BERSATU DAN TERPISAHNYA PULAU BANGKA BELITUNG DARI KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM
Oleh : HG Sutan Adil
Seri Bangka Belitung #01
Pulau Bangka dan Pulau Belitung atau sekarang sudah menjadi Provinsi Bangka Belitung merupakan wilayah penghasil timah sejak dahulu. Bangka sendiri berdasarkan catatan sejarah, sebelum abad pertama banyak pelaut dari Asia selatan yang telah berdatangan ke Pulau Wangka atau Pulau Bangka. Wangka sendiri dalam bahasa Sansekerta berarti timah dan nama Wangka juga disebut dalam sebuah karya sastra di Asia Selatan tersebut yang ditulis pada abad ke-3 Masehi yaitu Mahaniddesa merupakan bagian pertama dari kitab Niddesa of the Khuddaka Nikaya.
Lokasi Pulau Bangka Belitung yg terletak di sebelah timur Pulau Sumatera dan berada diujung seberang dari muara Sungai Musi, menjadi sangat strategis juga bagi Palembang. Sungai Musi merupakan muara atau hilir dari sungai-sungai Batanghari Sembilan bagian hulunya, sehingga selat Antara Pulau Bangka dan Pulau Sumatera ini menjadi jalur perdagangan yang ramai dan juga menjadi jalur utama dari Selat Malaka yang menuju Pulau Jawa dan daerah timur kepulauan Nusantara lainnya.
Pada awal berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam, Pulau Bangka Belitung ini juga termasuk dalam wilayah kekuasaannya karena saat itu pendiri Kesultanan Palembang Darussalam, Kyai Mas Hindi atau Pangeran Kesumo Abdurohim gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam, menikahi puteri Bupati Bangka saat itu, yaitu Bupati Nusantara, seorang Juwaraja (Adipati) Kesultanan Banten yang diserahi tugas memimpin Bangka Belitung dan berkedudukan di Bangkakota pada Tahun 1666 Masehi. Putri Bupati Nusantara itu bernama Khadijah. ( Frawita Sari; “Sistem kekerabatan Sosial Masyarakat dalam penggunaan gelar kebangsawanan Yang dan Abang di Kota Muntok Kepulauan Bangka (1734-1816)”, 2015).
Pernikahan diatas dikenal juga sebagai sebuah Pernikahan Politik, yaitu pernikahan untuk menjalin kerjasama dan melebur kedalam kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. penggabungan ini juga untuk meneruskan keberlangsungan kekuasaan Bupati Nusantara di Bangka Belitung, karena kekuatan Kesultanan Palembang Darussalam saat itu sudah dianggap kuat dan dengan dibuktikan berhasil mengusir VOC dari Palembang pada saat terjadi Perang Benteng Pertama pada tahun 1659 M. Dilain pihak Kesultanan Banten sebagai penguasa Pulau Bangka Belitung saat itu sudah tidak bisa menjangkau dan menjaga Pulau Bangka Belitung lagi.
Dengan bergabungnya Pulau Bangka Belitung ini sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam, maka wilayah Bangka Belitung ini disebut dengan sebutan daerah Sindang, yaitu wilayah pinggiran dan perbatasan dari Kesultanan Palembabang Darussalam yang bebas dan independen dalam mengelola kekuasaannya.
Pulau Bangka dan Belitung termasuk dalam kelompok struktur pemerintahan daerah pedalaman/uluan, berbeda dengan daerah Sikap dan Kepungutan sebagaimana yang ada dibawah pemerintah langsung Sultan. Sebagai daerah Sindang, yaitu daerah perbatasan dengan daerah tersebut, Bangka Belitung dipimpin oleh seorang Depati (Raja Kecil) yang bebas, tidak dibebani pajak dan tidak pula membayar upeti, tetapi wajib melindungi perbatasan kesultanan dari serbuan orang luar. Dan sebagai Depati pertamanya yaitu mertua sultan sendiri, yaitu Bupati Nusantara.
Kepemilikan Pulau Bangka oleh Kesultanan Palembang Darussalam menjadi sangat penting dan strategis setelah adanya penemuan timah yang berlimpah dan dilakukannya penambangan kandungan timah yang masif dimasa awal pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama atau SMB Jayawikrama atau SMB I yang berkuasa tahun 1724 M sampai tahun 1756 M.