Dengan penemuan dan penambangan timah secara besar ini, serta hasil sumber daya alam lainnya yang ada di Pulau Sumatera bagian selatan, maka Kesultanan Palembang Darussalam menjadi makin makmur, yang mana hal ini dapat dibuktikan dengan mereka bisa mendirikan sebuah keraton baru yang megah yang dinamakan Keraton Tengkuruk dan Masjid Agung di ibukota Palembang yang keberadaannya masih ada dan terus dipergunakan sampai saat ini.
Khusus di Pulau Bangka Belitung, SMB Jayawikrama menerapkan aturan bagi seluruh Tanah Bangka. Aturan itu sebetulnya merupakan penyempurnaan adat istiadat rakyat Bangka yang sebelumnya sudah ada. Penyempurnaan ini dipandang perlu untuk memperbaiki, menambah maupun mengurangi aturan-aturan yang dianggap sudah tidak sesuai dan menjadi lebih baik. Aturan ini dikenal dengan nama Sindang Mardika.
Dengan aturan baru ini maka sistem pemertahan dan sistem hukum menjadi baik dan penyebaran Agama Islam yang semakin luas. Tambang-tambang timah juga berkembang dengan pesat dan semakin meluas ke wilayah lainnya di Bangka Belitung. Orang Melayu, Cina, dan Siam dibayar untuk mengerjakan parit timah hingga wilayah Tempilang. Mentok sebagai ibukota pemerintahan berkembang paling pesat, berbarengan dengan kemunculan Pangkal, yaitu tempat atau lokasi pengumpulan dan pengiriman Timah ke Batavia dan Palembang. Selanjutnya, Pulau Bangka Belitung menjadi ramai dan mulai dikenal keseluruh nusantara sebagai negeri penghasil Timah.
Kepentingan Palembang atas Bangka Belitung yang besar (komoditi timahnya) membuat Sultan terus melakukan perbaikan atas kondisi Bangka. Di setiap pangkal diperkuat dengan benteng tanah atau benteng kayu, di daerah Klabat dan tempat strategis lainnya dibuatkan gedung (gudang) baru. SMB Jayawikrama juga mendatangkan lagi orang dari Johor, Lingga, Riau dan Cina ke Pulau Bangka untuk mengerjakan parit yang terbengkalai serta membuka parit baru.
Dimasa Sultan-sultan selanjutnya, Pulau Bangka Belitung terus di kelola sebagai pusat pertambangan timah dan menjadi komoditi ekspor penting ke Batavia (VOC), disamping sumber alam lainnya seperti, Lada atau Sahang. Untuk menjaga hubungan baik ini, hampir semua sultan selanjutnya meminang putri bangsawan Bangka Belitung sebagai salah satu Istrinya. Hubungan antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) milik Republik Belanda juga menjadi saling menguntungkan dan saling menghormati sesuai perjanjian dagang yang telah disepakati.
Namun dengan populenya Pulau Bangka Belitung sebagai pusat pertambangan timah dan termasuk penghasil timah terbesar di dunia saat itu, telah menarik banyak Negara Eropa lainnya, tidak terkecuali EIC (East India Company) sebuah perusahaan dagang milik Kerajaan Inggris. Tidak hanya tertarik dengan komoditi timah sebagai komoditi perdagangan saja, sejak Sir Thomas Stamford Bingley Raffles atau Rafles ditugaskan di Pulau Penang, Malaka saat itu, dan menguasai Batavia di Tahun 1811 M, diperkirakan Rafles sudah berniat untuk menguasai Pulau Bangka Belitung. Hal ini diperkirakan adalah karena adanya kandungan timah yang sangat besar itu.
Hal ini terlihat dari upaya nya mendekati Sultan Mahmud Badaruddin Raden Hasan Pangeran Ratu atau Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) yang ditahun 1803 M sudah mulai berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam. Upaya yang dilakukan Rafles adalah membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dan Lojinya dari Palembang dan memberikan Persenjataan yang dibutuhkan untuk itu.
Namun permintaan Rafles ini sempat ditolak oleh SMB II dan pengusiran ini dilakukan setelah Rafles sudah menyerang Batavia dan sebelum dilakukan Rekapitulasi Tuntang, yaitu perjanjian yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris pada 18 September 1811 yang berisi penyerahan kekuasaan Perancis atas Pulau Jawa dan lainnya kepada Inggris. Penolakan oleh SMB II ini dikarenakan Kesultanan Palembang Darussalam adalah sebuah kerajaan yang merdeka dan tidak bisa didikte oleh Kerajaan lain.
Sejak Rafless dan pasukannya berhasil mengusir Perancis dari Batavia, maka upaya Rafles untuk menguasai Pulau Bangka Belitung dilakukannya dengan mengirim ekspedisi pasukannya ke Palembang tanggal 20 Maret 1812, dengan alasan untuk membebaskan sisa loji (Gudang) Belanda yang ada di Palembang dan menganggap SMB II telah melanggar kesepatan “waktu” untuk membersihkan Loji Belanda tersebut. Pertempuran ini dikenal dengan Perang Benteng Kedua. (HG Sutan Adil, Buku Perang Benteng, Perang maritime Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang)
Namun sepertinya, pengiriman pasukan ini hanyalah siasat Rafles saja untuk mengambil alih Pulau Bangka Belitung dengan menunjukkan kekuatannya, karena disaat Perang Benteng Kedua tersebut, “diperkirakan” justru Rafles melalui komandan perangnya saat itu, Kolonel Robert Rollo Gillespie, diperintahkan untuk “Melakukan Tugas Rahasia” mendekati adik SMB II yaitu Pangeran Adimenggala yang menjadi Komandan Perang Sultan saat itu di Benteng Borang yang terletak di Pulau Borang. Gillespie selanjutnya melakukan penawaran dan kesepakatan agar Pangeran Adimenggala menyerah saja dan nanti setelah Inggris masuk ke Palembang, maka SMB II akan diturunkan dari tahta Kesultanan Palembang Darussalam serta selanjutnya Pangeran Adimenggala lah yang akan menggantikannya sebagai Sultan.
Atas kesepakatan ini lah maka selanjutnya Perang Benteng Kedua ini dihentikan, dan sesuai kesepakatan maka Inggris berhasil menurunkan SMB II dari kekuasaan di Kesultanan Palembang Darussalam dan Selanjutnya Mengangkat Pangeran Adimenggala menjadi Sultan Kesultanan Palembang yang baru dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Raden Husin Diahuddin atau Sultan Ahmad Najamuddin II (SAN II).