Pernyataan “Dihapus” ini masif sekali terdengar dan malah tidak sedikit diambil sebagai rujukan sejarawan dan akademisi sampai sekarang untuk menulis tentang sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Disisi lain, belum ada ditemukan sumber tertulis atau sumber sejarah primer yang menyatakan dengan jelas adanya kata “Dihapuskan” kesultanan Palembang ini.
Berdasarkan Sumber Naskah Kuno Palembang “Hikayat Mareskalek” atau “Hikayat Palembang” setelah dialih bahasakan oleh Tim Lembaga Kajian Melayu “Majelis Reboan” tahun 2019, tidak ada ditemukan surat atau perjanjian tertulis tentang penghapusan Kesultanan Palembang Darussalam ini. Yang ada disebutkan adalah adanya perubahan sistem pemerintahan di Kesultanan, dimana Sultan masih ada sebagai simbol dan para sultan dan jajarannya hanya diberikan Gajih (Honorarium dari Belanda). Juga yang ada adalah pengelolaan dan pembagian wilayah kekuasaan antara Sultan Palembang Darussalam dan Belanda.
Begitupun sejak tahun 1825 M, dikala Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom ditangkap karena memberontak dan diasingkan ke Batavia dan selanjutnya ke Manado, catatan tertulis mengenai telah “dihapuskannya” Kesultanan Palembang Darussalam tidak ada dan tidak ditemukan secara tertulis. Malah simbol Kesultanan dan Bangsawannya yang mau berkerjasama dengan kolonialis terus dipakai untuk menaklukkan daerah Uluan yg masih belum bisa ditaklukkan. Sehingga dikotomi kata “Dihapukan” ini menjadi rancu dan dilain pihak hanyalah “Tafsiran” dari para Sejarawan yang disimpulkan dari catatan dan dokumen yang ada.
Jika dilihat dari Buku “Kesultanan Palembang Dalam Pusaran Konflik (1804-1825)” karya Dr. Farida Ratu Wargadalem, yang merupakan buku dari hasil disertasi beliau dan banyak mengambil sumber catatan Kolonial yang tersimpan di Arsip Nasional Republil Indonesia (ANRI), juga tidak ditemukan catatan dan data primer mengenai kata Penghapusan Kesultanan Palembang Darussalam, selain dari tafsiran beliau tentang kata Penghapusan ini.
Namun sayangnya, dikotomi tentang “Penghapusan Kesultanan Palembang” sejak dahulu, yaitu sejak Kolonialis Belanda mengambil alih Kesultanan Palembang Darussalam, menjadi begitu dikenal dan menjadi Ingatan kolektif masyarakat hingga saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak banyak masyarakat yg paham tentang Kerajaan dan Kesultanan Palembang Darussalam yang telah berkuasa selama hampir 300 tahun, jika dibandingkan dengan sebagaimana ingatan kolektif masyarakat tentang kehebatan Sriwijaya.
Tidak sedikit masyarakat yang masih berpahaman bahwa Sriwijaya itu sama dengan Kerajaan dan Kesultanan Palembang Darussalam, sehingga menganggap Sultan dari Kesultanan Palembang ini adalah juga Raja Sriwijaya. Tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa Cagar Budaya Peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam adalah peninggalan dari Sriwijaya.
Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa Cagar Budaya yang ada sekarang ini adalah juga Peninggalan Kolonialis Belanda. Contoh kasus yang kasat mata dan terang benderang adalah Benteng Kuto Besak (BKB), yang dahulunya adalah sebuah “Keraton KeEnam” dari Kesultanan Palembang Darussalam dan sekarang berganti nama sesuai dengan tulisan besar didinding benteng tersebut yang bertuliskan Benteng Kuto Besak, sehingga masyarakat umum dan wisatawan yg melintas disana mengenalnya sebagai sebuah Benteng Pertahanan dan bukan sebuah Keraton dari Kesultanan Palembang Darussalam.
Ada Sejarawan/Arkeolog juga yang berpendapat bahwa BKB ini adalah peniggalan Belanda karena dibuktikan dengan bangunan yang ada didalam BKB ini adalah bangunan buatan Kolonialis Belanda dan setelah melakukan eksavasi tidak menemukan jejak Kesultanan Palembang Darussalam disana. Apakah pendapat inilah yang menjadi alasan penguasa sampai sekarang bahwa BKB ini adalah peninggalan Kolonialis Belanda dan selanjutnya masih difungsikan terus sebagai sebuah Benteng Pertahanan..?, sehingga sampai sekarang masih difungsikan sebagai Kantor Kesehatan Militer Kodam II Sriwijaya.
Ingatan kolektif tentang “Penghapusan” Kesultanan Palembang Darussalam ini jugalah sepertinya yang menyebabkan pemerintah sekarang kurang memahami tentang adanya Perang Maritim Basar dan Benteng Pertahanan Kesultanan Palembang di Pulau Kemaro dan sekitarnya, Plaju dan Bagus Kuning, sebagaimana yg ditulis oleh HG. Sutan Adil dalam bukunya “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang”, sehingga yang ada di Pulau Kemaro tersebut sekarang adalah bangunan dan pariwisata Bangsa Asing, yaitu Pagoda dan Kelenteng, dan malah difasiltasi pemasarannya dengan dibentuknya Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di Pulau Kemaro oleh Pemerintah Kota Palembang.
Efek dari pernyataan “Penghapusan” Kesultanan Palembang Darussalam ini sepertinya telah menjadikan sejarah besar Kesultanan Palembang Darussalam terpinggirkan dan mengakibatkan tidak sedikit Sejarawan dan Stakeholder Sejarah lainnya juga menjadi berbeda pendapat yang pada akhirnya banyak Cagar Budaya yang ditinggalkannya menjadi terbengkalai dan tidak optimal penggunaannya.