditandatangani tanggal 13 Agustus 1814 Masehi di Kota London (Inggris), maka Pulau Bangka Belitung ini wajib diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda dan ditukar dengan Kota Pelabuhan Cochin, Suatu daerah yang terletak di Kerala, India sekarang.

Bentuk kekecewan, kemarahan dan protes Rafles tentang pelepasan Pulau Bangka Belitung dari EIC ini dapat dilihat dari surat yang ditulisnya pada tanggal 3 Juli 1818 M, kepada Dewan Rahasia (Secret Committee) East India Company berbunyi:

It is much to be regretted that the island of Banca was ever ceded to the Dutch.Could this important station be regained, in payment for the heavy sums due by the Dutch Government on the close of the Java accounts, its advantages to the British Government would abundantly repay the amount foregone. Possessing Banca in indisputed sovereigny, it would be the seat of our eastern Government....”(British Library, India Office and Records).

Artinya :

Sangat disesalkan bahwa Pulau Banca pernah diserahkan kepada Belanda. Jika stasiun penting ini dapat diambil kembali, sebagai pembayaran atas sejumlah besar uang yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Belanda pada penutupan rekening Jawa, keuntungannya bagi Pemerintah Inggris akan membayar kembali jumlah yang hilang. Dengan memiliki Banca dalam kedaulatan yang tak terbantahkan, kota ini akan menjadi pusat Pemerintahan timur kita...."(Perpustakaan Inggris, Kantor dan Arsip India).

Demikianlah rangkuman ringkas tulisan tentang bergabungnya dan terpisahnya Pulau Bangka Belitung dari Kesultanan Palembang Darussalam. Ditulisan berikutnya yang nanti akan tegabung dalam kelompok artikel  “Seri Bangka Belitung”, Penulis akan banyak juga membahas tentang sejarah Bangka Belitung lainnya.

Sumber : Hikayat Palembang, HG Sutan Adil, Tjarita Bangka dan sumber lainnya yang dapat dipercaya.

*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sultanadil Institute.

Bogor, 13 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun